Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 22 Maret 2017

TAJUK RENCANA: Ketika Alam Membalas (Kompas)

Dua puluh lima tahun lalu, kesadaran bahwa manusia merusak lingkungan telah melahirkan KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, 1992.
TOTO S

Pola hidup masyarakat modern membuat pembangunan sangat eksploitatif terhadap sumber daya alam. Betul telah terjadi peningkatan produk domestik bruto dan produksi industri, tetapi pembangunan berbasis pertumbuhan produksi ternyata gagal di bidang sosial dan lingkungan.

Indonesia termasuk salah satu dari 172 negara yang berpartisipasi. Sebagai ajang pembahasan lingkungan para pemimpin dunia kala itu, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi menghasilkan Deklarasi Rio yang menjadi dasar pembangunan berkelanjutan di setiap negara.

Kenyataannya, tidak mudah menumbuhkan kesadaran membangun yang ramah lingkungan. Perubahan iklim masih terus mengancam dengan dampak bencana yang nyata: kenaikan suhu bumi yang memicu kenaikan permukaan air laut, musim ekstrem yang memicu banjir dan kekeringan, serta badai yang semakin sering. Ironisnya, masyarakat miskin yang paling rentan terdampak.

Keterbatasan sumber daya membuat masyarakat miskin terpaksa hidup di kawasan rawan banjir, longsor, bahkan abrasi. Mereka juga tak mudah mengakses layanan pendidikan dan kesehatan yang seharusnya bisa membantu keluar dari keterpurukan.

Di sisi lain, berubahnya pola cuaca dan iklim membuat produksi pertanian menjadi tidak menentu. Padahal, mereka yang mengandalkan hidup sebagai petani merupakan dua pertiga warga miskin yang tinggal di desa. Apabila hidup selaras dengan alam tidak segera digalakkan, tahun 2050 bisa terjadi defisit gabah kering 60 juta ton.

Kita tahu, perubahan iklim tidak terjadi begitu saja. Kerusakan ekologis ini terjadi, antara lain, karena peningkatan emisi gas rumah kaca, termasuk di antaranya karbon dioksida (CO2). Kondisi diperparah dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme sepanjang Orde Baru—dan berlanjut di era Reformasi—yang menghancurkan hutan, mengalihfungsikan kawasan hijau, serta amburadulnya fungsi penataan ruang. Lemahnya pemerintah mengatasi semua ini menjadi bencana ganda yang semakin menumpulkan kemampuan menghadapi perubahan iklim.

Indonesia sebenarnya sudah memiliki cetak biru pembangunan berkelanjutan. Maka, kembali pada cetak biru dan melaksanakan tanpa kompromi adalah cara terbaik menghadapi balasan alam ini. Apalagi kalau disertai dengan berbagai solusi jangka pendek untuk para korban terdampak. Industri bersih jelas menjadi prioritas. Perbaikan penataan ruang, reboisasi hutan dan lahan, hingga meningkatkan kapasitas petani dan nelayan, menjadi pekerjaan rumah yang berikutnya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul "Ketika Alam Membalas".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger