Tugas ini tentu saja tugas yang sangat mulia karena memiliki berbagai tujuan sekaligus: menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, menjaga lingkungan, serta mencari kebenaran secara hakiki. Tugas mulia ini hanya mungkin dilaksanakan di universitas dan bukan di tempat lain.
Namun, adanya isu suap dalam pemilihan rektor (Kompas, 26 Oktober 2016) membuat kita sangat terpukul. Bukan saja karena isu ini tidak sesuai dengan kewajiban sebuah perguruan tinggi (PT), melainkan isu ini secara diametral telah bertabrakan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan pencarian kebenaran yang diperjuangkannya. Isu ini juga ikut membuat lingkungan di negara kita terbeban dengan beban polusi mental dan moral yang luar biasa.
Tajuk Rencana Kompas (27/10) menginginkan 35 persen suara menteri diperjelas ke mana arahnya. Tak akan muncul pertanyaan seandainya menteri memberikan 35 persen suaranya kepada calon rektor yang dapat suara terbanyak dari senat. Jika 35 persen menteri diberikan kepada calon rektor dengan suara terbanyak kedua atau ketiga, pertanyaan pasti akan muncul. Apalagi jika keputusan tersebut tidak dilandasi argumentasi dan basis penilaian yang jelas.
Di samping suara menteri yang 35 persen itu, saya berpendapat tugas rektor sebagai kuasa pengguna anggaran perlu juga dipertimbangkan untuk dihilangkan. Di samping itu, dengan adanya isu ini, hendaknya dapat dijadikan momentum untuk perbaikan PT kita ke depan. Tak hanya dari segi perbaikan kualitas manajemen, tetapi lebih dari itu untuk menyehatkan dan memperbaiki mutu PT yang ada selama ini.
Rektor sebagai kuasa pengguna anggaran
Dengan kewajiban yang sangat mulia, yaitu untuk melaksanakan Tridharma PT, sebenarnya sangat membanggakan juga apabila seseorang yang hebat di PT berlomba mati-matian untuk jadi rektor, yaitu untuk memimpin PT-nya mengeksekusi Tridharma PT. Namun, yang jadi masalah dan pertanyaan kita semua, kalau hanya ingin menjalankan tugas mulia tersebut, untuk apa sampai harus memakai cara-cara yang kotor dengan cara menyuap?
Sebenarnya titik inti yang jadi permasalahan utama kegaduhan pemilihan rektor ini adalah karena rektor merangkap sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA). Dengan anggaran yang luar biasa banyak untuk pengadaan alat dan barang, merehab gedung lama dan membangun gedung baru untuk kepentingan pendidikan, posisi rektor sebenarnya sedang berada pada dua titik ekstrem: sedang mengisap madu atau sedang meminum racun.
Tapi yang jelas, pada dua titik ekstrem tersebut rektor telah merugikan universitas yang dipimpinnya. Dalam posisi sedang mengisap madu, rektor sering lupa tugas-tugas akademiknya. Rektor lebih tersedot perhatian dan energinya untuk menghadapi tugas sebagai KPA. Hal ini masuk akal karena tugas sebagai KPA harus dikawal habis-habisan karena menyangkut uang yang banyak dan pertanggungjawaban yang berat.
Rektor memang secara rutin diperiksa BPK, BPKP, dan inspektorat. Dengan adanya isu suap ini, tampaknya KPK pun akan masuk kampus. Dalam posisi seperti ini, tidak mungkin lagi seorang rektor punya waktu dan kesempatan untuk memikirkan visi dan misinya guna menjalankan Tridharma PT.
Sementara dalam posisi yang sedang meminum racun, tecermin dari fakta bahwa sudah belasan rektor atau wakil rektor yang terjerat kasus korupsi. Hal ini tentu saja akan menurunkan wibawa dan marwah PT serta membuat masyarakat kita menjadi tambah apatis.
Apa artinya ini semua? Tampaknya kita telah memberi peran yang absurd kepada rektor di universitas kita. Kita semua, yaitu masyarakat, dosen, dekan, rektor sendiri, dan pemerintah tahu bahwa memberi tugas kepada rektor untuk mengelola keuangan universitas bukanlah keputusan yang baik. Ini tugas yang membuat semua elemen di universitas menjadi sakit, terpuruk dan putus asa. Universitas jadi tak fokus dalam mengurus sisi akademik yang justru menjadi tugas utama sebuah universitas.
Mengapa demikian? Karena saat seorang rektor terpilih, dia akan membawa seluruh kawan dan tim suksesnya ke dalam gerbongnya untuk bersama-sama mengisap madu atau meminum racun yang telah disediakan oleh sistem di negara kita. Kalau ini terjadi dalam dunia politik, tentu saja tidak menjadi masalah betul. Orang-orang dalam dunia politik sudah sangat terbiasa dan paham betul dengan pesta kemenangan dan tersingkir karena kekalahan Berbeda dengan di PT, tidak ada pertempuran ideologis di sini; yang ada hanyalah tugas dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Oleh sebab itu, dalam dunia PT, apalagi PT yang masih lemah, tentu tidak boleh ada yang kalah atau menang. Semua harus menang. Bayangkan saja kalau ada 50 profesor di sebuah PT, ada 20 profesor yang salah memberikan suaranya dalam pemilihan rektor. Tentu saja PT tersebut akan bertambah lemah, andai hanya 30 profesor yang diberdayakan oleh rektor terpilih.
Dalam PT, semua kerja bersama-sama: dalam tim mengajar, meneliti, dan dalam melakukan pengabdian pada masyarakat. Pemilihan rektor, dekan, dan seterusnya yang berlangsung sangat keras jelas akan sangat merugikan PT. Semua elemen yang ada di dalam PT harus dijaga semangat kebersamaan dan kekeluargaannya. Kalau sampai elemen-elemen ini terbelah, yang rugi kita semuanya.
Seharusnya kasus-kasus yang melanda universitas kita selama ini sudah cukup jadi pembelajaran untuk mencopot KPA dari setiap rektor di seluruh Indonesia. Biarlah urusan keuangan di PT diurus oleh para profesional yang mengerti tentang hal tersebut. Dengan pencopotan KPA dari setiap rektor, kita berharap pemilihan rektor di seluruh Indonesia bisa didorong untuk dilakukan secara musyawarah. Dengan demikian, seluruh potensi yang ada di universitas akan dapat diberdayakan dengan semangat kebersamaan dan kekeluargaan yang tinggi.
SYAMSUL RIZAL
Profesor di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh; Alumnus Universitaet Hamburg, Jerman
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 November 2016, di halaman 6 dengan judul "Malapetaka di Universitas".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar