Rencana Kemdikbud ini sepintas menjadi angin segar bagi para sejarawan, termasuk mereka yang tidak berafiliasi dalam lembaga formal pendidikan tinggi dan lembaga riset. Selama ini awam mengesankan sejarawan adalah mereka yang hanya berprofesi sebagai dosen atau profesor sejarah di universitas, peneliti sejarah di lembaga riset pemerintah, atau mereka yang hanya diakui tergabung dalam komunitas profesi sejarawan.
Padahal, sebenarnya ada kalangan yang tidak pernah mengecap studi sejarah secara formal, tetapi yang bersangkutan produktif meneliti dan menulis sejarah. Yang bersangkutan pun tak segan mengklaim diri sebagai "sejarawan" dan publik bahkan mengakuinya. Sebaliknya, bukan jaminan seorang dosen atau peneliti sejarah dikenal dan diakui profesinya oleh publik sebagai sejarawan mengingat pemikiran dan produktivitasnya dalam berkarya tidak dikenal dan diakui publik. Pengakuan baru muncul ketika yang bersangkutan mula- mula bisa menempatkan dirinya selaku—mengutip Benedict Anderson—"intelektual publik".
Lantas, syarat apa dan siapa yang seharusnya berhak untuk mendapuk sebutan sejarawan?
Pentingkah disertifikasi?
Kemdikbud beritikad akan menguji sertifikasi sejarawan dari kalangan yang tidak melulu berlatar belakang pendidikan sejarah; dengan syarat, mereka memiliki karya sejarah yang baik.
Jika begitu halnya, ini adalah peluang baik untuk memperbaiki citra penulisan sejarah agar bersih dari berbagai proyek kotor sejarawan yang disetir kepentingan politik dan ekonomi tertentu. Jika sampai sejarawan disetir oleh kepentingan tersebut, fakta-fakta baru dan penting yang sedianya diketahui dan menyadarkan publik bakal tergadaikan. Dengan kata lain, ini tantangan bagi para lulusan sejarah (dari kalangan akademik) untuk membuktikan kompetensinya dan pertanggungjawaban keilmuannya sebagai "sejarawan" terhadap masyarakat (bukan cuma terhadap lembaga di tempat di mana ia bekerja).
Penguji sertifikasi sejarawan tentunya diharapkan dapat menguji substansi karya-karya sejarawan yang idealnya ditulis untuk menumbuhkan kesadaran publik terhadap nilai-nilai kesejarahan. Seperti apakah kriteria ideal karya-karya sejarah itu? Yaitu, sejarah yang bukan menarasikan masa lalu untuk masa lalu itu sendiri, melainkan menarasikan masa lalu untuk menyadarkan masyarakat terhadap keadaan kekinian (present) dan keakanan (future).
Maksud dari karya sejarah yang "menyadarkan" itu, menurut sejarawan Alun Munslow dalam Deconstructing History (2001), adalah sejarah yang dapat menanamkan sikap kritis masyarakat untuk terus mempertanyakan kebenaran atas masa lalu. Masyarakat yang kritis, sudah barang tentu, akan turut mengontrol kerja dan karya sejarawan. Sebab, kata sejarawan Siep Stuurman dan Maria Grever (2007), "historians do not own history. In democratic societies, history is a public concern".
Sebenarnya ada Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), perhimpunan di mana anggotanya mencakup para sejarawan yang sejatinya berperan dalam menentukan perkembangan wacana dan penulisan historiografi di Indonesia. Namun, nyatanya, tidak semua sejarawan tertampung di MSI. Bahkan, banyak di antara mereka yang tidak terdata di dalamnya. Ada juga yang memutuskan untuk tidak berafiliasi di dalamnya dan malah bisa tetap produktif dalam berkarya. Dengan menilik kondisi MSI yang demikian, maka menjadi wajar jika rencana menyertifikasi profesi sejarawan terkesan mendesak atau penting untuk dilakukan.
Meski begitu, janganlah terlalu anggap penting sertifikasi. Hal terpenting, para sejarawan sebaiknya dapat lebih berefleksi terhadap kiprah para begawan sejarah seperti Mohammad Ali, Sartono Kartodirdjo, dan Kuntowijoyo yang dalam berkarya mereka tidak terkooptasi kepentingan politik, ekonomi penguasa (dan pengusaha), apalagi urusan sertifikasi belaka.
Jangan sampai sertifikasi profesi untuk sejarawan menjadi seperti citra profesi guru dan dosen yang sibuk dengan urusan sertifikasi belaka meski tohnyatanya hal itu tidak serta-merta membawa perubahan positif bagi dunia pendidikan, bukan?
FADLY RAHMAN, SEJARAWAN, ALUMNUS PASCASARJANA SEJARAH UGM
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Ketika Sejarawan Bersertifikasi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar