Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 01 Desember 2016

Wilayah Publik Tanpa Tulang (MEUTHIA GANIE-ROCHMAN)

Wilayah publik sejak lama hingga saat ini dipercaya sebagai instrumen sistem demokrasi. Di dalamnya terdapat preposisi tentang kebebasan berpendapat yang dianggap bisa melindungi dari tirani kepentingan sebagian kecil orang yang berkuasa. Wilayah publik juga dipandang sebagai proses sehat beradu argumen sehingga dapat dicapai suatu keputusan berdampak publik yang mempunyai legitimasi.

Pandangan positif tentang wilayah publik ini mulai mendapat catatan kekhawatiran dari para ahli dan pengamat sejak penggunaan media sosial yang masif. Teknologi informasi (TI) memudahkan tersebarnya informasi dengan sangat cepat. Namun, terlihat dengan cepat bahwa penyebaran informasi tak selalu membawa akibat positif. Preposisi "semakin banyak informasi memperluas saling pengertian antarkelompok" tidak selalu terjadi. TI bisa digunakan secara negatif, seperti memperdalam koordinasi kelompok ilegal. Atau, TI hanya dimanfaatkan untuk "mendengar apa yang mau didengar" dengan akibat penciutan wawasan berpikir.

Tulisan ini ingin membahas tentang wilayah publik yang mendapat tantangan besar belakangan ini di Indonesia dengan akar strukturalnya, yaitu lembaga dan organisasi yang menopang wilayah publik itu sendiri.

Nilai dan norma

Tentu sebagian orang menyadari bahwa wilayah publik yang mendukung demokrasi bukanlah cuma tempat semua orang menyatakan pendapat. Wilayah publik juga mempunyai nilai dan norma. Kedua hal ini mengatur siapa yang dianggap absah (diterima secara aturan formal maupun dan secara sosial) untuk masuk sebagai "penyuara".

Absah secara aturan artinya penyuara itu mematuhi aturan tentang apa yang (tidak) boleh dikatakan dan bagaimana mengatakannya. Misalnya, Indonesia sudah sejak lama melarang menggunakan isu terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) terhadap kelompok lain dalam publik. Contoh lain, undang-undang dan etika pers memperbolehkan jurnalis mengungkap fakta tetapi dengan prosedur tertentu.  Keberadaan media secara prinsip terkontrol oleh institusi demokrasi.

Perkembangan saat ini menunjukkan sukarnya mengontrol penyuara. Keberadaan penyuara tidak mudah dilihat secara fisik.

Berita-berita tidak dihasilkan dengan standar etika dan proses tertentu. Lembaga-lembaga yang mengontrol kebenaran berita atau mencegah berita yang bisa membawa akibat buruk itu tertinggal penumbuhan fungsinya daripada penggunaan instrumen penyebaran beritanya. Orang dapat membuat media berita dengan modal kecil, tanpa karyawan tetap, apalagi pembinaan budaya dan sumber daya organisasi. Para "wartawan" adalah sejumlah orang yang tersambung dengan standar minim jurnalisme.

Dari aspek legitimasi sosial, keriuhan ini menekan fungsi dari norma dan nilai yang seharusnya menjadi pegangan dan sandaran dalam menilai pendapat yang disuarakan. Sebagai contoh, prinsip kebinekaan, prinsip menjaga bekerjanya sistem demokrasi, keadilan dalam pembangunan, adalah beberapa hal yang jadi tolok ukur apakah suatu pandangan dapat diterima atau tidak.

Problemnya adalah bahwa tulang norma dan nilai di wilayah publik butuh penopang institusi dan organisasi dengan kondisi tertentu. Dua pihak yang biasa memainkan  peran "pencipta" dan penjaga tulang dan norma  adalah tokoh/intelektual dari institusi keagamaan dan dunia akademis. Tokoh agama mengingatkan moral kemanusiaan dan tanggung jawab. Sementara dunia akademis menghasilkan pengetahuan yang menjelaskan mengapa dan bagaimana sesuatu terjadi. Analisis dari dunia akademis jadi basis pemahaman dan keputusan tentang perubahan.

Dari perspektif masyarakat sipil, kedua institusi ini berinteraksi dengan institusi pemerintah maupun organisasi sosial. Organisasi sosial adalah wadah organisasi masyarakat menyelesaikan persoalan-persoalan nyata sesuai dengan lingkupnya. Masyarakat, dengan demikian , terdiri dari komposit organisasi dengan peran yang berbeda.

Ringkihnya tulang nilai dan norma dalam wilayah publik yang terjadi belakangan ini terlihat dari beberapa hal, yaitu perang banjir "berita" tanpa ada dialog, penghujatan berbagai tokoh yang sebelumnya dihormati, reinterpretasi negatif atas sesuatu yang sebelumnya dianggap biasa, pengecilan dan pembesaran hal jauh dari proporsinya bahkan dari konteksnya.

Indonesia sudah pernah mengalami keguncangan tulang di wilayah publik pada saat awal reformasi. Aktor-aktor yang sebelumnya dibungkam atau membungkam diri karena cari aman tiba-tiba bermunculan, berusaha mengklaim diri sebagai paling pro rakyat. Pada saat itu berbagai simbol primordial digunakan untuk meraih dukungan terhadap partai politik. Penggunaan  simbol primordial untuk dukungan partai kini tak banyak laku lagi. Rakyat mulai memilih berdasarkan perhitungan program. Namun, wilayah publik tak pernah punya kesempatan untuk membangun tulang-tulangnya.

Hal ini terletak dari sejumlah organisasi penopangnya. Organisasi perguruan tinggi tidak punya kesempatan untuk menghasilkan pengetahuan berdasarkan riset yang bermutu sekaligus dibutuhkan bangsa. Para akademisi diikat kakinya oleh gaji yang jauh dari memadai dan juga sistem pengakuan karya yang terlalu berat ke pengajaran. Andai pun ada riset bermutu yang dihasilkan secara individual dan kelompok, hasil- hasil mereka tidak punya kesempatan untuk lebih jauh dikembangkan sebagai suatu pengetahuan yang luas dan mendalam. Belum lagi persoalan diskonekvitas antara riset universitas dan kebijakan publik.

Produksi pengetahuan

Kelemahan sangat besar juga melanda hampir semua organisasi kemasyarakatan. Baik organisasi kecil dan besar, dengan latar belakang apa pun, amat sedikit yang mampu menghasilkan inovasi praktik sosial untuk menyelesaikan persoalan tertentu.

Ironisnya, beberapa dari organisasi itu tidak kekurangan anggota dan pengurus orang bergelar akademis tinggi dan tokoh terkenal. Indikator kemandekan dengan mudah terlihat dari kecilnya pencapaian dan bertahannya persoalan yang sama selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Pemimpin dan pengelola organisasi yang mampu melakukan perubahan melalui perbaikan organisasi bisa dihitung dengan jari.

Padahal, organisasi-organisasi ini seharusnya jadi medium cara berpikir rasional dan metodis untuk mencapai tujuan kebaikan. Gagasan seharusnya diuji dan diperbaiki. Jelas semua ini butuh konstruksi tanggung jawab yang banyak orang tidak suka. Pemimpin seharusnya mampu memimpin perbaikan organisasi dalam pencapai tujuan yang tercantum dengan indah dalam dokumen organisasi. Dalam kapasitas yang lemah ini, organisasi tidak mampu menjadi aktor yang kompeten di wilayah publik.

Perbaikan yang diusulkan jelas. Perbaiki sistem produksi pengetahuan bangsa Indonesia melalui riset terstruktur dan bermutu yang diuji dalam kebijakan publik dan organisasi masyarakat. Kedua, jangan bersuara keras dulu sebelum berhasil membangun organisasi sendiri dengan baik. Semua keberadaan membutuhkan bentuk akuntabilitas kemaslahatan sendiri,

MEUTHIA GANIE-ROCHMAN 

Ahli Bidang Sosiologi Organisasi, Pengajar UI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Desember 2016, di halaman 7 dengan judul "Wilayah Publik Tanpa Tulang".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger