Kolom, 28/11/2005
Di tengah kemajemukan tersebut penulis menghadapi perbenturan antara
ajaran agama dan budaya setempat dengan yang penulis anut. Pada
situasi demikian pula penulis melihat realitas bahwa ada beberapa
pemimpin dan tokoh agama berlomba-lomba "menjual" dan mewartakan
ajaran agamanya. Yang patut disesalkan adalah adanya sejumlah kecil
dari mereka yang tidak segan-segan mengajarkan fanatisme berlebihan,
penjelek-jelekan agama di luar agama yang dianutnya, pengajaran
kebencian terhadap agama lain dan pemeluknya.
Akhir-akhir ini kekerasan, pembunuhan, bom bunuh diri dan tindak
anarkhisme terhadap kelompok dan agama lain semakin kerap mewarnai
kehidupan bangsa Indonesia. Mungkinkah aneka tindakan amoral tersebut
merupakan buah-buah yang harus dipetik dari khotbah-khotbah kebencian
yang pernah diwartakan sejumlah pemimpin agama?
Ketika duduk di Sekolah Dasar, penulis masih terkungkung dan
terbelenggu dalam gua lingkungan masyarakat yang mayoritas beragama
Kristen di kampung halamannya (sebuah desa di Sumatera Utara).
Perasaan aman dan nyaman menjadi pengalaman tersendiri. Dunia ini
terasa bagaikan milik kekristenan saja. Belum tercium adanya nuansa
kebencian antaragama dan antar pemeluknya.
Namun ketika penulis harus merantau guna melanjutkan pendidikan ke
Malang, mata hati dan budi penulis tercerahkan dan tersadarkan bahwa
Indonesia itu pluralis dan beraneka ragam. Penulis merasa asing, aneh
dan minoritas ketika berada di tengah masyarakat yang terdiri dari
aneka suku, agama, ras dan antargolongan. Teristimewa karena tempat
itu mayoritas berpenduduk dan berbudaya Islami.
Di tengah kemajemukan tersebut penulis menghadapi perbenturan antara
ajaran agama dan budaya setempat dengan yang penulis anut. Pada
situasi demikian pula penulis melihat realitas bahwa ada beberapa
pemimpin dan tokoh agama berlomba-lomba "menjual" dan mewartakan
ajaran agamanya. Yang patut disesalkan adalah adanya sejumlah kecil
dari mereka yang tidak segan-segan mengajarkan fanatisme berlebihan,
penjelek-jelekan agama di luar agama yang dianutnya, pengajaran
kebencian terhadap agama lain dan pemeluknya. Pengalaman tersebut
merupakan contoh yang mungkin juga terjadi di tempat lain.
Penyebaran warta kebencian dapat pula kita temui lewat media lain
seperti majalah, bulletin, VCD/DVD dan internet. Warta kebencian
tersebut kerap kita jumpai bila kita coba mengunjungi toko buku atau
pasar loak (penjualan buku di pinggir jalanan).
Pewartaan Yang Keliru
Ajaran atau wejangan kebencian terhadap agama lain dikumandangkan
oleh sejumlah pemimpin agama-agama Abrahamistik, entah di gereja atau
di mesjid. Saat itu hari Jumat. Penulis naik sepeda ontel pulang dari
kampus (di Malang) tiba-tiba telinga penulis menangkap dan
mendengarkan khotbah yang mengajarkan kebencian terhadap agama lain.
Agama lain kafir, agama kita sempurna, demikian kurang lebih inti
wejangan itu. Sebagai salah seorang dari kaum minoritas, penulis
merasa terkejut dan berkecil hati.
Demikian pula, ketika seorang dosen Teologi Kristen Protestantisme
pernah menganjurkan para mahasiswa agar sekali-kali mau mengikuti
peribadatan salah satu dari agama aliran kekristenan (sekte?) guna
memahami lebih jauh tentang teologi mereka, penulis menemukan hal
yang sama yaitu pewartaan kebencian terhadap agama lain lewat
khotbah. Penulis pun bingung dan terkejut ketika terdengar kata-kata
dari pengkhotbah gereja tersebut mengatakan bahwa agama lain itu
sesat, berhala dan berasal dari iblis. Telinga terasa ditampar dan
memerah.
Barangkali segelintir saja pemimpin agama yang menanamkan ajaran
kebencian, permusuhan, penjelek-jelekan terhadap agama lain, namun
berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat yang majemuk. Khotbah
tersebut menyakitkan telinga dan melukai hati mayoritas warga yang
menginginkan kedamaian, kerukunan dan keselamatan persatuan bangsa
Indonesia.
Dari berbagai opini di media massa, mayoritas pemimpin dan tokoh
agama dan masyarakat berjuang ekstra keras bagaimana mereka dapat
membangun suatu perdamaian dan pertemuan antara agama-agama yang
berbeda-beda secara otentik dengan mengedepankan universalitas ajaran
agamanya tanpa menghilangkan keunikan dan kekhasan masing-masing
agama.
Namun ada saja pemimpin (dari masing-masing agama) yang mencoba
merusak perdamaian dan persahabatan yang sudah terjalin dengan
membongkar lagi kejelekan, aib, konflik dan permusuhan antaragama
yang terjadi pada masa ekspansi Muslim ke Eropa, Perang Salib dan
sistem penyiaran agama yang dapat membuka kembali luka-luka agamis
yang pernah terjadi. Bisa jadi kekerasan, pembunuhan dan aksi
anarkhis terhadap kelompok lain merupakan buah dari pewartaan yang
keliru tentang ajaran agama.
Karen Armstrong dalam bukunya Sejarah Tuhan (Mizan, 2001) mengajak
pemeluk agama-agama Abrahamistik berhenti bertengkar. Dalam
keseluruhan bukunya ia menegaskan betapa pertengkaran antara agama-
agama anak-anak Abraham tentang siapa yang paling benar merendahkan
harkat keagamaan semua. Dengan kata lain, ia mau mengajak umat dari
agama-agama Abrahamistik supaya jangan mempermalukan Tuhan.
Sudah saatnya para pemimpin agama dan tokoh agama menyetop ajaran
kebencian dan permusuhan terhadap agama lain pada umatnya. Dunia akan
lebih layak dihuni bila para pemimpin agama dan tokoh agama membangun
sikap pengampunan, persahabatan dan persaudaraan antar suku, agama,
ras dan antargolongan. Sebab ajaran memandang agama lain kafir dan
sesat hanya akan menciptakan citra negatif, imej yang menakutkan,
menyeramkan dan menimbulkan kemarahan terhadap pemeluk agama lain.
Filosofi Bangsa Indonesia
Bisa dibayangkan, akan kemana dan apa peran agama-agama dalam menjaga
persatuan dan keutuhan Indonesia bila masing-masing agama-agama
saling mencap agama sendiri yang paling benar, sedangkan agama lain
kafir, sesat dan jelek. Bangsa kita bisa berhenti pada retorika dan
formalisme bahwa Pancasila adalah landasan filosofi bangsa Indonesia.
Kita, umat beragama sebagai warga Republik Indonesia (RI) yang
berdasarkan Pancasila telah sepakat mengutamakan persatuan dan
kesatuan bangsa dan negara di atas kepentingan sendiri, golongan,
perbedaan agama dan lain-lain demi terciptanya tujuan nasional
sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945 (bdk. Penjelasan KMA No. 70
Tahun 1978)
Namun kerapkali kita warga negara RI yang mengakui Pancasila sebagai
filosofi negara dan ideologi nasional masih berada pada tahap ucapan
bibir manis, formalis dan retoris. Hal inilah yang dikritik oleh
Prof. Dr. Nurcholis Madjid (Cak Nur). Cak Nur pernah mengkritik orang-
orang yang menyebut dirinya Pancasilais, namun nilai-nilai luhur yang
merupakan hasil kristalisasi budaya Indonesia tidak dilaksanakan
secara murni dan konsekwen. (bdk. Sudjangi, 1992: 272-273).
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menegaskan bahwa bila Pancasila
hanya berfungsi membenarkan satu agama, berhentilah ia
sebagai "aturan main" yang menghubungkan semua agama dan paham dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (bdk. Ibid, 287)
Maka tantangan bagi pelaksanaan tugas dan peran pemerintah dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di bidang agama adalah bagaimana
supaya Pancasila dengan nilai-nilai luhurnya dapat dilaksanakan
secara murni dan konsekwen. Bila perlu pemerintah melarang tegas dan
keras para pemimpin dan tokoh agama mewartakan benih-benih kebencian
dan permusuhan antaragama dan pemeluknya. Dengan demikian formalisme
tidak menjadi begitu kuat hingga Indonesia seakan-akan negara
seremonial belaka.
Tak bisa dipungkiri bahwa para pemimpin agama adalah inti kekuatan
agama dan umat. Lewat perannya sebagai pengawal ajaran agama, juru
bicara aspirasi dan kepentingan umat serta integrator umat yang dapat
menyatukan seluruh potensi umat, para pemimpin dan tokoh agama
(ulama, kyai, pastor, pendeta) seyogiyanya menyetop ajaran
stigmatisasi agama lain sebagai agama sesat dan kafir dan lalu
mengedepankan persaudaraan dan persahabatan antaragama, universalitas
ajaran agamanya tanpa menghilangkan keotentikan dan keunikannya.
Bila semua pemimpin agama mengedepankan agama yang humanis dengan
menekankan persaudaraan dan persahabatan, kerukunan dan kedamaian
antaragama, kesejahteraan dan kebaikan bangsa Indonesia, maka aneka
permasalahan bangsa pelan-pelan akan dapat diatasi secara bersama-
sama.
Pada bagian penutup ini, penulis mau mengulangi apa yang pernah
dikemukakan oleh Moh. Hatta (1977: 32) tentang Persatuan
Indonesia. "Persatuan Indonesia menjadi syarat hidup bagi Indonesia.
Persatuan Indonesia mengandung di dalamnya cita-cita persahabatan dan
persaudaraan segala bangsa, diliputi oleh suasana kebenaran,
keadilan, kebaikan, kejujuran dan keindahan yang senantiasa dipupuk
oleh alamnya".
Unsur cita-cita persahabatan dan persaudaraan bangsa merupakan
keharusan kodrati sesuai dengan kedudukan manusia sebagai ciptaaan
Tuhan yang diciptakan dari satu keturunan dan dijadikan berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku agar dapat menyelenggarakan kerja sama dalam
menjalani hidup di dunia ini. Semoga.
* Pormadi Simbolon, alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di
Jakarta, Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
Sumber: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=926
Tidak ada komentar:
Posting Komentar