Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 27 Oktober 2016

TAJUK RENCANA: Radikalisme di Pakistan (Kompas)

Serangan bom bunuh diri di Pakistan yang menewaskan lebih dari 59 orang dan melukai lebih dari 100 orang menegaskan gawatnya kondisi negeri itu.

Mengapa kita katakan "gawat"—tentu dalam konteks keamanan—karena ini bukan yang pertama kali terjadi serangan seperti itu. Serangan mematikan pada hari Selasa lalu dilakukan oleh tiga orang yang mengenakan rompi bom dan bersenjata berat.

Sejak bulan Juli 2007 hingga September 2016 terjadi 24 serangan mematikan, baik menggunakan senjata berat, senjata api, maupun bom bunuh diri. Salah satu korban serangan mematikan itu adalah Benazir Bhutto, yang dibunuh pada 27 Desember 2007.

Dengan jumlah serangan mematikan sebanyak itu—belum termasuk serangan-serangan yang terbilang kecil, dan belum dihitung serangan terakhir pada hari Selasa lalu—jumlah korban jiwanya tidak kurang dari 1.725 orang. Itu pun belum menghitung korban luka-luka dan akhirnya meninggal juga.

Mereka, para korban itu, manusia. Semua manusia. Manusia yang belum tentu bersalah terhadap para penyerang, para pelaku peledakan bom bunuh diri, karena di antara para korban tewas itu ada anak-anak dan perempuan. Perempuan dan anak-anak adalah yang paling rentan menjadi korban penyerangan.

Pertanyaannya adalah mengapa Pakistan menjadi begitu rentan menjadi sasaran serangan kelompok teroris atau kelompok berhaluan keras, kelompok radikal? Mengapa radikalisasi, radikalisme muncul di Pakistan dan menyebar ke seluruh negeri?

Tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Akan tetapi, dapat dikatakan salah satu yang menjadi penyebab munculnya radikalisasi di Pakistan dan menyebarnya kelompok radikal adalah karena negara itu berada di wilayah yang tidak stabil. Pakistan berbatasan dengan Afganistan yang selama ini kita kenal sebagai negeri yang tidak sepi dari aksi kekerasan, negeri yang selama bertahun-tahun dikuasai oleh kekerasan; yang menjadi sasaran perang melawan teror yang dimaklumkan oleh AS setelah serangan 11 September 2001.

Kalau sedikit kita lacak ke belakang, gerakan radikal di Pakistan mulai muncul pada tahun 1979 setelah pendudukan Uni Soviet atas Afganistan, yang melahirkan gerakan-gerakan perlawanan di negeri itu dan melebar ke tetangga. Selain itu, perbedaan etnik juga menjadi salah satu penyumbang pecahnya konflik dan radikalisme di Pakistan, selain masalah politik dan mazhab agama. Kondisi seperti itu dimanfaatkan oleh kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah yang mengklaim sebagai yang bertanggung jawab. Melihat kondisi Pakistan seperti itu, kita bangsa Indonesia pantas bersyukur masih bisa bersatu; bersyukur masih ada kebebasan, meskipun berbeda.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Radikalisme di Pakistan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger