Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 01 November 2016

Keyakinan Hakim (M ALI ZAIDAN)

Kemuliaan seorang hakim terletak pada putusannya.

Bismar Siregar

Vonis 20 tahun penjara yang dijatuhkan hakim terhadap terdakwa Jessica Kumala Wongso merupakan klimaks perjalanan panjang persidangan yang cukup menyita perhatian publik. Sebagai sebuah putusan hakim, putusan tersebut harus dianggap benar oleh semua pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa putusan itu salah (res judicata pro veritate habetur).

Setelah putusan dijatuhkan, perjalanan vonis tersebut akan memasuki dunianya tersendiri, yakni apakah akan menjadi bagian dari tata hukum karena memiliki validitas yang tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan, atau sebaliknya akan tertolak di tingkat peradilan selanjutnya.

Namun, sampai detik terakhir putusan hukum yang diambil secara bulat telah memberikan jawaban keraguan publik. Hal ini karena panggung peradilan , baik di dalam ruang sidang maupun di luar, tidak kurang serunya.  Pandangan publik terpolarisasi bahwa Jessica bukan pelaku kejahatan yang dituduhkan.

Rekaman kamera pemantau (CCTV) yang diajukan ke depan persidangan diragukan otentisitasnya karena ditengarai tidak sama dengan aslinya, pendapat saksi ataupun saksi ahli juga memperkuat keraguan akan kebenaran bahwa terdakwa adalah pelakunya. Bolak-baliknya berkas perkara dari penyidik ke penuntut umum turut meningkahi perjalanan kasus tersebut di samping upaya praperadilan yang diajukan terdakwa. Publik diberi tontonan menarik tentang bagaimana proses peradilan berlangsung yang memperlihatkan kekuatan kedua belah pihak menggunakan hak-haknya secara maksimal.

Pengadilan telah menjalankan fungsi sosialnya guna memberikan hak yang sama untuk mengemukakan argumentasi yuridisnya masing-masing. Pemeriksaan di persidangan merupakan landasan sosiologis bagi para pihak untuk mengajukan alat bukti untuk dinilai hakim.

Keyakinan hakim

Yang membedakan acara pemeriksaan perkara pidana dengan yang lain adalah peranan keyakinan hakim. Putusan yang diambil harus berdasarkan pada alat bukti dan kekuatan pembuktian ditambah dengan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana dan dapat diminta pertanggungjawaban hukum.

Keyakinan hakim harus didasarkan pada alat-alat bukti yang secara sah diajukan ke sidang pengadilan. Atas dasar alat bukti itu, hakim berkeyakinan bahwa apa yang didakwakan terbukti dan terdakwa bersalah atas tindak pidana yang didakwakan (beyond a reasonable doubt).

Dalam pemeriksaan perkara pidana, keyakinan hakim yang secara subyektif harus diminimalisasi dengan alat-alat bukti dan fakta-fakta yang terbukti di depan persidangan. Atas dua dasar tersebut, hakim menjatuhkan putusan. Di sini keyakinan hakim dapat saja berbeda dengan keyakinan publik.

Sebaliknya, dalam perkara pidana, hakim dilarang memperlihatkan keyakinannya bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Begitu juga pertanyaan yang diajukan para pihak tidak boleh bersifat menjerat diajukan kepada terdakwa ataupun para saksi.

Keyakinan hakim pada hakikatnya merupakan proses psikologis yang terjadi di muka persidangan ketika peristiwa obyektif ditampilkan di hadapannya, fakta-fakta juga diperkuat dengan argumentasi yang diajukan para pihak dan kemampuan intelektual, moral, dan spiritual sang hakim sendiri agar memutuskan perkara berdasarkan hati nuraninya sendiri. Hakim memiliki otoritas mutlak menjatuhkan putusan berdasarkan fakta- fakta obyektif dan argumentasi subyektif yang diajukan para pihak.

Keyakinan hakim menjadi faktor penentu dalam pengambilan keputusan, siapa pun tidak boleh meragukan independensi itu, sepanjang kepada para pihak telah diberikan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya mengemukakan alat bukti yang didukung argumentasi masing-masing.

Medan argumentasi

Putusan hakim merupakan hasil dialog antara sejumlah kepentingan dan dukungan argumentasi masing-masing. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa vonis yang dijatuhkan hakim merupakan medan argumentasi setiap pihak untuk menyatakan keyakinannya guna dinilai hakim. Pembuktian yang menurut hakikatnya, yakni memberikan keyakinan kepada hakim telah secara tuntas diajukan ke persidangan. Di samping hubungan yang bersifat dialogis, persidangan pada dasarnya merupakan pergulatan psikologis hakim guna menilai bukti-bukti yang diajukan kepadanya dan menjadi dasar dalam pengambilan keputusannya.

Persidangan pada hakikatnya merupakan medan argumentasi pihak masing-masing guna memberikan keyakinan kepada hakim. Dalam konteks itu, dapat saja keyakinan hakim berbeda dengan argumentasi masing-masing pihak disebabkan teori pembuktian yang digunakan adalah negatief wettelijk bewijs theorie. Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif pada hakikatnya berseberangan dengan teori pembuktian secara positif dalam perkara perdata di mana putusan hakim harus berdasarkan pada alat-alat bukti yang diajukan para pihak.

Di sini keyakinan hakim tidak merupakan unsur mutlak sebagaimana dalam perkara pidana pada umumnya. Sebagai bagian dari peperangan argumentasi, proses hukum selanjutnya akan beralih ke pengadilan banding. Dapat saja putusan yang sekarang dianulir hakim yang lebih tinggi. Namun, Sir Oliver Wendell Holmes telah memberikan pegangan bagi semua pengadilan ketika memberikan makna terhadap hukum sebagai ramalan atau prediksi tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilan dalam kenyataan. Di sisi lain, vonis yang dijatuhkan hakim harus dapat dipertanggungjawabkan kepada hati nurani, kebenaran, dan yang lebih utama kepada Tuhan Yang Maha Esa.

M ALI ZAIDAN

Dosen Ilmu Hukum UPN Veteran Jakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 November 2016, di halaman 7 dengan judul "Keyakinan Hakim".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger