Manusia sebagai makhluk kebudayaan, kata Emha, senantiasa memiliki "utang-utang kebudayaan" yang harus dibayar demi membangun peradaban. Secara personal, pembayaran utang-utang kebudayaan itu melalui penciptaan karya yang bermakna dan bernilai. Karena itu, menciptakan karya hukumnya wajib. Menunda berkarya berarti menumpuk utang kebudayaan.
Gagasan Emha tetap relevan dan dapat diperluas dalam perspektif sosial. Misalnya terkait dengan (1) kewajiban para pemimpin untuk selalu memiliki gagasan dan karya yang visioner dan (2) kewajiban para pemimpin dalam menciptakan regenerasi kepemimpinan.
Pilihan etis-ideologis
Pemimpin tidak hanya dilahirnya oleh zaman, tetapi juga oleh kesanggupan dan kemampuan diri sendiri. Zaman dapat diartikan sebagai dinamika perubahan yang berbasis pada spirit (nilai) tertentu. Misalnya, zaman pergerakan pada era kolonialisme mendorong lahirnya semangat patriotisme dan nasionalisme. Kemerdekaan dan terwujudnya negara kesatuan/kebangsaan pun menjadi cita-cita kolektif. Pilihan etis-ideologis menjadi patriot dan nasionalis sejati telah dijalankan dengan sangat baik oleh para pendiri republik ini: Tjokroaminoto, Soekarno, Muhammad Hatta, Sjahrir, M Natsir, dan lainnya.
Adapun kesanggupan dan kemampuan diri sendiri untuk lahir menjadi pemimpin mengacu pada kualitas personal yang tecermin pada integritas, komitmen, kemampuan, dan dedikasi yang terproyeksi secara ideologis dan sosial. Kualitas personal itu berkonfrontasi dengan realitas obyektif dan menjelma menjadi karakter.
Kekuatan karakter inilah yang menjadikan para pendiri republik ini tidak lembek dan mudah menyerah ditekan kekuatan eksternal kaum kolonial ataupun diimpit problem personal seperti kemiskinan material. Ideologi dan idealisme mengalahkan pragmatisme. Jalan perjuangan jadi pilihan. Apa pun risikonya.
Sebagai pemimpin yang peka terhadap regenerasi, para pendiri republik ini pun membuka peluang bagi anak-anak muda saat itu untuk berkembang dan menemukan eksistensinya. Ini tampak pada dedikasi Tjokroaminoto dalam mendidik Soekarno, Semaun, M Natsir, dan lainnya untuk menjadi pemimpin bangsa. Tjokroaminoto secara gemilang mampu membayar-istilah Emha-"utang-utang kebudayaan".
Begitu pula murid-murid Tjokroaminoto dan para pemimpin lainnya. Mereka dengan penuh semangat cinta melahirkan para pemimpin baru. Waktu itu, partai politik atau interaksi sosial yang intensif pembentukan kader menjadi wahana pengolahan kepribadian, pembentukan karakter dan pengembangan wawasan, serta keterampilan para calon pemimpin.
Tradisi melahirkan para pemimpin masih berlanjut hingga rezim Orde Baru berkuasa, tetapi dengan aksentuasi teknokrasi. Dengan dukungan para teknokrat, Soeharto membangun rezim yang lebih berorientasi pada pembangunan ekonomi, dengan cita-cita kesejahteraan kolektif, dengan plus-minusnya.
Adapun di luar rezim Orba, kita masih menemukan banyak lingkaran atau komunitas sosial, politik, dan budaya yang juga melahirkan para pemimpin nonformal. Munculnya tokoh-tokoh dari lembaga sosial masyarakat (LSM), lingkaran studi kebudayaan, lembaga sosial-agama, dan lainnya menjadi bukti sekaligus fenomena yang tak terbantah.
Mereka bertebaran memasuki ranah publik dan mengambil peran sosial sesuai dengan minat serta kemampuan. Ada yang terjun di partai politik, lembaga-lembaga pemberdayaan publik, pers/media, pendidikan, pertanian, kesehatan, hukum, ekonomi, buruh, dan seni budaya.
Banalitas
Setelah Orde Baru atau masa reformasi, banyak pemimpin muncul, tetapi tidak semuanya memiliki rekam jejak yang jelas. Regenerasi kepemimpinan tidak berlangsung secara smooth, natural, dan terukur. Banyak pemimpin dadakan. Banyak pula pemimpin muda yangnyantol pada tokoh besar dan akhirnya bisa menduduki pos-pos dalam pemerintahan. Hubungan patron-klien tampak dominan.
Pemahaman bahwa pemimpin selalu lahir dari gerakan sosial- politik-budaya mulai "tidak berlaku" lagi dan digantikan anggapan bahwa siapa pun bisa jadi pemimpin asal memiliki akses pada kekuasaan. Akhirnya, banyak pemimpin yang menjalankan peran sosialnya karena dicangking patron-patron politik dan ekonomi. Bertebaranlah pemimpin-pemimpin instan. Tidak matang. Bahkan tidak otentik.
Yang dilakukan para patron politik dan ekonomi ketika mereka mengorbitkan pemimpin- pemimpin baru tidak bisa dimaknai sebagai upaya membayar utang-utang kebudayaan, tetapi justru blunder kebudayaan. Yakni, salah langkah yang kadang berakibat fatal. Ini disebabkan banyak hal, misalnya pragmatisme atau primordialisme dan interes kekuasaan yang kuat dan dominan. Idealisme dan dedikasi pun dipinggirkan.
Politik merupakan seni menjalankan kekuasaan. Kata seni pada frase itu menandaskan bahwa politik merupakan bagian dari kebudayaan. Dalam kebudayaan ada kata kunci, yakni berakar, tumbuh, berkembang, dan berbuah. Semua itu berkaitan dengan nilai, etika, norma, ide, perilaku, dan karya. Para pemimpin instan dapat dikatakan melawan kodrat kebudayaan.
Selain itu, kata seni dalam konteks politik mengacu pada etika, logika, dan estetika. Etika mengacu pada keluhuran moralitas. Logika mengacu pada kebenaran. Dan, estetika mengacu pada keelokan dan kepantasan. Semuanya bermuara pada martabat
Blunder kebudayaan dalam kepemimpinan hanya akan melahirkan para pemimpin karbitan, instan, dan mentah. Outputnya bukan nilai-nilai kebudayaan yang menggerakkan kreativitas bangsa, melainkan banalitas. Hal itu kita rasakan sekarang: kebudayaan digerakkan oleh banalisme.
INDRA TRANGGONO
PEMERHATI KEBUDAYAAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Blunder Kebudayaan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar