Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 01 Oktober 2016

Pancasila Cita-cita Indonesia (YONKY KARMAN)

Orde Baru merayakan kesaktian Pancasila yang tak tergantikan oleh ideologi komunisme. Mistifikasi Pancasila analog dengan kuasa gaib yang menyelamatkan Indonesia dari menjadi negara komunis. Itulah Pancasila sebagai dasar statis, tak tergoyahkan, di atasnya berdiri bangunan negara Indonesia.

Bung Karno dalam kursus tentang Pancasila (1958) memakai metafora meja statis, "yang dapat mempersatukan segenap elemen bangsa ... dan negara".Pancasila digali dari dalam masyarakat jiwa masyarakat Indonesia sendiri, sedangkan komunisme merupakan elemen asing. Membaca Pancasila sebagai sesuatu yang dipertahankan dan dibela membuat kita abai dengan implementasinya dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.

Negara berketuhanan

Ketika Pancasila dibenturkan dengan ideologi komunisme, terjadilah pengarusutamaan sila Ketuhanan, yang kebetulan urutannya pertama pada Pembukaan UUD 1945. Tanpa disengaja, sila-sila lain menjadi kurang utama. Agama dianggap obat mujarab (panasea) yang dapat menyelesaikan semua masalah, mulai dari karakter sampai perekonomian bangsa.

Diskursus agama yang mendominasi ruang publik rentan dipolitisasi. Rakyat terpancing dengan politisasi agama dan sentimen keumatan. Alih-alih nasionalisme religius, transnasionalisme agama menyubordinasi keindonesiaan. Alih-alih Pancasila, agamalah yang diperjuangkan sebagai landasan berpolitik. Perasaan seumat lebih kuat daripada perasaan sebangsa.

Keberagamaan kita pun defisit kesalehan sosial dan kesalehan publik. Tidak heran dalam laporan hasil penelitian Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University yang berjudul "How Islamic are Islamic Countries" dalam Global Economy Journal (2010), 15 negara dengan peringkat tertinggi secara kebetulan mempraktikkan nilai-nilai islami dan semuanya tergolong sekuler. Negara-negara itu juga memiliki Indeks Persepsi Korupsi tertinggi.

Kita tidak konsekuen mengimplementasikan nilai-nilai islami. Beragama kita tidak menjunjung keadaban. Kita tidak tegas memerangi musuh utama bangsa saat ini, yakni korupsi. Mentalitas koruptif menyuburkan berbagai kejahatan terkait narkoba, pornografi, eksploitasi seksual, diskriminasi layanan publik, dan penegakan hukum yang lemah. Kerukunan antarumat seharusnya diletakkan dalam konteks menghadapi musuh bangsa. Rakyat bersatu menghadapi musuh bersama.

Dalam pidato Bung Karno yang menandai hari lahir Pancasila, sila Ketuhanan di urutan kelima. Bangsa Indonesia "bertuhan secara kebudayaan ... dengan cara yang berkeadaban ... hormat menghormati satu sama lain ... ketuhanan yang berkebudayaan". Kebetulan bumi Indonesia bukan tempat lahir agama-agama yang kebanyakan dianut rakyat. Karena itu, beragamalah tanpa menjadi kebarat-baratan, keindia-indiaan, atau kearab-araban. Beragamalah sebagai orang Indonesia dalam semangat keindonesiaan.

Namun, Pancasila tidak hanya secara defensif menolak ideologi lain, Pancasila juga cita-cita bangsa, yang seharusnya dapat mendekatkan rakyat kepada tujuan bernegara. Kekuatan sebuah cita-cita adalah seberapa realistisnya itu, bukan kegaibannya. Itu sebabnya sebagai landasan filosofis (filosofische grondslag)atau cara pandang (weltanschauung) kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila memiliki pengertian lebih luas.

Bung Karno juga memaksudkannya sebagai leidstar yang dinamis (bintang pimpinan), yang menggerakkan kemauan dalam hati rakyat untuk berjuang, yang memberikan tuntunan dinamis ke arah mana bangsa bergerak. Dalam arti itu, Pancasila dapat memusatkan energi rakyat guna mewujudkan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Cita-cita bangsa

Dalam pidato 1 Juni 1945, hari lahir Pancasila, Bung Karno menegaskan bahwa Indonesia merdeka didirikan bukan untuk satu golongan, melainkan "semua buat semua". Itulah urgensi dan pentingnya kebangsaan Indonesia (nasionalisme) sebagai sila pertama, berbeda dari urutan yang sekarang dikenal.

Indonesia sebuah negara bangsa (nationale staat) terbentuk oleh orang-orang yang merasa diri bersatu dan mau bersatu karena persatuan nasib. Sebagai demikian, bangsa itu sendiri sudah ada sebelum proklamasi kemerdekaan. Karena itu, teks Proklamasi berbunyi "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia".

Menyadari nasionalisme bisa menjelma menjadi superioritas berbangsa (chauvinisme), seperti nasionalisme Jerman semasa Hitler, sila kedua yang dibicarakan adalah Internasionalisme atau Perikemanusiaan. Yang dimaksud bukan globalisme (globalisasi belum menjadi realitas), melainkan hubungan antarnasionalisme sebagai kelanjutan nasionalisme.

"Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme". Nasionalisme suatu bangsa tak boleh menjadi ancaman bagi bangsa lain. Becermin pada pengalaman tertindas banyak bangsa terjajah, hal itu terjadi karena tiadanya perikemanusiaan, disangkalnya kesetaraan martabat semua manusia dan semua bangsa.

Namun, bangsa dan membangsa adalah dua hal berbeda. Bangsa adalah sebuah fakta historis. Membangsa adalah sebuah proses memupuk perasaan sebangsa agar semakin bersatu sebagai rakyat. Sejak rezim otonomi daerah dan pilkada, sentimen primordial mudah dipakai dalam kompetisi politik. Seolah-olah, putra daerah atau agama tertentu lebih Indonesia. Akibatnya, rakyat dirugikan dengan pemimpin terpilih yang tak berkualitas.

Dengan sila ketiga, Mufakat atau Demokrasi, Bung Karno menolak demokrasi liberal (keputusan yang menyangkut semua orang diambil berdasarkan suara mayoritas semata). Cara memperjuangkan aspirasi rakyat adalah dengan memberikan otoritas kepada lembaga yang anggota-anggotanya mewakili rakyat dalam berbagai golongan. Mereka berjuang dalam suasana musyawarah untuk mufakat.

Demokrasi politik (demokrasi perwakilan) harus melekat dengan demokrasi ekonomi (sila keempat Kesejahteraan Sosial). Mengingat kapitalisme dapat menindas secara ekonomi, Bung Karno mencita-citakan negara hadir untuk mengintervensi keserakahan ekonomi sedikit orang demi banyak orang yang masih miskin. Kaum kapitalis tidak boleh merajalela di bumi Indonesia. Seluruh rakyat harus "sejahtera ... merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi ... cukup ... sandang pangan". Kesejahteraan sosial harus melekat pada kesetaraan hak-hak politik.

Tujuan Indonesia merdeka pun tertuang pada alinea ketiga Pembukaan UUD 1945, "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial".

Kepemimpinan Pancasila

Sesudah merdeka lebih dari tujuh dekade, apakah arah berbangsa dan bernegara Indonesia semakin mendekatkan rakyat kepada cita-cita Pancasila? Ada capaian tetapi masih banyak belum tercapai. Bung Karno menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia hanya "jembatan emas" untuk mengantar rakyat Indonesia tiba di alam "kita memerdekakan rakyat kita ... kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat ...".

Siapakah "kita" yang dimaksud? Tentunya seluruh rakyat Indonesia, tetapi terutama penyelenggara negara. Pancasila pertama-tama harus terukir di dalam sanubari penyelenggara negara dari pusat sampai daerah. Merekalah target pertama pancasilaisasi, untuk mengamalkan Pancasila secara konsekuen dalam kebijakan ataupun implementasinya.

Bung Karno menyebut tiga syarat pemimpin di bumi Pancasila. Pertama, mampu melukiskan cita-cita bangsa kepada rakyat. Kedua, mampu menanamkan rasa percaya diri rakyat untuk mencapai cita-cita itu. Di hati rakyat tertanam keyakinan "kita bisa". Ketiga, mampu menanamkan kemampuan untuk mencapai cita-cita itu. Pembangunan fisik saja tidak cukup, rakyat juga harus diberdayakan untuk mencapai cita-cita itu.

Apabila kebijakan negara dan laku penyelenggara negara bertentangan dengan Pancasila, praktik kehidupan berbangsa dan bernegara juga akan tidak pancasilais. Pemerintah mengalami defisit otoritas untuk merekayasa rakyat yang pancasilais. Tiap orang akan berbuat apa yang benar hanya menurut pandangan sendiri (kelompok). Pancasila tidak menjadi leidstar yang dinamis.

Krisis bangsa adalah kegagalan menjadikan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebagai gantinya, uang dan kekuasaan menjadi daya tarik terkuat. Demokrasi pun membuat rakyat sulit membedakan antara pemimpin sejati dan politisi oportunis.

YONKY KARMAN, PENGAJAR DI SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGIA JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Oktober 2016, di halaman 6 de


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger