Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 01 Desember 2016

TAJUK RENCANA: Abbas dan Rekonsiliasi Internal Fatah (Kompas)

Mahmoud Abbas (81) memiliki pekerjaan rumah berat, khusus- nya terkait hubungan dengan Israel, meski secara aklamasi dipilih untuk memimpin Fatah.

Tidak butuh waktu lama bagi Abbas untuk kembali terpilih pada Kongres Fatah di Ramallah, Selasa (29/11). Hampir seluruh delegasi yang berjumlah 1.400 orang langsung menyatakan setuju untuk kembali menunjuk Abbas memimpin Fatah.

Fatah yang merupakan partai dominan di tubuh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dipimpin Yasser Arafat. Abbas menggantikan Arafat yang meninggal pada 2004 sekaligus memimpin PLO, satu-satunya entitas yang mewakili seluruh rakyat Palestina.

Abbas pun menjadi Presiden Palestina sejak Januari 2005 dan seharusnya berakhir tahun 2009. Namun, Abbas terus bertahan di jabatan itu sampai sekarang karena tidak ada gelaran pemilihan umum. Dalam hubungannya dengan Israel, Abbas selalu mengedepankan negosiasi dan menentang penggunaan kekerasan.

Pada Kongres Fatah 2016, setelah hampir tujuh tahun tidak ada kongres, Abbas dituduh menghalangi kehadiran pendukung Mohammed Dahlan, saingannya yang kini bermukim di Uni Emirat Arab. Jumlah peserta jauh berkurang, dari 2.000 pada kongres 2009 menjadi hanya 1.400 peserta.

Padahal, baik Abbas maupun Dahlan—yang memiliki relasi kuat dengan pemimpin negara-negara Arab seperti Mesir, Arab Saudi, dan Jordania—sama-sama kurang populer di warga Palestina. Survei oleh Palestinian Centre for Policy and Survey Research menyebutkan, 61 persen responden menginginkan Abbas mundur, tetapi hanya 5 persen yang ingin Dahlan menggantikannya.

Kongres dijadwalkan berlangsung lima hari dan akan memilih 18 kursi di Komite Sentral serta 80 anggota Dewan Revolusi. Kedua organ partai tersebut merupakan pengambil keputusan tertinggi dalam partai.

Masyarakat internasional menyangsikan kemampuan Abbas menyelesaikan persoalan internal Fatah dan masalah dalam negeri Palestina sehingga muncul spekulasi pergantian jabatan Presiden Palestina. Hal itu juga terkait dengan pembangunan perumahan Yahudi yang terus dibangun di wilayah Palestina yang dikuasai Israel dan terpilihnya Donald Trump yang diperkirakan akan bersikap lebih lunak terhadap Israel.

Kita berharap terpilihnya Abbas bisa mengakomodasi seluruh kelompok di Fatah di Komite Sentral ataupun Dewan Revolusi. Jika tidak, Abbas akan makin kehilangan loyalitas di internal yang akan memudahkan terlaksananya proyek perumahan Yahudi di Tepi Barat.

Agak berat berharap Palestina bisa mencapai tujuannya menjadi negara merdeka penuh yang diakui PBB, selama di internal Fatah saja belum ada kesatuan pandangan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Abbas dan Rekonsiliasi Internal Fatah".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger