Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 09 September 2016

Solusi Mendasar Isu Daging Sapi (SISWONO YUDO HUSODO)

Menjelang Idul Adha 2016, dengan banyaknya permintaan hewan kurban, harga sapi hidup antara Rp 55.000 dan Rp 60.000 per kilogram; sementara harga sapi hidup di Australia hanya Rp 24.000 per kilogram.
DIDIE SW

Harga daging sapi ritel di pasar pernah mencapai Rp 150.000 per kilogram dan akhir-akhir ini sekitar Rp 120.000 per kilogram; sementara harga ritel daging sapi yangsekelas di Australia hanya sekitar Rp 50.000 per kilogram.Banyak pengamat mengatakan, harga daging sapi di Indonesia termahal di dunia.

Daging sapi yang ada di pasar Indonesia, mayoritasnya (sekitar 70 persen) hasil budidaya peternak tradisional yang jumlahnya 6,4 juta orang. Dan 30 persen impor, pasokan dari 96 importir sapi bakalan, dan 67 importir daging. Harga daging sapi lokal ditentukan oleh harga sapi hidup di peternak dan rangkaian perdagangan melewati rumah pemotongan hewan (RPH) sampai ke konsumen. Dari semua konsumsi daging sapi nasional, 14,7 persen digunakan oleh industri, 8,5 persen untuk hotel, restoran, dan katering serta 76,8 persen untuk konsumsi masyarakat langsung.

Dari sapi hidup di peternak sampai daging di konsumen melalui rantai perdagangan yang sangat panjang; tidak mendukung tercapainya harga daging sapi yang wajar di tingkat konsumen. Idealnya, harga daging sapi memberikan keuntungan kepada peternak lokal dan terjangkau konsumen. Harga daging yang baik merupakan insentif untuk peternak lokal berproduksi.

Persoalan mendasar

Masalah mendasar dari mahalnya harga daging sapi di Indonesia adalah karena populasi sapi di Indonesia sangat kurang dibandingkan jumlah penduduknya dan reproduksinya(tingkat kelahiran sapi) sangat rendah. Sebagai perbandingan, penduduk Australia sekitar 18 juta orang, populasi sapinya sekitar 30 juta ekor. Penduduk India 1,2 miliar orang, jumlah sapi dan kerbaunya sekitar 300 juta ekor. Pada tahun 2015, Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta orang, jumlah sapi dan kerbau hanya16,7juta ekor.

Beberapa tahun terakhir, ada upaya meningkatkan populasi sapi, tetapi pertambahan penduduk lebih tinggi dari pertumbuhan populasi sapi. Beberapa pemerintah daerah di luar Pulau Jawajuga berupaya meningkatkan populasi sapi. Namun, karena sapi didatangkan dari NTT dan NTB, secara nasional tidak menambah populasi sapi, hanya berpindah tempat.

Populasi sapi potong, sapi perah, kerbau di Indonesia pernah mencapai 17 jutaekor pada tahun 1970-an. Ketika itu Indonesia adalah eksportir sapi, terutama ke Taiwan, Singapura, dan Hongkong. Sekarang tinggal 13,5 juta ekor, padahal penduduk Indonesia dari tahun 1970 ke 2016 bertambah dari 90 juta orang menjadi 250 juta orang. Jumlah penduduk meningkat, jumlah sapi menurun.

Sebelum tahun 1970-an, di semua desa pertanian banyak sapi dan kerbau sebagai ternak kerja untuk meluku, menggaru dan penarik gerobak, serta padang penggembalaan (pangonan). Itulah sumber daging nasional yang membuat kita menjadi negara pengekspor sapi. Ketika hand tractormenggantikan luku dan garu serta truk pikap menggantikan gerobak, sapi dan kerbau hilang dari desa-desa dan kita tidak menggantikan sumber penyediaan sapi untuk Indonesia.

Data tahun 2005 menunjukkan, populasi sapi potong, sapi perah, dan kerbau tinggal13.818.128 ekor; antara tahun 2001 dan 2005 laju penurunannya rata-rata 0,04 persen per tahun. Sejak 2006, sapi potong jumlahnya meningkat dari 10,6 juta ekor pada tahun 2005 menjadi 12,6 juta ekor pada tahun 2009. Sensus Pertanian 2013 (SP 2013) menyebutkan, populasi sapi potong 12,5 juta ekor. Pada tahun 2014, populasi sapi naik menjadi sekitar 14,7 juta ekor, lalu kembali turun menjadi 12,36 juta ekor pada 2015. Setiap kali harga daging melonjak tinggi, sapi yang dipotong meningkat, akibatnya populasi menurun.

Ada lima provinsi pusat populasi sapi nasional, yaitu Jawa Timur (4 juta ekor), Jawa Tengah(1,5 juta ekor), Sulawesi Selatan (1,3 juta ekor),Nusa Tenggara Barat (1,1 juta ekor), dan Nusa Tenggara Timur (1 juta ekor).

Tanpa langkah-langkah yang tepat, ke depan populasi sapi di Indonesia akan terus menurun karena jumlah sapi yang dipotong sudah lebih banyak dari sapi yang lahir dan kita akanmenjadi negara importir sapi yang semakin besar. Hal tersebut terjadi karena, pertama, tingkat reproduksi di Indonesia sangat rendah. Umumnya, sapi betina di Indonesia seumur hidup hanya melahirkan 3-5 kali, sementaradi Australia bisa 5-7 kali. Kedua, banyak sapi betina produktif, bahkan yang sedang bunting, dipotong, terutama ketika harga daging meningkat. Sadisnya belantik, karena betina produktif yang sehat dilarang dipotong, untuk melegalkan pemotongan, kakinya dipatahkan karena sapi betina yang cacat boleh dipotong.

Pertambahan penduduk yang tinggi dan rakyat Indonesia yang semakin sejahtera yang konsumsi daging sapi per kapitanya semakin tinggi menyebabkan kebutuhan daging sapi meningkat tinggi. Ketika perubahan besar itu terjadi, kita tidak mengubah atau menambah sumber penyediaan sapi di Tanah Air, tetapi memilih cara yang mudah dan cepat, yaitu mengimpor, dengan jumlah yang terus meningkat.

Tahun 1984, konsumsi daging sapi rakyat Indonesia 0,5 kilogram per kapita per tahun;pada tahun 1990 meningkat dua kali menjadi 1,04 kilogram per kapita per tahun; danmenjadi 2,57 kilogram per kapita per tahun sejak tahun 2012. Antara tahun 2011 dan tahun 2015 telah diimpor sapi bakalan dan siap potong sebanyak 2.385.903 ekor. Waktu ini Indonesia adalah importir sapi bakalan, sapi siap potong dan daging sapi yang sangat besar, setara dengan 650.000 sapi hidup per tahun dan Australia adalah pemasok paling banyak.

Harga sapi lokal sulit ditekan karena budidayanya tradisional, yang cirinya berskala usaha kecil, reproduksi sangat rendah, dan tidak produktif. Akibatnya, harga setiap kilogram sapi hidup yang diproduksi peternak lokal jauh lebih tinggi daripada harga sapi hidup bakalan eks impor.

Perbaikan fundamental

Diperlukan perbaikan pada aspek fundamental dari kegiatan usaha peternakan sapi di Indonesia, yaitu meningkatkan populasi sapi dan meningkatkan skala usaha peternak tradisional (minimal setiap peternak mengusahakan 20 betina dan 2 pejantan), membentuk peternak profesional (bukan kerja sampingan) yang skala usahanya terus meningkat, serta penyediaan hijauan makanan ternak (HMT) dan jerami padi di desa-desa sepanjang tahun.

Untuk meningkatkan reproduksi perlu fasilitas inseminasi buatangratis berikut inseminator yang diberi insentif untuk setiap kelahiran sapi; terbentuknya harga yang menguntungkan peternak dan tidak memberatkan konsumen; menekan impor daging sapi dan kalau bisa dihentikan; impor dibatasi hanya bakalan dengan berat maksimum 250 kilogram agar nilai tambahnya diterima peternak.

Guna meningkatkan populasi sapi di Indonesia, perlu didatangkan (impor) sapi betina muda, sehat produktifsebanyak 2 juta ekor dalam empat tahun. Agar murah, asal sapinya bisa dari kawasan (region) yang bebas penyakit mulut dan kaki (PMK)—walaupun negara asal sapi tersebut belum bebas PMK, seperti India dan Brasil—dengan pengawasan ketat. Untuk itu perlu dibangunpulau karantina (masing-masing satu di wilayah barat, wilayah tengah dan wilayah timur Indonesia) sesuai dengan Undang-Undang No 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan untuk proses observasi beberapa waktu dan setelah betul-betul sehat, sapi impor tersebut disebar ke sejumlah wilayah di Tanah Air.

Sangat penting mengusahakan tingkat kelahiran sapi menjadi setiap 18-24 bulan beranaksatu ekor melalui kawin alam dan atau inseminasi buatan agar setiap tahun lahir 1 juta-1,3 juta ekor sapi.Dengan kondisi itu, kita tidak perlu lagi mengimpor karena reproduksi sapi di Indonesia telah mencukupi kebutuhannya.

Guna menunjang penyalurannya, fasilitas kredit usaha peternakan sapi (KUPS) berbunga rendah berjangka 5 tahun perlu ditingkatkan, terutama untuk peternak atau petani, sekaligus guna meningkatkan produksi pupuk organik di sentra pertanian. Guna menjamin kualitas dan kuantitas reproduksi, perlu melibatkan korporasi dengan pola inti plasma, sekaligus membangun sentra-sentra peternakan sapi yang baru.

Tidak patut Indonesia dengan Hijauan Makanan Ternak (HMT) yang melimpah sepanjang tahun menjadi negara pengimpor daging. Penyelesaian masalah daging sapi ini tidak bisa berjangka pendek dan kita harus meletakkan dasar perbaikan yang paling fundamental itu sekarang. Tanggung jawab moral setiap pemerintahan dan setiap generasi adalah menyerahkannegara-bangsa kepada pemerintahan dan generasi berikutnya dalam keadaannya yang lebih baik dari sebelumnya.

SISWONO YUDO HUSODO, PETERNAK SAPI DAN KERBAU, MANTAN KETUA HIMPUNAN KERUKUNAN TANI INDONESIA (HKTI)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Solusi Mendasar Isu Daging Sapi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger