Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 05 Oktober 2016

Problem Global Solusi Global (IGNATIUS HARYANTO)

Pada pekan ketiga September lalu, Global Forum for Media Development (GFMD) bersama Dewan Pers dan Universitas Multimedia Nusantara menyelenggarakan Jakarta World Forum for Media Development.

Ratusan peserta datang dari berbagai penjuru dunia. Panitia menghadirkan aneka forum pararel untuk mendiskusikan banyak topik: peran media dalam pembangunan dunia dewasa ini, keselamatan jurnalis, kebebasan pers, jurnalisme investigasi, ujaran kebencian, transformasi media di era digital, media literasi, ekstremisme, perempuan sebagai pemimpin media, pendanaan bagi media, dan lain-lain.      

Menghadiri berbagai forum yang tersebar itu, penulis merasakan problem yang dihadapi media saat ini adalah transformasi memasuki era digital, kekhawatiran akan relevansi media ke depan, kebebasan pers, keselamatan wartawan, pentingnya jurnalisme investigasi, dan media literasi. Itulah yang membuat jurnalisme tetap relevan bagi masyarakatnya pada era ini.

Beberapa forum mengeluarkan nada pembicaraan yang terdengar pesimistis, terutama ketika membicarakan ujaran kebencian, ekstremisme, dan kebebasan pers. Lewat tampilan video yang diambil diam-diam, hadirin menonton kesaksian seorang perempuan jurnalis asal Azerbaijan (Radio Free Europe) yang sedang mengalami tahanan rumah. Rekan jurnalis senegaranya banyak mengalami hal serupa: ketidakbebasan meliput, jurnalis yang dipenjarakan hingga dibunuh oleh penguasa yang tak suka kebebasan pers.

Pikiran penulis melayang ke masa kegelapan Orde Baru. Media serba dikekang. Harus mendapat izin terbit. Pemimpin redaksi diseleksi. Jenis penerbitan ditentukan pemerintah. Isi pemberitaan setiap hari dipantau Departemen Penerangan. Iklan sedikit lewat dari ketentuan 30 persen akan jadi soal. Telepon dari sejumlah instansi, terutama militer, melarang pemberitaan ini dan itu untuk esok hari. Belum lagi pembredelan, pencabutan SIUPP, atau wartawan yang diteror hingga meninggal seperti Fuad Muhammad Syafrudin dari Yogyakarta.

Media dan jurnalis di seluruh dunia yang merasakan kebebasan pers pastilah telah berjuang keras membuat medianya tetap merdeka karena, bagaimanapun juga, pemerintah selalu punya kecenderungan mengontrol isi media. Namun, itu saja tidak cukup. Mereka yang telah merdeka ini harus juga simpati kepada negara tetangga yang masih mengalami media terkekang.

Di kawasan Asia Tenggara kita melihat media di Myanmar, Vietnam, Kamboja, Malaysia, dan Singapura masih terkekang. Banyak masalah publik yang luput diangkat ke permukaan karena pemerintah terlalu sensitif pada kritik dan akhirnya merugikan publik di negara yang bersangkutan. Indonesia yang lebih dulu merdeka dalam pers perlu terus meyakinkan pemerintah dan media negara tetangga: meski kemerdekaan pers bukan obat mujarab untuk segalanya, ia pasti sangat berguna menghadirkan masyarakat sehat demokratis. Indonesia dihormati banyak negara sebagai negara yang telah berjuang keras keluar dari pemerintahan otoriter dan menjadi negara demokratis terbesar keempat di dunia.

Sebuah presentasi yang cukup menarik ditampilkan seorang pembicara asal Kolombia, Ricardo Corredor dari Fundacion Gabriel Garcia Marquez para el Nuevo Periodismo Iberoamericano. Corredor berbicara tentang inovasi yang dilakukan sejumlah media di Amerika Latin. Paparannya menunjukkan upaya sejumlah media di Amerika Latin mengikuti tren era digital walau, ketika dilakukan analisis terhadap isi inovasinya, topik yang lebih banyak diangkat adalah dunia hiburan.

Solusi: kolaborasi

Masih ingat Panama Papers yang menghebohkan pada awal 2016? Penulis berkesempatan berbincang-bincang dengan Hamish Boland-Rudder, salah seorang editor ICIJ yang berada di balik laporan tentang Panama Papers. Panama Papers bersumber dari 11,5 juta dokumen yang keluar dari kantor hukum Mossack Fonseca. Laporan ini merupakan kolaborasi 107 kantor media dari 80 negara. Laporan ini menunjukkan betapa sejumlah politisi dunia, pebisnis, hingga olahragawan menyembunyikan kekayaan mereka di negara-negara berpajak rendah.

Panama Papers-bersama sejumlah kolaborasi sebelumnya seperti Luxembourg Leaks, Off Shore Leaks-adalah contoh bagaimana kerja sama global dilakukan para jurnalis sejumlah negara dan kantor media. Panama Papers adalah salah satu contoh respons yang dilakukan para jurnalis yang saling berkolaborasi untuk membongkar manipulasi transnasional, sekaligus manipulasi yang berskala global. Ingat bahwa globalisasi di satu sisi telah memudahkan modal beredar dengan cara yang mudah dan disembunyikan di tempat yang selama ini sulit dilacak aparat hukum.

Ke depan, kolaborasi semacam ini sangat mungkin makin ditingkatkan, bahkan untuk kawasan yang lebih sempit seperti kerja sama antarjurnalis di negara  Asia Tenggara untuk isu yang menyangkut perdagangan manusia, asap dan kebakaran hutan, pembalakan liar, pencurian ikan, migrasi dari Timur Tengah dll.

Solusi global, solusi lokal

Dalam banyak hal, tantangan yang dihadapi media dan jurnalis masa kini menunjukkan kesamaan antara satu wilayah dan wilayah lain di dunia: arus informasi yang bebas atau terhambat, impunitas kepada mereka yang menghambat kebebasan pers, gosip, ujaran kebencian, manipulasi yang membanjiri dunia maya, pembiayaan media yang independen, bagaimana menghadapi para raja media yang kuyup ambisi ekonomi dan politik, dan bagaimana mengajarkan literasi media di era baru sekarang.

Kesamaan masalah mendorong kita menyimak sejumlah upaya yang dilakukan untuk keluar dari problem yang dihadapi. Kesamaan masalah mendorong kita memahami lebih dalam kompleksitas persoalan yang dihadapi dan mengidentifikasi mana yang paling penting harus dibela. Namun, pelbagai kisah dari sejumlah wilayah dunia itu harus dikembalikan pada konteks lokal di mana kita berpijak.

Bagaimanapun locus kita berpijak punya sejarah sendiri, dinamika sosial dan politik sendiri, aktor-aktor sendiri yang dibungkus kebijakan media tertentu yang disahkan pemerintahan yang berkuasa. Berbagai kisah perjuangan dilakukan para pihak yang peduli dengan masalah ini. Ada yang berhasil, ada juga yang tidak berhasil.

Indonesia hari ini adalah mosaik dari pelbagai masalah tadi: kekuasaan raja media yang makin mengemuka dan tak malu-malu memanfaatkan media untuk kepentingan egosentrisnya, kebijakan media yang hendak diperbarui tapi berhadapan dengan anggota parlemen yang punya hitungan politik sendiri, serta sifat medioker yang menonjol. Pemerintah pun bukan tanpa masalah karena bagaimanapun banyak kebijakan pemerintah tak semuanya transparan, tak bebas dari kepentingan pejabatnya. Media dan masyarakat sipil di Indonesia sering terbelah oleh berbagai kepentingan.

Media sendiri menghadapi persoalan yang tak kalah rumit: menurunnya belanja iklan media cetak tak serta-merta beralih ke media online, ada generasi wartawan yang hilang karena munculnya era digital ini, keterampilan wartawan masa kini yang tergopoh-gopoh menghilangkan kekritisan, pendalaman, serta penguasaan masalah yang ada.  

Media menunjukkan wajah yang semakinblur antara apa itu informasi, apa itu hiburan, apa itu iklan atau artikel bersponsor. Buramnya batas membingungkan banyak pihak. Ada yang bilang bahwa buramnya batas adalah dalam rangka untuk bertahan, tetapi ada juga pihak yang mengatakan bahwa hal itu telah menggadaikan idealisme profesional atas tekanan iklan. Kita belum bicara soal isi media yang terkait radikalisme, LGBT, keberpihakan pada partai politik tertentu. Kita juga belum membicarakan minimnya data yang dapat dipercaya jika kita ingin menganalisis industri media hari ini.

Dari serakan masalah yang ada, sudah seharusnya pelbagai pihak duduk bersama dan merumuskan apa strategi yang harus diambil dalam situasi sekarang. Dewan Pers, Serikat Penerbit Pers, Asosiasi Televisi Swasta, Asosiasi Televisi Lokal, Persatuan Radio Siaran Swasta, Persatuan Media Online, Asosiasi Jurnalis, dan wakil masyarakat harusnya bisa duduk bersama membicarakan masalah ini dan mencari jalan keluar-jika bisa-atas segunung masalah tadi.

Koordinasi

Sering kali di Indonesia banyak hal dilakukan oleh salah satu pihak, tetapi tak pernah saling dibagikan, dibicarakan bersama, apalagi dilakukan koordinasi. Semua berjalan sendiri dengan rencana serta asumsi masing-masing, padahal mungkin ada pihak lain yang telah melakukan hal sama, hanya kebetulan tidak diketahui, karena tak pernah ada kesempatan saling berbagi.

Para pihak yang mewakili berbagai kepentingan media, pemerintah, dan publik perlu melakukan dialog untuk merespons masalah yang kita hadapi sehingga kita bisa maju bersama menghadapi situasi baru yang serba membingungkan ini. Jika kita bisa menemukan forum semacam ini, kita pun bisa belajar cara kita menghadapi situasi tak menentu ini, dan kesepakatan tertentu tadi akan bisa menjadi pegangan sekaligus solusi (lokal) dari problem global yang kita hadapi.

Bagaimanapun karakteristik industri, pemerintah, serta masyarakat di Indonesia memiliki keunikan tersendiri sehingga solusi yang pas pun bukan sekadar mengadopsi dari luar, tetapi mempertimbangkannya ketika diterapkan di Indonesia. Siapa tahu, apa yang bisa dirumuskan oleh Indonesia dalam situasi sekarang (lokal) bisa juga memberi sumbangan pada kondisi global nantinya.

IGNATIUS HARYANTO

Peneliti Media; Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Problem Global Solusi Global".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger