Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 07 September 2016

Solusi Presidensial Pembenahan Mahkamah Agung (BAHRUL ILMI YAKUP)

Desakan agar Presiden turun tangan ikut membenahi sengkarut pengadilan, khususnya Mahkamah Agung, kian menguat. Desakan demikian makin mencuat oleh karena masyarakat makin prihatin, bahkan makin trauma, terhadap kondisi pengadilan jajaran MA yang makin hari makin bobrok.

Makin terbukti bahwa MA bukan benteng keadilan, melainkan justru menjadi sarang pedagang perkara. Oleh karena itu, hakim agung Gayus Topane Lumbuun,yang tentunya lebih mengetahui bobroknya kondisi internal MA, mengharapkan agar Presiden segera membentuk tim khusus untuk membenahi lembaga peradilan (Kompas, 8/8/2016).

Desakan demikian sebagai ungkapan kecemasan tentunya wajar, paling tidak untukmenjadi alarm bagi jajaran MA agar sungguh-sungguh berbenah diri. MA seharusnya kian sadar bahwa upaya pembenahan konvensional yang diusung selama ini senyata tidak membuahkan hasil. MA seharusnya makin memahami fakta bahwa outcome pembenahan yang dilakukan selama initernyata tak membuat kondisi pengadilan menjadi kian baik (untuk tak mengatakan kian bobrok).

MA seyogianya legawamengakui bahwa dalam sejarah pengadilan Indonesia, baru kali ini seorang sekretaris MA secara terang benderang terindikasi menjadi auktor intelektualis jaringan mafia peradilan sebagaimana disangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Suatu fakta yangselama ini selalu disanggah MA dengan sejumlah dalih.

Kondisi demikian tentunya membuat arwah pendekar hukum yang berintegritas, seperti Dr Koesoemah Atmadja, ketua MA pertama yang meletakkan dasar pembangunan lembaga pengadilan yang berintegritas dan mulia, meringis pedih sekaligus sedih. Oleh karena itu, MA seharusnya membuka mata dan hati untuk sungguh-sungguh membangun pengadilan yang agung sebagai pilar keadilan, tidak lagi hanya sebatas menjual jargon keadilan yangmenyesatkan.

Solusi presidensial

Sebagai kepala pemerintahan, seyogianya Presiden bijaksana dalammerespons desakan masyarakat agarikut bertindak memberi solusi pembenahan pengadilan, khususnya MA dan jajarannya.Kebijaksanaan Presiden setidaknyatecermin dalam dua dimensi. Pertama, memberi respons yang berdasarkan konstitusional-rechtmatige. Kedua, menelurkan upaya pembenahan yang andal dan solutif, yang mengenyahkansolusipembenahan jargonistik selama ini.

Presiden seyogianya dapat memahami bahwa wewenang Presiden untuk ikut membenahi pengadilanmemang ada, tetapi terbatas sesuai ketentuan Pasal 4 Ayat 1 UUD 1945 yang memberi wewenang kepada Presiden memegang kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan pemerintahan yang dimaksud Pasal 4 Ayat 1 sejatinya mencakup pemerintahan dalam arti luas, dan pemerintahan dalam arti sempit.

Kekuasaan pemerintahan dalam arti luas mencakup wewenang negara secara keseluruhan yang bersifat utuh (sovereignty), sedangkan kekuasaan pemerintahan dalam arti sempit hanya mencakup kekuasaan eksekutif sebagaimana dirinci dalam Pasal 4 Ayat 2, Pasal 5 Ayat 1 dan 2.

Untuk melaksanakan kekuasaan pemerintahan dalam arti sempit, Presiden dapat melakukansecara otoritatif-otonom, sedangkan untuk melaksanakan kekuasaan pemerintahan dalam arti luas, Presiden harus bekerja sama dengan lembaga lain, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dalam hal legislasi dan seleksi, dan MA dalam bidang yudisial untuk urusan grasi dan rehabilitasi, atau dengan DPR untuk memberi amnesti dan abolisi.

Presiden hanya dapat melaksanakan kekuasaan pemerintahan dalam arti luas secara otoritatif berdasarkanihwal kegentingan memaksa yang sebagaimana diatur Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945. Oleh karena itu, untuk melaksanakan kekuasaan pemerintahan dalam arti luas secara otoritatif, presiden terlebih dahulu harus menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang- undang (perppu).

Gagal paham tentang "kepala negara"

Dalam komunikasi politik atau komunikasi kelembagaan, memang masih sering kalimuncul penjelasan atau pendapat pejabat atau penyelenggara negara akan terma "Presiden sebagai kepala negara". Hal demikian menunjukkan adanya gagal paham para pejabat publik atau penyelenggara negara bahwa terma lembaga tersebutsejatinya telah dikubur menjadi sejarah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Hal ini dikarenakan sistem ketatanegaraan Indonesia menurut UUD 1945 hasil amandemen tidak lagi menganut pola kekuasaan negara integralistikdalam gagasan Soepomo yang berbasis pola patron-klien yang melahirkan konsep "Presiden sebagai kepala negara" sebagaimana diwacanakan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945 yang termaktub dalam UUD 1945 naskah awal.

UUD 1945 hasil amandemen berbasis hubungan egalitarian rechtmatig, yang secara tegas membagi kekuasaan pemerintahan dalam arti luas ke dalam tiga cabang utama, yaitu eksekutif dipegang presiden ex Pasal 4 Ayat 1 UUD 1945, legislatif dipegang DPR ex Pasal 20 Ayat 1 UUD 1945, dan kekuasaan yudisial dipegang Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi ex Pasal 24 Ayat 2 UUD 1945.Dengan demikian, secara konstitusional presiden tidak dapat ikut membenahi MAdan jajaran berdasarkan kekuasaan "Presiden sebagai kepala negara" secara otoritatif.

Presiden dapat ikut membenahi MA dan jajarannya dalam dua skim konstitusi. Pertamaberdasarkan kekuasaan pemerintahan dalam arti sempit dengan cara berkolaborasi dengan lembaga negara utama lain, yaitu MA dan DPR.Dalam konteks ini, Presiden dapat menginisiasi pembentukan tim pembenahan MAyang berunsurkan pemerintah, MA, dan DPR. Dalam skim ini, Presiden dapat membentuk tim pakar sebagai think-tank.

Kedua, Presiden menerbitkan perppu ihwal kegentingan memaksa pembenahan MA, selanjutnya membentuk tim pembenahan MA berdasarkan wewenang otoritatif Presiden. Secara aktual,Presiden dapat memilih alternatif pertama yang lebih bersifat koordinatif dan konsolidatif. Hal ini karena pilihan terhadap alternatif keduaberpotensi makin meruntuhkankepercayaan publik (public trust) terhadap jajaran MA.

Suatu hal yang niscaya, solusi presidensial untuk membenahi MA dan jajarannya haruslah merupakan upaya sungguh-sungguh yang berbasis kompetensi, integritas, dan komprehensif.Kalaulah keikutsertaan Presiden membenahi MA dan jajarannyacuma setengah hati, sebaiknya Presiden menahan diritidak ikut campur dalam pembenahan MA dan jajarannya.

Hal ini karena alih-alih memperbaiki MA dan jajaran, justru sebaliknya sangat berpotensi makin menjerumuskan MA dan jajarannya menjadi makin bobrok dan rusak. Quo vadis pengadilan Indonesia?

BAHRUL ILMI YAKUP, KETUA ASOSIASI ADVOKAT KONSTITUSI, ADVOKAT DAN KONSULTAN HUKUM BUMN,KANDIDAT DOKTOR ILMU HUKUM UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Solusi Presidensial Pembenahan Mahkamah Agung".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger