Penangkapan tersebut merupakan rangkaian tindakan keras oleh pemerintah terhadap media setelah usaha kudeta gagal yang dilancarkan sekelompok militer pada 15 Juli silam. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bahkan secara terang-terangan menuding otak dari kudeta adalah Fethullah Gulen, seorang ulama yang kini tinggal di Amerika Serikat.
Semua pihak, baik orang maupun lembaga, yang dianggap terlibat atau sedikitnya mendukung gerakan kudeta itu ditindak tegas. Ada yang ditangkap, ditahan, dipecat dari tempat bekerja, dan sejumlah surat kabar ditutup. Setelah usaha kudeta, sekurang-kurangnya 15 kantor media ditutup pemerintah dan sejumlah wartawan ditangkap. Penangkapan editor dan sejumlah pemimpin surat kabar Cumhuriyet ini pun berkait dengan usaha kudeta.
Tindakan tegas terhadap media dan awak media bukanlah cerita baru di Turki. Menurut Komite Perlindungan Wartawan (CPJ), pemerintah Erdogan tercatat sebagai salah satu pemerintah yang paling keras membungkam kebebasan pers, di zaman kini. Begitu banyak wartawan yang dijebloskan ke penjara dan mengintimidasi media.
Pada 1 Agustus 2012, misalnya, sebanyak 76 wartawan dipenjara. Sebanyak 61 orang di antaranya dipenjara karena karya jurnalistik dan aktivitas pengumpulan berita yang mereka lakukan. Sekitar 30 persen wartawan yang dipenjara pada Agustus 2012 dituduh ambil bagian dalam komplotan penentang pemerintah atau menjadi anggota kelompok politik terlarang. Beberapa wartawan dikaitkan dengan konspirasi Ergenekon, yang oleh jaksa digambarkan sebagai sebuah komplotan yang ingin mendongkel pemerintah lewat kudeta militer.
Menurut pemerintah, para wartawan dengan menggunakan berita menciptakan situasi chaos yang kondusif bagi pelaksanaan kudeta. Yang menarik, 70 persen wartawan yang dijebloskan ke dalam penjara pada bulan Agustus 2012 dengan tuduhan membantu terorisme adalah wartawan beretnis Kurdi. Kesalahan mereka, di mata pemerintah, adalah memberitakan pandangan dan aktivitas Partai Pekerja Kurdistan (PKK) dan Serikat Komunitas Kurdistan (KCK), dua organisasi terlarang
Tindakan tersebut semakin membuktikan bahwa Erdogan tidak toleran terhadap konsep kebebasan pers. Kebebasan pers adalah sebuah aspek yang sangat diperlukan dari sebuah masyarakat demokratis. Pers, media di masyarakat demokratis, adalah alat yang paling efektif untuk mengecek, mengingatkan, apabila pemerintah bertindak berlebihan, tidak main kuasa.
Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kini Turki memasuki tahap krisis kebebasan pers demi kekuasaan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 November 2016, di halaman 6 dengan judul "Krisis Kebebasan Pers di Turki".

Tidak ada komentar:
Posting Komentar