Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 06 Oktober 2016

Inkubasi Kelas Menengah (SUWIDI TONO)

Kemajuan negara dan kematangan demokrasi mustahil terwujud tanpa keterlibatan kelas menengah. Kehadirannya dalam jumlah dan kualitas mencukupi diperlukan untuk menjamin tegak dan kokohnya supremasi hukum dan daulat rakyat.

Menumbuhkan kelas menengah mensyaratkan keadilan dalam distribusi pendidikan, kerja, aset, akses, dan pendapatan. Kedua, melembaganya kesetaraan  aspirasi, deliberasi, dan ekspresi di semua lapangan kehidupan.  Postulat  ini sepenuhnya bergantung pada keputusan politik, baik diperoleh lewat konsensus maupun ekstra parlementer.

Lapisan kelas menengah sejati dicirikan memiliki kecukupan world view, paham konstelasi dan situasi, aktif menjadi agen perubahan, dan sangat peduli dengan kualitas kehidupan sekarang dan masa depan. Selain peka terhadap dinamika perubahan, juga antisipatif dengan tantangan internal dan eksternal.

Indonesia hari ini menderita defisit kelas menengah akibat entropi wawasan kebangsaan, bercokolnya rezim tiran cukup lama, dan kegagapan mengelola reformasi. Akumulasi seluruh proses ini adalah involusi tak berujung yang tecermin pada beberapa indikator: masyarakat lembek, kontrol terhadap negara lemah, ketimpangan sosial-ekonomi tajam, hukum karut-marut, korupsi merajalela, berkembangnya pragmatisme politik dan tuna ideologi yang hanya melayani kepentingan sendiri.

Tantangan besar dan berat

Kita belajar dari negara-negara yang sukses menciptakan sistem distribusi peluang dan  stratifikasi sosial-ekonomi secara adil sehingga menuai hasil berupa dinamika politik terjaga, minim letupan sosial, dan bergulirnya inovasi sebagai buah kesadaran tinggi untuk mempertahankan tingkat kemajuan dan kematangan bernegara. Negara-negara  Skandinavia, Jepang, dan banyak lagi lainnya menekan sumber-sumber ketidakamanan  nasional (national insecurity) dan mengeksplorasi energi positif rakyatnya guna meraih  tapal batas kemajuan baru.

Kita masih jauh dari fase self generating momentum, suatu kondisi yang memungkinkan bertumbuh kembangnya masyarakat madani dengan daya ungkit besar mendorong perubahan substansial. Kohesivitas dan ekstrapolasi kesetaraan, kebebasan, serta persatuan membutuhkan inkubator yang beralas-sumbu kerangka sosial-politik-ekonomi progresif dan terstruktur.

Upaya ke arah itu menghadapi tantangan besar dan berat. Berbagai parameter universal menunjukkan ketertinggalan bangsa ini pada banyak aspek fundamental. Hasil riset Programme for the International Students Assessmentdan Programme for  the International Assessment  of Adult Competenciesmengungkapkan fakta rendahnya kompetensi anak-anak, remaja, dan orang dewasa dalam penguasaan bahasa, literasi, logika, dan pemecahan masalah.

Demikian pula dalam hal daya saing global (global competitiveness), kemudahan berusaha (ease of doing business), indeks korupsi, dan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index), tak dapat disangkal kita jauh tercecer. Semua warisan beban ini memengaruhi perjalanan dan kualitas bangsa ke depan, terutama kemampuan mengoreksi dan menata ulang peta jalan kemajuan.

Dalam kaitan ini, patut dicermati uraian Profesor Sarbini Sumawinata pada Seminar Angkatan Darat 1966. Ia menyebut syarat bangsa "tinggal landas" mencakup: pemerintahan yang bersih, ekonomi yang efisien dan produktif, industri ekspor kuat menuju minimal 50 miliar dollar AS per tahun, industri manufaktur tangguh dan tersebar guna menampung 20-25 persen angkatan kerja, serta industri berbasis pertanian (agrobased industry) untuk menggerakkan ekonomi desa.

Kondisi ini hanya mungkin terwujud jika pada saat bersamaan terjadi perubahan struktur sosial-ekonomi-politik yang memadai untuk menampung denyut dan dinamika tersebut. Singkatnya, muskil menghela kemajuan tanpa internalisasi dan institusionalisasi nilai-nilai penyokongnya, terutama kecerdasan akal budi rakyat.

Realitas struktur sosial-ekonomi-politik bangsa serupa piramida terbalik dengan hanya sebagian kecil the ruling classmemiliki posisi menentukan dan terus melanggengkan status quo kelak akan memanen ketimpangan dan instabilitas permanen. Kenyataan bahwa hanya satu persen penduduk menguasai lebih 50 persen aset nasional, menguatkan temuan Yoshihara Kunio (1988) tentang mengakarnya kapitalisme semu (ersatz capitalism). Rilis terbaru dari gabungan data Forbes, IMF, dan Economist (2016) menempatkan Indonesia di peringkat ketujuh indeks kapitalisme kroni dunia. Jelas birokrasi rente memelihara jenis pengusaha konsesi dan lisensi yang itu-itu saja dan sebaliknya menghambat perkembangan wirausaha sejati.  

Watak serakah (greedy) dan kasar melekat dalam karakteristik ekonomi rente yang sebagian besar merupakan hasil perselingkuhan penguasa-pemodal. Simbiosa ini semakin mencengkeram ketika kekuasaan politik diperoleh dengan biaya tinggi dan bergantung pada oligarki elite partai.

Lapuk dan ringkih

Awetnya ketimpangan dan sistem politik yang belum membawa manfaat bagi kesejahteraan dan kemajuan rakyat menyadarkan kita untuk membangun kelas menengah mumpuni sebagai soko guru perubahan. Kelas terdidik memilikivalues unggul dan mapan sosial-ekonomi biasanya menafikan ketergantungan terhadap pemerintah dan menolak sistem yang korup. Ia juga berpotensi besar menata ulang tatanan sosial-politik-ekonomi yang tidak berpihak pada kemaslahatan rakyat.

Pada era sekarang, peluang mengembangbiakkan generasi cerdas-kreatif sangat terbuka, dipacu oleh  interferensi gelombang pengetahuan dan inovasi kemajuan dari seluruh penjuru dunia. Visi orisinal dan besar atas nama pribadi, kelompok, organisasi dengan cepat menembus   rintangan teritorial dan politik. Namun, upaya kuat menggulirkan benih-benih kesadaran kemajuan perlu menjejak hakikat kebutuhan agar mendapatkan resonansi jauh ke depan. Kreativitas tanpa daya topang  dan kecintaan terhadap nasion bakal lapuk dan ringkih (Dimas Oky Nugroho: "Nasionalisme Kaum Muda", Kompas, 17/9/2016).

Kaum terdidik, mandiri, dan telah selesai dengan urusannya sendiri pada umumnya terpanggil dalam kerja besar mencerdaskan, mencerahkan, dan memberdayakan rakyat. Berjangkitnya elan kerja cerdas, lurus, dan terhormat memantik bangkitnya energi kolektif dan budaya anti ketidakadilan. Pembesaran proses ini akan menjadi sumber pendukung ketahanan nasional  berkat  sumbangan besarnya dalam pembentukan modal sosial dan kapital.  

Tesis klasik meyakini embrio kelas menengah berawal dan muncul akibat meningkatnya kesejahteraan umum. Merujuk pengalaman nyata bangsa ini, referensi itu tidak mendapatkan legitimasinya, Tokoh-tokoh pendiri bangsa banyak yang berasal dari golongan elite berkecukupan dan terpelajar, tetapi tidak silau dengan aneka privilese yang dimiliki dan ditawarkan pemerintah kolonial.

Mereka penentang gigih imperialisme, kolonialisme, dan kapitalisme dalam segala bentuk. Sebaliknya, stabilitas dan kecukupan yang berasal dari bonanza minyak serta sumber daya alam lainnya yang beberapa kali mendatangkanwindfall profit pada era rezim Orde Baru, cuma melahirkan  lapisan "orang kaya baru".

Melalui paralelisme historis ini, kita dapat menyuntikkan elan harga diri, kemuliaan martabat bangsa, dan pengorbanan untuk menyintesa kembali peta jalan kemajuan. Ia tidak lagi bergantung dan dihela oleh daya tarik kemajuan ekonomi  semata yang terbukti tidak menjanjikan pertumbuhan berkualitas dan berkesinambungan. Ia justru berangkat dari berseminya akal budi tercerahkan dan persenyawaan semangat kolaborasi untuk meraih kemandirian bangsa.

SUWIDI TONO

Koordinator Forum "Menjadi Indonesia"

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Inkubasi Kelas Menengah".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger