Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 26 Oktober 2016

TAJUK RENCANA: Migran yang Terkatung-katung (Kompas)

Perancis akhirnya menutup kamp penampungan migran di Calais, yang berbatasan dengan Inggris, dan dipisahkan oleh terowongan bawah laut.

Kamp ini dijuluki "rimba" karena kondisinya yang serba darurat, minim fasilitas yang mendasar, dan keamanannya yang rawan. Sekitar 7.000 migran yang berasal dari Suriah, Afganistan, Irak, dan beberapa negara di Afrika bermimpi untuk bisa menyeberang ke Inggris dan memulai hidup baru di sana.

Namun, situasi global yang berubah, di mana imigran kini menjadi isu besar yang menimbulkan ketakutan di Eropa maupun belahan dunia lainnya, mendorong setiap negara menerapkan aturan sendiri. Warga Inggris, misalnya, memilih Brexit daripada harus menerima aturan migran Uni Eropa. Sementara negara lain di Eropa diterpa semangat xenofobia anti-imigran.

Gerakan ekstrem kanan tersebut membuat hampir semua pemerintahan di Eropa perlahan kehilangan dukungan rakyat. Perancis adalah salah satunya. Tekanan ini yang menjadi salah satu sebab ditutupnya Kamp Calais.

Saat ini ada sekitar 65 juta orang di dunia yang terpaksa lari dari negaranya karena berbagai alasan dan mencoba mencari perlindungan di negara lain. Indonesia pun saat ini menampung sekitar 14.000 migran yang memiliki tujuan masuk ke Australia.

Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi sehingga sebetulnya tidak wajib menampung mereka. Namun, karena alasan kemanusiaan, Indonesia sejak tahun 1970-an bersedia menampung pencari suaka dan pengungsi yang datang dari Afganistan, Myanmar, Irak, Somalia, Banglades, dan Sri Lanka, sampai mereka dipindahkan ke negara tujuan, atau atas kesediaan sendiri bersedia pulang ke negara asal.

Namun, semakin lama jumlah migran yang datang semakin banyak, sementara negara tujuan terus mengurangi kuota untuk pengungsi. Proses verifikasi juga berlangsung lambat sehingga nasib ribuan migran ini terkatung-katung menunggu kabar dari Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR).

Memang bukan hal mudah untuk mencari negara yang mau menampung mereka. Namun, di sisi lain, pemerintah daerah yang menampung dan mengurus para migran ini juga sudah kewalahan. Daya tampung sebanyak 53 Rumah Detensi Imigrasi di sejumlah wilayah di Indonesia sudah melebihi kapasitas, dan ada juga persoalan budaya yang muncul di sana-sini.

Apa yang terjadi di Calais bisa menjadi peringatan bagi Pemerintah Indonesia untuk mencegah tempat-tempat penampungan yang ada saat ini menjadi "rimba" yang tak terkendali. Tentunya tanpa harus kehilangan rasa kemanusiaan terhadap mereka yang membutuhkan perlindungan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Migran yang Terkatung-katung".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger