Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 27 September 2016

Sengkarut Riset Kita (JOHANES EKA PRIYATMA)

Harian "Kompas" selama tiga hari berturut-turut, 19-21 September 2016, melaporkan hasil diskusi tentang kuantitas, kualitas, dan kontribusi riset bagi pembangunan Indonesia. Diskusi yang melibatkan para pihak yang berkompeten serta terkait langsung dengan pengembangan riset di Indonesia itu menghasilkan kesimpulan yang menciutkan nyali kita.
HANDINING

Intinya, hasil kegiatan riset di Indonesia sangat jauh tertinggal dari negara tetangga, apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara G-20. Diskusi juga menyimpulkan bahwa keadaan riset yang seperti ini menjadi penyebab utama Indonesia kalah bersaing dengan negara lain dalam banyak bidang, khususnya inovasi teknologi dan pengolahan sumber daya alam.

Diskusi juga menyimpulkan bahwa akar masalah riset di Indonesia bersifat multidimensi menyangkut dana, sumber daya manusia, koordinasi lintas lembaga, dan kebijakan pemerintah. Diskusi mengakui bahwa pemerintah sebenarnya sudah melakukan berbagai langkah, mulai dari meningkatkan anggaran riset, menggabung Direktorat Pendidikan Tinggi dengan Kementerian Riset dan Teknologi, hingga membuat Rencana Induk Riset Nasional.

Meski demikian, langkah yang diambil pemerintah tersebut belum membuahkan hasil signifikan. Situasi menjadi semakin runyam karena saat ini pemerintah justru terpaksa memangkas anggaran karena target pendapatan tidak terpenuhi.

Solusi tak sentuh akar masalah

Saya mengapresiasi diskusi Kompastersebut, tetapi kurang setuju terhadap rekomendasi yang dirumuskan. Persoalan yang membelit kegiatan riset di Indonesia jauh lebih kompleks daripada yang didiskusikan karena bersifat struktural dan kultural. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan juga tidak akan mampu membalikkan keadaan karena tidak menyentuh akar masalah. Menyoal kuantitas dan kualitas riset di Indonesia tidak akan memadai apabila pisau analisisnya hanya memakai pendekatan sumber daya input riset, seperti dana, sumber daya manusia, regulasi, dan agenda jangka panjang.

Telah terbukti bahwa peningkatan anggaran riset dari pemerintah tidak serta-merta meningkatkan kualitas hasil riset. Demikian pula bertambahnya tenaga peneliti tak akan signifikan meningkatkan kualitas hasil riset. Kita memerlukan analisis yang lebih komprehensif dan mendasar. Untuk itu, kegiatan riset harus kita pandang sebagai sebuah realitas yang tidak terpisah, tetapi malah menjadi akibat dari suprastrukturnya, yakni strategi pembangunan yang telah kita pilih, khususnya dalam hal inovasi dan kreasi teknologi.

Analisis yang lebih komprehensif terhadap kegiatan riset di Indonesia dapat kita lakukan memakai pendekatan Teori Jejaring Aktor yang dikembangkan Callon, Latour, dan Law di era 1980-an. Dengan teori yang berasal dari disiplin ilmu Sosiologi Sains dan Teknologi ini, kegiatan riset paling tepat dipahami sebagai sebuah jejaring kompleks yang melibatkan banyak unsur, baik yang bersifat manusiawi maupun bendawi. Unsur-unsur tersebut saling memengaruhi karena saling berinteraksi dalam pola relasi yang bersifat dinamis dari waktu ke waktu.

Sebagai sebuah jejaring kompleks, kegiatan riset bukan hanya menjadi penyebab bagi berkembangnya inovasi dan kreasi bangsa, melainkan juga sekaligus menjadi akibat dari pola kegiatan inovasi dan kreasi tersebut. Dengan demikian, berkembangnya kegiatan riset merupakan akibat langsung dari kegiatan inovasi dan kreasi. Kita tidak dapat mengubah kegiatan riset dengan hanya mengusik apa saja yang menjadi input langsung riset tanpa mengusik pola kegiatan inovasi dan kreasi kita.

Kegiatan riset akan otomatis berkembang apabila riset sudah menjadi kebutuhan industri, pemerintah, atau kegiatan masyarakat lain. Masalahnya, sebagian besar industri kita tidak membutuhkan riset. Pemerintah juga tidak begitu membutuhkan hasil riset dalam menjalankan amanat pembangunan bangsa. Kegiatan masyarakat pun sebagian besar juga tidak membutuhkan riset. Oleh karena itu, masalahnya menjadi sangat sederhana, yakni bahwa riset kita tidak berkembang karena memang tidak begitu dibutuhkan.

Dengan situasi ini, kegiatan riset kehilangan geloranya karena sebagian besar dilakukan hanya demi memperoleh pengakuan akademik dan tidak terkait langsung dengan persoalan konkret kegiatan kreasi dan inovasi di industri. Akibatnya, aspek teknis dan formalitas lebih dominan ketimbang terjadinya siklus otentik riset, yakni masalah, teori, solusi, dan aplikasi yang terus maju secara bertahap.

Keadaan akan menjadi sangat berbeda apabila sejak awal kita memakai strategi kemandirian atau swadaya dalam pembangunan bangsa. Jika strategi ini kita pakai, kegiatan inovasi dan kreasi kita harus bersifat mandiri dan sesedikit mungkin mengambil jalan pintas dengan mengimpor teknologi. Memang, strategi swadaya tidak akan mampu menghasilkan pembangunan yang cepat dan gemerlap.

Strategi swadesi

Kita dapat mencontoh India yang sejak zaman Gandhi setia memakai strategi swadesi. Meskipun strategi ini memaksa rakyat India memakai mobil yang ketinggalan zaman selama puluhan tahun, sekarang India sudah bisa mengekspor mobil ke Indonesia. Saya kira, strategi swadesilah yang telah mengantar India sebagai negara yang unggul di bidang riset dan teknologi angkasa.

Hal yang sama terjadi di Korea Selatan. Karena sebelumnya dijajah Jepang, bangsa Korea tidak suka pada produk Jepang. Akibatnya, bangsa Korea Selatan mempunyai keteguhan untuk mandiri sejak merdeka. Hasilnya, sekarang Korea Selatan menjadi salah satu negara maju dan menghasilkan banyak produk inovatif. Sejarah mencatat bahwa Korea dan Indonesia mendapat kemerdekaan pada tahun yang hampir bersamaan dan waktu itu sama-sama sebagai salah satu negara termiskin di dunia.

Meskipun agak terlambat, masih banyak bidang pembangunan yang dapat kita kelola secara swasembada. Bidang yang sangat relevan dan kontekstual bagi pembangunan Indonesia adalah pertanian, budidaya laut, kehutanan, dan pengolahan sumber daya alam. Berkembangnya industri di bidang ini secara swasembada akan memacu berkembangnya kegiatan riset yang kontekstual dan sangat bermanfaat bagi bangsa Indonesia.

Dengan cara pandang ini, rekomendasi yang diberikan para ahli yang terlibat dalam diskusi Kompas perlu dilengkapi sebuah rekomendasi lain di wilayah yang lebih bersifat struktural dan mendasar, yakni perubahan paradigma pembangunan kita. Yang kita butuhkan bukan hanya perubahan tata kelola riset, melainkan lebih daripada itu, yakni perubahan paradigma dalam pembangunan, khususnya bidang pengembangan teknologi dan pengelolaan sumber daya alam. Tanpa keberanian dan keteguhan untuk bersikap swasembada, tidak akan terjadi perubahan mendasar dalam kegiatan riset kita.

Namun, perlu kita sadari bahwa perubahan paradigma pembangunan menuntut perubahan banyak hal, khususnya terhadap apa yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Secara umum, industri hanya akan berkembang di Indonesia apabila pemerintah mampu mewujudkan iklim usaha dan investasi yang kondusif. Hal ini berarti menuntut terciptanya sistem politik dan birokrasi yang akuntabel, transparan, dan berorientasi kepada kepentingan umum. Kita sudah memperjuangkan itu sejak gerakan reformasi bergulir pada tahun 1998, tetapi hasilnya belum signifikan sampai sekarang. Reformasi birokrasi yang mestinya sangat mungkin dilakukan dan menjadi kunci berkembangnya industri malah sudah lama tidak terdengar gaungnya. Riset hanya akan berkembang optimal jika didukung oleh sistem dan kultur masyarakat akademik yang sesuai. Iklim riset yang baik memerlukan sistem nilai yang menghargai kejujuran, keterbukaan, dan kritik. Nilai-nilai ini masih perlu kita bangun karena baru di era Reformasi kita bisa leluasa memperjuangkannya.

Reformasi yang masih berusia kurang dari 20 tahun belum cukup bagi berkembangnya nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai keutamaan riset ini harus terus kita kembangkan dalam sistem pendidikan kita karena akan menjadi fondasi tata nilai asosiasi keilmuan yang dapat terus berkembang baik.

Asosiasi keilmuan yang menghargai kejujuran, keterbukaan, dan kritik akan menjadi ekosistem yang subur bagi berkembangnya kegiatan riset di Indonesia. Ini sangat penting karena berkembangnya budaya riset akan dipengaruhi oleh kualitas relasi yang dibangun di antara pihak yang terlibat dalam jejaring di asosiasi ini. Kita meyakini bahwa kualitas relasi itu dipengaruhi oleh berkembangnya nilai-nilai tersebut. Namun, dalam konteks reformasi demokrasi dan politik saat ini, asosiasi keilmuan harus berani mengambil jarak dari kepentingan politik meskipun sangat menjanjikan secara ekonomis.

Nilai-nilai keutamaan riset akan luntur apabila kepentingan politik sudah menjadi agenda asosiasi keilmuan. Hanya lewat berkembangnya asosiasi keilmuan yang baik dan terbebas dari kepentingan politik, kita akan mampu melahirkan periset andal yang rela menggali kebenaran seraya tekun menghidupi etos keilmuan.

JOHANES EKA PRIYATMA, REKTOR UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Sengkarut Riset Kita".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger