Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 12 Maret 2017

Banjir dan PanggungPolitik Pilkada (RESTU GUNAWAN)

Banjir dan Jakarta sudah ratusan tahun bersinergi dan saling mengisi. Dataran Jakarta dari pesisir hingga kawasan Monas sekarang diperkirakan terbentuk dari dataran banjir yang sudah berlangsung lama.

Menurut penelitian, setiap tahun terjadi 50 meter dataran baru di pesisir Jakarta akibat sedimentasi dan banjir yang membawa butiran-butiran pasir dan tanah. Sebenarnya hujan adalah anugerah alam sehingga dikenal istilahrain harvesting. Hujan membawa kemakmuran dan kesuburan tanah. Namun, di Jakarta, banjir tak hanya fenomena alam yang mendatangkan malapetaka, tetapi juga panggung politik yang menggairahkan. Di era demokrasi ini, dalam ajang kontestasi pilkada, banjir menjadi ajang adu program, saling serang dan saling sindir di antara pasangan calon gubernur DKI.

Begitu terjadi banjir, pasangan calon gubernur DKI seolah berlomba lebih dulu tiba di lokasi banjir. Tidak salah memang, siapa pun bisa ke lokasi bencana. Namun, yang sebenarnya diharapkan adalah setiap pasangan calon minimal mampu memberi perspektif dan pemikiran tentang solusi pengendalian banjir.

Fenomena banjir sebagai panggung politik ini terus menguat sejak pilkada langsung diterapkan di DKI Jakarta. Hal ini dapat dilihat dari setiap kandidat yang berkontestasi di Jakarta dalam visi dan misinya selalu ada program penanggulangan banjir.

Sejak pemilihan langsung tahun 2007 yang menghadirkan calon gubernur Fauzi Bowo melawan Adang Daradjatun, penanggulangan banjir ditempatkan sebagai prioritas utama. Begitu juga ketika tahun 2012, saat calon gubernur Fauzi Bowo melawan Joko Widodo, masalah banjir juga menjadi prioritas.

Dalam putaran pertama Pilkada DKI Jakarta 2017, perdebatan banjir juga cukup seru. Dalam putaran kedua antara Basuki Tjahaja Purnama dan Anies Baswedan, tampaknya perdebatan banjir akan semakin seru lagi karena menjelang putaran kedua terjadi banjir di Jakarta Timur dan kawasan lain. Tentu ini menjadi isu yang menarik dari kubu penantang meski di sisi petahana juga merasa percaya diri karena cakupan banjir jauh berkurang dibandingkan sebelumnya. Dari 2.000 titik turun menjadi 80 titik dan dalam waktu tiga jam banjir langsung surut.

Namun, perlu dicatat bahwa penanggulangan banjir Jakarta dari masa ke masa sebenarnya telah mengalami kemajuan signifikan. Wacana yang muncul sejak Fauzi Bowo berkuasa dieksekusi pada masa Jokowi  dan dilanjutkan oleh Basuki. Misalnya, pembangunan Kanal Timur yang sudah direncanakan sejak 1973 bisa dikerjakan pada masa  Gubernur Foke dan Basuki, begitu juga perluasan ruang terbuka hijau sudah maju signifikan.

Penanggulangan banjir dengan pembangunan infrastruktur memang masih menjadi pilihan utama, di antaranya membangun kanal dan memperlebar badan sungai dengan normalisasi sungai, pembangunan situ dan waduk. Jika cara ini dipilih, jalan satu-satunya adalah relokasi penduduk tempatan.

Relokasi atau apa pun istilahnya memang akan terjadi di masa-masa mendatang karena, selain masih banyaknya tanah yang diokupasi warga, juga untuk keperluan pelebaran badan sungai dan jalan inspeksi. Untuk itulah perlu seni dan strategi para pemimpin Jakarta dalam memindahkan penduduk. Hal lain yang patut dicatat, perilaku masyarakat Jakarta telah maju pesat terkait pengendalian banjir. Misalnya, perilaku membuang sampah. Demikian pula perlakuan terhadap sungai juga relatif lebih baik. Namun, itu saja ternyata tidak cukup ampuh menanggulangi banjir Jakarta.

"The Greater Jakarta"

content

Penanggulangan banjir Jakarta tidak akan berhasil tanpa melibatkan wilayah sekitarnya, terutama Depok, Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Sayangnya dalam perdebatan Pilkada DKI, wacana yang menyinggung kerja sama antar kawasan sangat minim.

Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono- sekitar 2007-ketika terjadi banjir besar di Jakarta, konsep The Greater Jakarta pernah didiskusikan. Inti dari gagasan ini adalah membangun Jakarta dengan menempatkan daerah sekitarnya dalam satu konsep penataan tata ruang yang integratif.

Dalam konsep awal The Greater Jakartabahkan tidak hanya mencakup Jabodetabek, tetapi juga Sukabumi, Cianjur dan Banten. Kini, konsep tersebut tidak ada kelanjutannya. Bahkan, dalam debat Pilkada DKI putaran pertama tidak terdengar lagi gagasan tersebut.

Penanggulangan banjir Jakarta sangat terkait dengan wilayah atasnya. Ketika kawasan Puncak, Bogor, dan Depok terjadi perubahan lahan yang masif, saluran pembuangan yang paling mungkin adalah sungai-sungai di sekitarnya. Namun, air hujan tak banyak terserap karena penuh bangunan, menjadi aliran permukaan sungai. Ketika badan sungai tidak mampu lagi menampung air, terjadilah banjir.

Pada masa kolonial, ketika terjadi perubahan lahan dari hutan menjadi perkebunan teh dan wisata di kawasan Puncak, Belanda segera membuat kanal banjir Manggarai sampai Karet pada 1911-1919. Pada kenyataannya banjir memang tidak bisa ditanggulangi dengan mengandalkan Kanal Manggarai yang kala itu masih berada di luar kota.

Bahkan, pembangunan pintu air Manggarai telah mengakibatkan banjir di kawasan Manggarai dan Kampung Melayu sampai kini. Namun, upaya preventif telah dilakukan. Kini, pemerintah lebih banyak "penanggulangan" daripada "pengendalian". Ketika sudah terjadi banjir, baru sibuk menanggulangi. Padahal, untuk menuju kota modern, upaya "pengendalian" harus diutamakan.

Sudah waktunya  penataan kota yang lebih komprehensif dan cakupan yang lebih luas dengan menyatukan Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Sebagai kota muara, tantangannya selain air kiriman dari atas adalah masalah rob dari laut. Saatnya dipikirkan badan yang merencanakan dan melaksanakan pembangunan Jabodetabek. Kita tunggu konsepnya dari calon gubernur DKI 2017-2022.

RESTU GUNAWAN

Bekerja di Ditjen Kebudayaan, Kemdikbud

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Maret 2017, di halaman 7 dengan judul "Banjir dan PanggungPolitik Pilkada".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger