Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 08 September 2016

Titik Kritis Program Kupon Pangan (TOTO SUBANDRIYO)

Pemerintah mewacanakan mengubah bantuan beras untuk masyarakat miskin menjadi bantuan pangan dengan sistem kupon. Kupon pangan ini dapat ditukarkan bukan hanya dengan beras, melainkan juga pangan lain, seperti telur. Dengan perubahan ini, diharapkan rakyat kurang mampu memiliki lebih banyak pilihan dalam mengakses nutrisi. Bukan hanya pangan sumber karbohidrat, melainkan juga protein.
DIDIE SW

Menurut pemerintah, perubahan kebijakan ini telah melalui pengkajian mendalam. Berdasarkan audit yang dilakukan KPKpada 2014, banyak kelemahan dalam penyaluran beras untuk masyarakat miskin (raskin). Di antaranya tak terpenuhinya prinsip "enam tepat", tepat sasaran,waktu, jumlah,harga, kualitas,dan tepat administrasi. Karena itu, KPK merekomendasikan agar sistemnya didesain ulang.

Studi dan evaluasi terhadap kinerja raskin juga pernah dilakukan 35 perguruan tinggi negeri/swasta di Indonesia. Studi dan evaluasi itu memberikan penilaian terhadap kinerja program raskin dengan nilai 83,74 persen untuk indikator ketepatan sasaran dan 59,74 persen untuk ketepatan jumlah. Untuk ketepatan waktu dinilai 64 persen, dengan tingkat pemenuhan kebutuhan 44,90 persen dan efektivitas program 57,90 persen.

Memang, banyak permasalahan yang terjadi di lapangan terkait pelaksanaan program raskin selama ini. Banyak anekdot di masyarakat yang memelesetkan raskin sebagai rasta (beras dibagi rata) atau dalam bahasa Jawa "beras bagito" (beras dibagi roto). Sebuah anekdot yang menggambarkan bahwa pendistribusian raskin tidak tepat sasaran karena beras dibagi merata kepada warga miskin/kaya sehingga mengusik rasa keadilan.

Ada juga yang menyebut raskin dengan "beras mumet" (dari bahasa Jawa yang berarti "beras pusing"). Anekdot ini merujuk praktik tidak terpuji dalam pengadaan dan distribusi raskin. Sesuai mekanisme, pengadaan raskin dimulai dari mitra Bulog yang memasok beras ke Bulog, kemudian Bulog menyalurkan ke rumah tangga sasaran (RTS). Ternyata dalam praktik ditemukan beras ini hanya berputar-putar, berpindah dari tangan satu ke lainnya (makanya disebut berasmumet/pusing), terakhir jatuh ke tangan mitra Bulog lagi.

Pengendalian inflasi

Lepas dari sejumlah permasalahan itu, diakui atau tidak, program raskin yang telah berjalan lebih dari 17 tahun ini banyak manfaat. Utamanya dalam menjaga stabilitas harga beras dan pengendalian inflasi yang selama beberapa tahun terakhir lebih banyak dipicu fluktuasi harga kelompok pangan bergejolak (volatile foods), seperti beras. Untuk stabilisasi harga beras, penyaluran raskin lebih efektif daripada instrumen operasi pasar (OP).

Hal itu bisa terjadi karena, pertama, penyaluran raskin menjangkau sasaran sangat luas, mulai dari desa-desa terpencil hingga perkotaan. Pada 2016, program ini menjangkau tidak kurang dari 15,5 juta RTS. Kedua, volume raskin yang disalurkan kepada masyarakat sangat besar, mencapai 2.795.561 ton.Ketiga, harga tebus raskin yang hanya Rp 1.600 per kg sangat terjangkau oleh daya beli warga miskin. Volume yang sangat besar dan harga yang sangat murah ini membuat harga beras di pasaran relatif stabil.

Manfaat lain program raskin adalah sebagai pasar bagi hasil usaha tani padi. Melalui instruksi presiden (inpres) tentang kebijakan pengadaan gabah/beras dan penyaluran beras oleh pemerintah, petani memperoleh jaminan harga jual gabah/beras hasil panen mereka melalui mekanisme harga pembelian pemerintah (HPP).

Beras hasil pengadaan pemerintah ini salah satunya disalurkan melalui program raskin. Manfaat inilah yang perlu dipertimbangkan secara matang oleh pemerintah sebelum mengubah program raskin menjadi kupon pangan.

Titik kritis

Agar program kupon pangan nanti tidak menemui banyak permasalahan seperti program raskin, pemerintah harus mempersiapkannya dengan matang. Ada beberapa titik kritis yang perlu diwaspadai. Pertama, penentuanpenerima manfaat atau RTS. Data tentang penerima manfaat program ini haruslah data yang akurat, yaitu data yang benar-benar mencerminkan kondisi riil di masyarakat dan selalu dievaluasi secara periodik.

Data yang akurat ini akan menjadi titik awal keberhasilan program kupon pangan. Kesemrawutan program perlindungan sosial apa pun, misalnya Program Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Langsung Subsidi Masyarakat (BLSM), Program Keluarga Harapan (PKH), dan Program Raskin, Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS), Program Indonesia Pintar (PIP), Program Indonesia Sehat (PIS), Penerima Bantuan Iuran (PBI), dan sebagainya, berpangkal dari data yang tidak akurat.

Sekadar diketahui, basis data yang digunakan untuk mengeksekusi sejumlah kebijakan dan program tersebut merupakan data hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS)oleh BPS tahun 2011. Data tersebut selama beberapa tahun tidak dievaluasi dan divalidasi secara memadai. Tak harus jadi seorang ahli statistik atau ahli ilmu sosial, orang awam pun akan tahu dalam sekian tahun pasti sudah terjadi perubahan kondisi sosial ekonomi para penerima bantuan program perlindungan sosial tersebut secara signifikan.

Apa yang kemudian terjadi adalah kegaduhan demi kegaduhan. Banyak warga masyarakat yang tergolong miskin dan merupakan RTS, tetapi tidak mendapatkan akses program perlindungan sosial, seperti BLT, BLSM, PKH, Raskin, PSKS, PIP, PIS, dan PIB. Hanya karena tak pegang kartu jaminan kesehatan, warga miskin ditolak berobat di rumah sakit. Sebaliknya, banyak warga yang bukan RTS justru menikmati program-program perlindungan sosial tersebut. Untuk memperoleh data yang akurat, data RTS program kupon pangan harus divalidasi tim independen dan diumumkan secara transparan.

Titik kritis kedua dari program kupon pangan adalah mekanisme dan pola distribusi. Berkaca dari program raskin, harus dihindari banyak konflik kepentingan di dalamnya. Pengalaman penulis selama beberapa tahun sebagai ketua tim raskin tingkat kabupaten sering kali mendapati distribusi raskin yang didasari atas hubungan kedekatan dengan aparat desa. Bahkan, pernah ditemukan dalam satu desa mayoritas penerima adalah mereka yang jadi kader dan tim sukses kepala desa saat pemilihan kepala desa. Untuk itu pengawasan yang ketat perlu dilakukan pemerintah terhadap proses distribusi kupon pangan ini.

Titik kritis ketiga adalah penentuan kualitas pangan, harga, dan titik bagi. Hal ini penting dilakukan karena komplain masyarakat banyak mengarah pada buruknya kualitas beras serta ada biaya tambahan yang harus ditanggung RTS. Agar nilai manfaat kupon pangan ini lebih dirasakan masyarakat, pemerintah harus memperbanyak tempat penukaran kupon di dekat mereka tinggal.

Jika pemerintah mampu mengatasi tiga titik kritis ini, prinsip "enam tepat" dalam program kupon pangan ini akan tercapai. Namun, jika tidak, segala permasalahan yang ada pada program raskin akan terulang. Program kupon pangan tak lebih sebagaimana ungkapan "anggur lama dalam kemasan baru". Atau bahkan manfaatnya tidak lebih baik daripada program raskin yang telah ada.

TOTO SUBANDRIYO, LULUSAN IPB DAN PASCASARJANA UNSOED,ASISTEN EKBANGDAN KESRA SEKDA KABUPATEN TEGAL 2013-2015

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Titik Kritis Program Kupon Pangan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger