Pada 1 September 2016, Presiden Joko Widodo mengajukan nama Wakil Kepala Polri Komjen Budi Gunawan sebagai Kepala BIN menggantikan Sutiyoso. Surat itu dikirimkan kepada DPR untuk mendapatkan pertimbangan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen, pengangkatan dan pemberhentian Kepala BIN dilakukan setelah mendapat pertimbangan DPR.
Tidak ada alasan spesifik soal penggantian Sutiyoso dan penunjukan Budi Gunawan sebagai Kepala BIN. Mengutip Menteri Sekretaris Negara Pratikno, penggantian Sutiyoso diperlukan untuk regenerasi di tubuh BIN.
Seruan Presiden Jokowi untuk menuntaskan reformasi dan reposisi intelijen disampaikan banyak tokoh. Salah satu bentuk reformasi adalah menjadikan BIN sejalan dengan amanat reformasi dan menjadikan BIN lebih berwajah sipil. Kita tak ingin BIN mengedepankan pendekatan militeristik karena itu hanya akan memancing kekerasan. Pendekatan militeristik tidak cocok di negara demokrasi.
BIN di bawah Budi Gunawan selayaknya mengadopsi pendekatan sipil dalam upaya mencari informasi dan menggali informasi serta menyusun analisis dan evaluasi. Kita berharap BIN mampu mengoordinasikan laporan intelijen yang dijalankan banyak lembaga dan mengolahnya untuk disampaikan kepada Presiden. Perubahan kultur harus bisa diwujudkan.
BIN punya tanggung jawab mencegah terjadinya aksi kekerasan dalam bentuk apa pun. Kemampuan deteksi dini (early detection) dan peringatan dini (early warning system) harus diperkuat agar intelijen tidak kecolongan. Spionase melalui jalur digital termasuk pencurian dan pembocoran data di dunia digital yang sudah menjadi tren harus jadi perhatian Budi Gunawan.
Penyesuaian diri perlu cepat dilakukan Budi Gunawan. Sebagai perwira tinggi Polri yang hidup dalam paradigma keamanan dan ketertiban masyarakat, perlu disesuaikan dengan fungsi BIN untuk deteksi dini dan peringatan dini. BIN diberi tanggung jawab mampu mendeteksi segala macam ancaman yang bisa mengancam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Bagi masyarakat, ukuran keberhasilan lembaga intelijen sebenarnya tidak susah. Tidak boleh terjadi lagi aksi teror, tanpa terdeteksi oleh lembaga intelijen. Jika aksi teror terus terjadi, tanpa terdeteksi, publik akan dengan mudah mengatakan intelijen kecolongan. Masyarakat pun tidak ingin terjadi lagi aksi kekerasan atau penculikan yang dilakukan intelijen seperti yang terjadi pada era otoriter Orde Baru. Intelijen harus juga menghormati HAM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar