Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 17 April 2017

"Plus" dan Kearifan ( L WILARDJO)

Dr Florentin Smarandache adalah Guru Besar Matematika di Universitas New Mexico. Kira-kira sembilan tahun lalu, ia memperkenalkan teori Neutrosofi yang digagasnya sendiri dalam seminar di Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Neutrosofi ialah teori tentang terjadi atau tidak terjadinya suatu perubahan, baik melalui proses yang panjang maupun secara serta-merta, berdasarkan tinjauan atas semua faktor yang dianggap relevan.

Neutrosofi tentu jauh lebih rinci daripada logika Barat klasik, yang hanya mengenal dikotomi antara "benar"/sahih atau "salah"/tak sahih dan tunduk pada kaidah larangan tengah (the rule of excluded middle). Neutrosofi bahkan lebih njelimetdaripada Logika Samar (Fuzzy Logic)-nya Zadch.

Smarandache menerapkan teori Neutrosofi-nya pada evolusi spesies berdasarkan observasinya pada ekologi di tujuh pulau dan pulau kecil di Galapagos, Ekuador. Kita tahu bahwa teori evolusi-nya Charles Darwin juga didasarkan pada risetnya di Galapagos. Smarandache juga melakukan riset literatur yang komprehensif di bidang ekologi dan perubahan spesies.

Hasil studi dan risetnya lalu diterbitkan dalam jurnal Progress in Physics, No 2, Volume 13 (April, 2017) dengan judul "Introducing a Theory of Neutrosophic Evolution: Degrees of Evolution, Indeterminacy, and Involution". "Plus" yang diberikan kepada "evolusi" dalam teori asal-muasal spesies-nya Darwin ialah "involusi" dan "indeterminasi" (ambiguitas).

Artikel ini tidak membahas teorinya Florentin Smarandache itu, tetapi mengomentari sikap penerbit terhadap teori tersebut dan penciptanya. Juga akan kita bicarakan perihal "plus" yang ditambahkan pada apa-apa yang sudah ada.

"Plus"-nya ditampik

Rupanya (sebelumnya) naskah artikel Teori Evolusi Neutrosofik itu oleh Smarandache dikirim ke jurnal ArXiv, tetapi ditolak. Penolakan naskah itu hal yang biasa. Kalau suatu naskah dinilai tidak memenuhi standar, wajar tidak diterbitkan.

Yang keterlaluan ialah sikap ArXiv yang tidak hanya menolak naskah Smarandache itu, tetapi juga memberikan peringatan dengan nada mengancam. "They averted me that I should not try to submit again, because I'll loose the right to submit no article anymore," kata Smarandache. Komentar saya kepadanya: "Rejecting an article is all right, but threatening the author is unacceptable" (Menolak artikel itu boleh saja, tetapi mengancam pengarangnya tak bisa diterima).

Padahal, Smarandache tidak melawan teori Charles Darwin (1809-1882) yang bertumpu pada evolusi. Ia hanya memberikan "plus", yakni involusi dan ambiguitas.  

Dalam kampanyenya sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan-Sandiaga Uno berjanji akan melanjutkan Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta  Sehat-nya Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dengan KJP-plus dan KJS-plus. Niat pasangan calon nomor 3 itu tidak perlu kita sikapi dengan sinis.

Tentu boleh saja kita bertanya, "plus"-nya apa dan bagaimana itu akan dilaksanakan (dan dibiayai) kalau pasangan itu terpilih. Gagasan KJP-plus dan KJS-plus itu justru menunjukkan apresiasi Anies-Sandi terhadap programnya Basuki (dan sebelumnya, Jokowi). Apakah "plus"-nya itu akan membuat program KJP dan KJS menjadi lebih baik, dapat kita kaji sekarang dan kita sikapi dengan wait and see kalau pasangan calon nomor 3 itu dipilih warga DKI Jakarta.

content

Ada contoh-contoh yang menunjukkan bahwa "sedikit" tambahan bisa sangat berarti. James Clerc Maxwell, fisikawan Skotlandia (1831-1879), menambahkan satu suku pada persamaan yang menyatakan hukum Ampere. Hukum Ampere ialah kebalikannya hukum Faraday. Singkat kata, hukum Faraday ialah "perubahan magnet menimbulkan listrik" (asas dinamo), sedang hukum Ampere ialah "perubahan listrik menimbulkan magnet" (asas motor).

Suku itu ialah rapat arus pergeseran (displacement current density). Ternyata bukan saja itu membuat elektromagnetisme menjadi suatu teori yang konsisten, melainkan juga ternyata kemudian bahwa teori Maxwell itu sudah nisbian (relativistik) meski pada waktu itu Albert Einstein (1879-1955), yang kemudian menciptakan Teori Relativitas (1905), belum lahir! Mengingat hal yang luar biasa itu membuat Dr The Houw Liong, Guru Besar Fisika di FMIPA-ITB, "merinding".

Contoh lain ialah tambahan pencatuan (kuantisasi) yang dilakukan Max Planck (1858-1947) pada teori Rayleigh dan Jeans tentang radiasi termal dari benda hitam. "Plus" yang diberikan Max Planck (1901) ternyata 3/4 bersama dengan efek fotoemisi-nya Einstein (1905) 3/4 "melahirkan" teori kuantum.

Bacon vs Foucault

Sekarang ada ramai-ramai di Rembang. PT Semen Indonesia beradu otot dan otak melawan petani kaki Pegunungan Kendeng yang meliputi pula Sedulur Sikep, trah-nya Mbah Samin Surosentiko, yang sekarang ditokohi Gunretno. Demo pasung kaki di cor-coran semen dibalas dengan "petisi" kertas kantong semen 300 meter oleh para pendukung Semen Indonesia. 

Semen Indonesia mengandalkan iptek modern. Mereka meyakini diktum Francis Bacon (1561-1626) bahwa pengetahuan adalah kekuasaan (Knowledge is power). Mereka (dan sebagian warga Rembang) juga menerima ideal Bacon, yakni "ilmu dikembangkan demi kesejahteraan masyarakat". Dengan ilmu dan teknologi kita memberantas wabah penyakit, mengatasi bencana alam, menghindari paceklik, dan sebagainya.

Sebaliknya, Sedulur Sikep meyakini diktumnya filsuf pasca-modernisme Michel Foucault: "Kekuasaan adalah pengetahuan" (Pouvoir c'est savoir). Hanya kalau kaum marjinal diberdayakan, kita dapat belajar dari kearifan lokal yang sudah ada pada mereka secara run-temurun. Para petani di daerah kaki Pegunungan Kendeng tahu bahwa air yang diperlukan untuk sawah mereka hanya bisa lestari kalau bukit-bukit kapur tidak digempur menjadi bahan produksi semen.

"Plus" yang diberikan Foucault kepada diktum Bacon ialah membalikkan diktum itu. "Pengetahuan ialah kekuasaan," kata Bacon. Ini dibalik oleh Foucault: "kekuasaan ialah pengetahuan".

Janji Semen Indonesia untuk membangun embung-embung dan bahwa teknologi itu bisa menggantikan fungsi bukit gamping sebagai penjamin ketersediaan air sulit diterima karena pembuktiannya berjangka panjang. Lagi pula, kalau ternyata klaim itu tidak terbukti, "nasi akan sudah menjadi bubur". Ekosistemnya sudah rusak dan tak bisa dipulihkan.

Lebih masuk akal pembuktiannya secara empiris dilakukan dengan mencermati apa yang terjadi di Tuban, yang sudah dieksploitasi Semen Indonesia dan sekarang sudah ditinggalkan.

L WILARDJO

Guru Besar Fisika dan Dosen Filsafat Ilmu, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 April 2017, di halaman 6 dengan judul ""Plus" dan Kearifan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger