Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 22 Februari 2017

TAJUK RENCANA: Pidana Tambahan Korupsi (Kompas)

Vonis hakim mencabut hak politik terpidana korupsi sedang menjadi tren. Terakhir, hakim mencabut hak politik mantan Ketua DPD Irman Gusman.
TOTO S

Irman dinyatakan terbukti menerima uang Rp 100 juta dari Memi dan Xaveriandy Sutanto. Selain menjatuhkan pidana pokok empat tahun dan enam bulan penjara, hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama tiga tahun setelah pidana pokok dijalani. Hak politik yang dimaksud adalah hak untuk dipilih.

KPK memang aktif mengintroduksi pencabutan hak politik. Sejumlah tokoh dan pemimpin lembaga seperti mantan Ketua MK Akil Mochtar, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah juga dicabut hak politiknya. Kita mendukung pencabutan hak politik agar pejabat publik dipimpin orang yang betul-betul bersih dari praktik korupsi.

Namun, juga harus disadari realitas sosiologis di sejumlah tempat menunjukkan masih permisifnya masyarakat terhadap korupsi. Menangnya kepala daerah yang berada dalam status tersangka atau ditahan oleh KPK mempertontonkan bagaimana permisifnya masyarakat terhadap suap atau korupsi. Karena alasan politik pragmatis, koruptor, penyuap, bukanlah menjadi masalah. Karena itulah, langkah KPK dan hakim yang terus mengintroduksi pidana tambahan pencabutan hak politik patut didukung.

Ibarat perang, korupsi yang memiskinkan bangsa adalah perang yang belum berhasil kita menangi. Namun, realitas sosiologis kontemporer juga mempertontonkan bahwa perang melawan korupsi tidaklah semasif pembelaan terhadap isu lain yang terkait dengan kekuasaan. Korupsi dimusuhi jika dilakukan bukan oleh kelompok atau golongannya. Sebaliknya, jika pelaku korupsi yang tertangkap berasal dari kelompoknya, reaksi yang muncul adalah tebang pilih, penjebakan, atau malah konspirasi.

Situasi psikologis masyarakat demikian jelas tidak menolong bangsa ini untuk berperang melawan korupsi. Karena itulah, penegakan hukum progresif dibutuhkan untuk menjadikan vonis korupsi memberikan efek jera, membuat orang untuk berpikir ribuan kali untuk melakukan korupsi.

Selain pencabutan hak politik, dari sisi data kependudukan perlu juga dicantumkan misalnya data eks koruptor atau mantan terpidana korupsi dalam data kependudukan. Boleh jadi hukuman tambahan itu memicu kontroversi karena melanggar hak asasi manusia. Namun, langkah terobosan perlu dilakukan agar bangsa ini bisa keluar dari kubangan korupsi berkepanjangan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "Pidana Tambahan Korupsi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger