Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 01 Oktober 2016

Kemiskinan Petani dan Perdesaan (IVANOVICH AGUSTA)

Polemik kemiskinan petani antara Dwi Andreas Santosa (Opini, 26/9) dan Agung Hendardi (Surat Pembaca, 29/9) sebenarnya hanya memperhitungkan perubahan angka-angka yang terlalu rendah. Namun, selisih penyimpulan mewujudkan rekomendasi masa depan pertanian yang berlawanan.

Pokok masalah nyata justru pada kemiskinan yang menetap di perdesaan. Kemiskinan yang membandel hanya mungkin dipecahkan secara struktural.

Dalam menyusun argumen, Andreas dan Agung sama-sama menggunakan angka kemiskinan dan nilai tukar petani. Selisih pemahaman muncul ketika digunakan periode publikasi data yang berlainan.

Badan Pusat Statistik lazim mengeluarkan informasi kesejahteraan pada Maret dan September, sejalan dengan pengambilan informasi Survei Sosial dan Ekonomi Nasional. Indikator bulanan kesejahteraan petani dapat disesuaikan dengan periode itu.

Selama Maret 2015-Maret 2016, kemiskinan perdesaan dan petani relatif tetap. Tingkat kemiskinan perdesaan tetap 14 persen walau BPS berupaya merangkai sejumput pengurangan dari 14,21 persen jadi 14,11 persen. Jumlah orang miskin di perdesaan masih 18 juta jiwa walau BPS merincinya dari 17,94 juta jiwa jadi 17,67 juta jiwa.

Khusus petani, tingkat kesejahteraan berbasis keuntungan produksi pertanian diindikasikan nilai tukar petani (NTP). Dalam periode sama, NTP bergeming 101, yang bermakna saban kali bermodal petani hanya untung 1 persen. Lagi-lagi BPS meletakkan pergeseran setitik desimal, dari 101,53 menurun menjadi 101,32.

Problem kemiskinan struktural petani kian jelas kala diteropong lebih panjang. Selama 2003-2013, petani lapisan bawah terpental dari pertanian. Ini ditunjukkan petani berlahan kurang dari 0,1 hektar turun hingga 13,43 persen (5 juta petani), yang tidak mungkin tertampung pada selapis petani di atasnya (berpemilikan 0,1-0,5 ha) karena hanya meningkat 5,98 persen dan jumlahnya tetap menurun 52.168 jiwa.

Rata-rata 1 persen per tahun rumah tangga petani miskin keluar dari pertanian. Contohnya, selama September 2013-2014, rumah tangga yang bekerja pada pertanian turun dari 52,89 persen jadi 51,67 persen. Penurunan juga tampak pada industri, dari 6,21 persen jadi 5,07 persen. Mereka jadi pengangguran yang meningkat dari 11,73 persen jadi 12,03 persen atau bekerja pada kategori lain (diperkirakan sektor informal) yang menanjak dari 29,18 persen jadi 30,23 persen.

Solusi struktural

Kemiskinan yang menetap merupakan indikasi utama problem struktural. Karena itu, pemecahannya tidak cukup diarahkan pada jumlah dan persentase orang miskin. Pemecahan kemiskinan struktural harus diarahkan pada perbaikan sebaran kesejahteraan, yang biasa diindikasikan oleh indeks gini.Sayang,indeks gini yang relatif tetap pada 0,33 menunjukkan ketimpangan di perdesaan turut menetap.

Kemiskinan struktural petani tak bisa diatasi dengan perubahan faktor produksi pertanian yang bersifat variabel, seperti pupuk dan mekanisasi. Ini hanya memberikan keuntungan jangka pendek sebelum jatuh dalam jurang kemiskinan kembali.Pemecahan kemiskinan struktural petani harus diarahkan pada pergeseran modal tetap rumah tangga tani. Jamak diketahui, modal tetap utama ialah lahan.

Sayang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang melansir indeks gini penguasaan tanah di luar kawasan hutan (fresh land) setinggi 0,59. Ini bisa dibaca 1 persen elite menguasai hingga 59 persen lahan pertanian.Untungnya, terdapat mandat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 agar pemerintah membagikan setidaknya 9 juta hektar lahan pertanian.Sesuai dokumen resmi itu, ini bisa dilakukan dengan mengonversi 15 persen hutan yang saat ini terdapat di kawasan pertanian.

Reforma agraria itu terjal, terutama dikhawatirkan desakan ekonomi mendorong petani penerima segera menjual lahan redistributif. Alternatifnya, Kementerian Dalam Negeri mengoperasionalkan Permendagri No 1/2016, yaitu menangkap lahan redistributif sebagai aset desa. Permendagri No 111/2014 digunakan menyusun peraturan desa sebagai dasar hukum penetapannya sebagai lahan komunal sehingga bisa digunakan petani-petani miskin secara bergiliran.

Selama proses pengurangan kemiskinan struktural petani, Kementerian Pertanian harus mengarahkan langkah menuju pertanian dan perdesaan yang ramah bagi petani kecil dan buruh tani. Jika tidak, kementerian perlu menyiapkan proses manusiawi bagi keluarnya petani gurem dari sektor pertanian.

IVANOVICH AGUSTA, SOSIOLOG PEDESAAN IPB

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Kemiskinan Petani dan Perdesaan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger