Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 08 September 2016

Serba-serbi Pilkada DKI (YUNARTO WIJAYA)

Kandidat Pemilihan Kepala Daerah DKI 2017 kian mengerucut pada dua atau maksimal tiga nama. Sebelumnya, ada cukup banyak nama yang digadang-gadang sebagai kandidat yang diklaim atau mendaku diri bakal berkompetisi di Jakarta. Latar belakang profesi mereka begitu beragam, dari mulai politisi, artis, mantan menteri, mantan jenderal, anggota Polri aktif, hingga kepala daerah yang masih menjabat di daerah lain.

Seiring adanya kepastian calon, konstelasi persaingan pun niscaya mengalami pergeseran. Dalam hal ini, baik kandidat maupun pemilih umumnya akan melakukan penyesuaian.

Menjangkau pemilih

Di aras kandidat, sejak memperoleh kepastian pencalonan, Sandiaga Uno bergerak lebih cepat dan memperlihatkan pergeseran pilihan strategi bersaing. Pada awalnya, Sandiaga masih mendengungkan soal personalitas untuk mengontraskan diri dengan petahana. Belakangan, Sandiaga mulai fokus memperkuat daya tariknya di mata pemilih dengan mengedepankan isu kebijakan.

Pergeseran ini menandakan upaya Sandiaga merebut pangsa pasar pemilih yang masuk dalam kategori apartisan dan juga kognitif partisan. Yang pertama adalah pemilih yang memilih kandidat dengan menilai isu kebijakan dan citra kandidat. Yang kedua, adalah pemilih yang memilih kandidat berdasarkan pertimbangan partai yang mengusung, tetapi juga memoderasinya dengan isu kebijakan dan citra kandidat yang ditawarkan (Dalton, 2007).

Sandiaga memang dituntut untuk lebih agresif dengan sisa waktu yang ada. Kombinasi isu kebijakan dan citra kandidat dijadikannya sebagai motor penggerak untuk menggerus elektabilitas petahana. Selain itu, Sandiaga secara tak langsung juga diuntungkan dari pergerakan parpol pendukung atau sejumlah ormas yang diprediksi akan memainkan isu politik identitas di akar rumput.

Selaku petahana, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) harus menghadapi dua situasi berikut ini. Pertama, ia perlu mengantisipasi "pelarian" pemilih seiring kepastian kandidat yang akan bersaing. Tentu saja juga berlaku kemungkinan sebaliknya. Ini sesuatu yang alami, tetapi bukan sama sekali tak bisa dimitigasi. Kedua, pilihan isu kebijakan dan kinerjanya akan dipertanyakan, lebih keras, lebih menohok, dan juga akan lebih substantif dari waktu-waktu sebelumnya. Ahok perlu mempertimbangkan proses pendakuannya secara elegan.

Pengalaman Fauzi Bowo (Foke) pada 2012 perlu dicermati. Pendakuan atas kinerjanya malah berbalik menjadi bumerang bagi dirinya. Meski demikian, harus diakui ada perbedaan dalam hal tingkat kepuasan publik. Tingkat kepuasan terhadap Ahok, menurut survei SMRC Juni lalu, mencapai 70 persen. Sebaliknya, tingkat kepuasan publik terhadap Foke menjelang putaran kedua Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI 2012 hanya 48 persen.

Problem utama kebanyakan petahana adalah rasa percaya diri yang terlalu tinggi karena hanya bersandar pada elektabilitas ketika pemilih belum mendapatkan kepastian siapa yang akan jadi pesaingnya. Terkait ini, Ahok perlu meminimalisasi potensi blunder yang tak perlu, baik yang dilakukan dirinya maupun tim suksesnya.

Meski demikian, baik petahana maupun Sandiaga perlu mewaspadai kemunculan tak terduga kandidat ketiga. Kehadirannya dapat menggerus suara Ahok atau Sandiaga, tergantung dari seberapa dekat isu kebijakan atau personalitasnya dengan kandidat yang sudah ada. Bahkan, jika profiling-nya sangat kuat, kandidat ketiga bukan tak mungkin justru menjadi kandidat yang diunggulkan. Nama Tri Rismaharini (Risma), Wali Kota Surabaya, adalah contoh konkret dari kategori kandidat ketiga ini.

Batas kelelahan

Bagi pemilih, kepastian calon kandidat yang akan bersaing niscaya akan lebih memudahkannya melakukan evaluasi dan menetapkan preferensi siapa yang akan kelak dipilihnya. Lebih mudah bukan berarti akan lebih pasti.

Pemilih yang sebelumnya sudah punya kecenderungan untuk memilih kandidat tertentu tetap membutuhkan penguatan tambahan. Ia perlu ditegaskan bahwa pilihannya sudah tepat. Berdasarkan hasil jajak pendapat dari sejumlah pilkada, pemilih umumnya mendapatkan penguatan ini dari interaksinya dengan orang-orang terdekat, baik itu anggota keluarga, tetangga, maupun kolega kerja.

Sebaliknya, pemilih yang belum punya pilihan cenderung akan terus menunda preferensinya. Mereka merasa perlu untuk mulai mencermati kandidat yang tersedia dan juga memantau sentimen publik terhadap para kandidat.

Para kandidat perlu mencermati batas kelelahan dari pemilih, terutama mereka yang belum menentukan pilihannya atau mereka yang masih bisa mengubah pilihan. Pemilih dapat saja tidak menyukai penantang. Namun, jika manuver Ahok atau tim suksesnya membuat dirinya kian tak nyaman, bukan mustahil mereka terdorong untuk memilih penantang atau sekurang- kurangnya akan golput. Hal yang sama berlaku bagi penantang. Jika agresivitas atau konten kampanyenya terasa berlebih- lebihan atau dinilai terlalu artifisial, hal itu berpotensi menyebabkan pemilih berpaling darinya.

Yang perlu dicermati, meski pemilih bertumpu pada aliran informasi untuk menilai para kandidat, informasi yang diperolehnya belum tentu memberikan kebebasannya untuk memilih. Studi Cwalina dan Falkowski (2008), umpamanya menunjukkan, periklanan politik mampu menjadi pembatas kebebasan bagi pemilih karena keampuhannya memanipulasi dan nalar pemilih.

Dalam kasus pilkada di DKI, sumbernya berasal dari pertarungan pesan di ranah media sosial dan bingkai pemberitaan, terutama di media-media daring. Selain karena pengguna internet di Jakarta relatif tinggi, yang lebih penting lagi pesan-pesan itu juga merembes sebagai bahan percakapan orang per orang di berbagai kesempatan.

Untuk sebagian, keterbatasan ini didorong kenyataan pemilih sudah memiliki preferensi terhadap kandidat tertentu. Untuk sebagian lainnya, keterbatasan ini terpicu telah terlampauinya batas kelelahan pemilih. Batas kelelahan pemilih ini perlu diperhatikan terkait janji-janji politik yang disampaikan para kandidat. Meminjam ungkapan sebuah iklan, janji-janji politik (umumnya) selalu lebih indah daripada aslinya.

Pemilih kerap merasa dibohongi oleh kandidat jagoan mereka yang kemudian terpilih. Apa yang dijanjikan tak sesuai dengan apa yang dihasilkan. Biasanya, semakin tinggi ekspektasi terhadap kandidat, semakin tinggi pula kekecewaan yang muncul ketika diskrepansi antara janji dan realisasinya terlalu menyimpang. Dengan menyatakan ini, kandidat bukan tidak boleh mengumbar janji politik. Kandidat yang tak memberi janji jelas lebih berbahaya karena pemilih seperti memberinya cek kosong untuk berbuat atau tidak berbuat apa pun setelah terpilih.

Kebijakan yang diasong kandidat idealnya tentu yang visioner dan menjawab permasalahan pemilih. Pokok soalnya, memerintah merupakan satu perkara yang lain lagi. Ketika kelak memerintah, pertama, kandidat dihadapkan situasi yang sangat kompleks. Ada DPRD, birokrasi, regulasi pun kelompok-kelompok kepentingan yang kerap saling berkelindan. Dari waktu ke waktu, sebagai pemerintah, kandidat terpilih akan dihadapkan situasi trade-off.

Kedua, setelah terpilih, kandidat juga selalu berpotensi ingin mengedepankan preferensi individunya tentang sebuah atau berbagai kebijakan. Pada masa kampanye, preferensi ini tidak muncul atau sengaja tidak ditonjolkan karena pertimbangan pangsa pasar pemilih yang dibidik saat itu.

Ketiga, pergeseran kebijakan yang berpotensi menimbulkan jarak dengan janji politik juga dapat terjadi karena adanya pemahaman baru atas permasalahan atau ada kejadian yang luar biasa yang memengaruhi kehidupan warga. Karena sebagai pemerintah harus bertanggung jawab kepada seluruh pemangku kepentingan dan bukan sekadar kepada pemilih, kandidat terpilih tak jarang harus menggeser kebijakannya yang berarti juga memperlebar jarak dengan janji politik yang dia utarakan sebelumnya.

Pergeseran sikap atau janji politik merupakan yang alami dalam politik sepanjang didukung argumentasi yang rasional. Namun, di mata pemilih, situasinya bisa sangat berbeda. Ketika batas kelelahan pemilih terlampaui, petahana akan mudah dijuluki sebagai tukang bohong, sementara penantang akan disebut sekadar tukang "obral janji" belaka.

Beberapa catatan

Dari perjalanan pilkada DKI sejauh ini, ada beberapa catatan yang perlu dicermati. Pertama, ketidakpastian tiket dari parpol menyebabkan kandidat yang menyatakan diri ingin berkompetisi di DKI tidak cukup/bersedia mempersiapkan diri lebih dini secara optimal. Sejatinya, ini kecenderungan yang sangat umum di Tanah Air, terutama sekali pasca Pemilihan Presiden 2014.

Situasinya seperti lingkaran ayam dan telur. Parpol umumnya baru memberi tiket pencalonan jika kandidat punya prospek menang yang memadai. Indikatornya elektabilitas dalam jajak pendapat. Di lain pihak, kandidat baru bersedia total football sejak awal jika memiliki garansi akan mendapat tiket pencalonan.

Lebih daripada itu, kandidat umumnya juga menyadari tiket pencalonan juga ditentukan dari kesepakatan antarparpol karena ketidakcukupan syarat formal untuk mengusung kandidat. Dalam kasus di Jakarta, hanya PDI-P yang dapat mencalonkan diri tanpa mesti berkoalisi dengan partai lain. Situasi ini tentu menambah risiko yang harus ditanggung seorang kandidat. Lingkaran telur-ayam ini kiranya perlu diputus. Salah satunya caranya, parpol bisa mulai menginstitusionalisasi pemilihan pendahuluan di tingkat partai.

Kedua, meski Jakarta disebut sebagai daerah yang pemiliknya melek politik dan informasi, tidak ada jaminan persaingan politik yang terjadi akan berlangsung lebih besar porsinya di level isu kebijakan dan atau citra kandidat daripada, umpamanya, politik identitas. Potensi pengerasan politik identitas tetap terbuka dalam waktu yang tersisa.

Hal ini sebelumnya juga sudah terjadi pada Pemilihan Gubernur DKI 2012, khususnya pada putaran kedua. Dengan tema yang berbeda juga terjadi pada Pilgub DKI 2007. Politik identitas juga dijadikan salah satu buldoser dalam meraup suara pemilih pada Pilpres 2014. Kecenderungan ini masih berpeluang berlanjut setidaknya hingga pemilihan presiden dan pemilihan legislatif serentak pada 2019.

Politik identitas bukan sesuatu yang tabu dalam kampanye. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana prosesnya tidak terjerembap menjadi ajang tabur fitnah karena hal seperti ini merugikan warga Jakarta khususnya dan keindonesiaan pada umumnnya.

Pilkada DKI pada akhirnya haruslah tetap menjadi ajang rembukan warga kota ini dalam menentukan ke arah mana Jakarta akan dikembangkan. Karena inilah semangat dasar dilaksanakannya pilkada secara reguler. Pilkada sudah seharusnya menjadi momen bersama dan bukannya diwacanakan sebagai medan perang, misalnya.

YUNARTO WIJAYA, DIREKTUR EKSEKUTIF CHARTA POLITIKA INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Serba-serbi Pilkada DKI".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger