Penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2012, yang juga pemimpin partai yang berkuasa di Myanmar, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), itu berharap pertemuannya dengan mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan akan menjadi jalan untuk mencari solusi atas masalah Rohingnya. Masalah Rohingnya adalah salah satu dari beberapa persoalan besar yang harus diselesaikan pemerintah baru Myanmar hasil pemilihan secara demokratik.
Bagi Aung San Suu Kyi, adalah sangat penting dapat menyelesaikan masalah tersebut. Paling tidak, hal tersebut akan membuktikan bahwa Myanmar benar-benar berbeda dari masa lalu; Myanmar sungguh-sungguh mengikuti jalan demokrasi, yang di sana ada penghormatan terhadap kebebasan beragama, perbedaan, nilai kemanusiaan, dan sebagainya.
Harus diakui bahwa tidak mudah menyelesaikan masalah Rohingnya itu. Hal tersebut terutama adanya sikap penolakan dari banyak rakyat Myanmar terhadap Rohingnya. Banyak orang Myanmar yang menolak penggunaan istilah "Rohingnya". Mereka khawatir penggunaan istilah Rohingnya akan memberikan posisi politik bagi kelompok yang oleh banyak orang Myanmar dianggap sebagai orang asing. Sebab, mereka itu berasal dari Bengali, jadi bukan komunitas nasional Myanmar.
Menurut catatan sejarah, sekitar abad ke-9, ketika wilayah yang sekarang disebut Rakhine berada di bawah kekuasaan Kerajaan Arakan, ada komunitas Muslim di wilayah itu. Akan tetapi, komunitas Muslim bertambah pada abad ke-20, setelah kedatangan orang-orang dari Bengali (dahulu masuk wilayah India, sekarang Banglades) ke wilayah itu, yang dahulu disebut Burma Inggris, karena wilayah jajahan Inggris.
Orang-orang itulah yang kemudian disebut sebagai "Orang-orang Muslim beretnik Bengali". Jadi, menurut persepsi banyak orang Myanmar, Rohingnya bukanlah "etnik, melainkan sebuah konstruksi politik". Akan tetapi, komunitas internasional tetaplah menggunakan terma Rohingnya untuk menyebut komunitas Muslim di Provinsi Rakhine, yang nasibnya tak menentu.
Apa pun sebutannya, penyelesaian masalah Rohingnya secara manusiawi—misalnya menerima mereka sebagai warga negara Myanmar, atau bentuk lain—adalah hal yang sangat penting dan mendesak. Tentu Myanmar—juga Aung San Suu Kyi—tidak ingin dicatat sebagai negara (tokoh) yang diskriminatif terhadap kaum minoritas. Pemimpin Myanmar harus menunjukkan kepada dunia bahwa mereka sungguh ingin menyelesaikan Rohingnya.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Myanmar dan Masalah Rohingnya".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar