Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 04 Februari 2017

TAJUK RENCANA: Ancang-ancang Brexit (Kompas)

Inggris secara internal telah memulai proses resmi perceraian dengan Uni Eropa melalui pembahasan RUU Brexit di parlemen.

Langkah ini dilakukan setelah upaya unilateral PM Inggris Theresa May untuk mengurus sendiri proses perceraian tanpa pelibatan parlemen digagalkan oleh Pengadilan Tinggi ataupun Mahkamah Agung Inggris.

Ada 498 anggota parlemen yang mendukung RUU Brexit dan 114 menolak. Meskipun pada dasarnya mayoritas anggota parlemen dari Partai Konservatif serta kubu oposisi (Partai Buruh, Partai Hijau, dan Liberal Demokrat) menentang Brexit, mereka dengan berat hati harus menghormati hasil referendum 23 Juni lalu saat mayoritas rakyat Inggris memilih Brexit. Alhasil, mayoritas Majelis Rendah mendukung RUU Brexit.

Kini, RUU akan dibahas di Majelis Tinggi (House of Lords) yang dikuasai oleh oposisi. Akan dibahas pula "Buku Putih" pemerintah dalam merancang strategi negosiasi dengan UE. Mayoritas kubu oposisi menginginkan Inggris tetap berada di lingkup pasar tunggal Eropa yang memiliki konsumen sekitar 460 juta orang (minus Inggris). Langkah ini kerap dijuluki dengan "soft Brexit".

Namun, "Buku Putih" dengan jelas menyatakan bahwa Pemerintah Inggris memilih untuk meninggalkan pasar tunggal Eropa demi untuk memegang kendali kontrol dalam imigrasi dan perbatasan. Intinya, Inggris tidak menginginkan warga UE bebas masuk-keluar dan bekerja di Inggris. Sementara UE bergeming bahwa itu merupakan persyaratan mutlak.

Parlemen akan berupaya mencari jalan keluar agar terdapat titik kompromi antara Inggris dan UE yang menguntungkan keduanya. "Buku Putih" menyebutkan bahwa Inggris akan mencari cara baru untuk berhubungan dengan 27 anggota di blok UE. "Inggris akan melakukan kerja sama seerat mungkin dengan UE dan akan tetap sebagai mitra yang tepercaya," demikian salah satu poinnya. Namun, di situ tidak dijelaskan bagaimana caranya.

Bagi May, terpilihnya Presiden AS Donald Trump sangat menguntungkan posisinya karena Trump mendukung Brexit, bahkan berharap negara-negara Eropa lainnya mengikuti langkah Inggris. Trump pun sudah menawarkan kerja sama perdagangan langsung dengan Inggris.

Namun, banyak pengamat dan anggota parlemen mengingatkan, janji politik tidak bisa dipegang, apalagi dunia berubah dengan cepat. Bukankah hampir semua kebijakan yang disusun bertahun-tahun oleh pemerintahan Barack Obama pun dihapus dalam sekejap oleh Trump?

Juga, apa yang dianggap menjadi kepentingan nasional Inggris saat referendum dilakukan dikhawatirkan tidak lagi menjadi prioritas dalam 5-10 tahun mendatang. Oleh karena itu, parlemen ataupun Pemerintah Inggris perlu hati-hati dalam meniti strategi Brexit karena yang dipertaruhkan adalah nasib puluhan juta rakyat Inggris.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "Ancang-ancang Brexit".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger