Think global, act local atau think globally, act locally, frasa yang dipakai kemudian dalam berbagai variasi, termasuk di dalamnya bidang pendidikan, hemat kita mewadahi pesan: kebijakan pendidikan harus menyeluruh (global) sekaligus mempertimbangkan faktor lokal (kekhasan).
Pesan itu semakin imperatif untuk Indonesia yang serba majemuk. Tulisan berjudul "Berjalan Kaki Menjemput Masa Depan" di halaman 1 Kompas, 2 Mei kemarin, relevan sebagai pemantik di bawah frasa bijak think global, act local. Natasia Astria Wakano (18), siswi SMA Negeri 1 Nusalaut, Maluku, selama tiga tahun tiap hari berjalan kaki dari rumahnya ke sekolah pergi-pulang 26 kilometer.
Sudah pasti lebih banyak ilustrasi nyata yang lebih menyedihkan di tempat lain, banyak bahaya mengancam, belum lagi faktor sarana sekolah yang kurang memadai. Sarana paling sederhana seperti gedung sekolah, misalnya, banyak yang nyaris ambruk atau malah kurang layak. Tidak hanya lokasinya yang jauh dari Ibu Kota, tetapi juga yang hanya beberapa kilometer di luar kota Jakarta.
Turunan makna birokrasi atau memerintah dari belakang meja tidak berarti urusan selesai dengan ketok palu, tidak hanya prinsip-prinsip prosesnya dilalui, tetapi membuka kemungkinan berbagai kekecualian. Prinsip umum tetap membuka pintu prinsip khusus sesuai dengan kekhasan daerah.
Keharusan itu sering dilupakan. Terjadilah kebijakan yang serba nasional dengan hasil dan target nasional, sampai dengan cara mencapainya. Padahal, dengan kondisi Indonesia serba majemuk dalam segala hal, keragaman adalah jati diri kita, faktor lokalitas adalah keniscayaan. Angka literasi, keberaksaraan kita tinggi, atau tingkat angka partisipasi sekolah kita tinggi pun dihitung serba rata-rata nasional dan berlaku global.
Kita apresiasi pemerataan sebagai pilihan tema Kemdikbud merayakan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei (tanggal lahir Ki Hadjar Dewantara) tahun ini. Di tingkat pengambilan keputusan, tema itu memantik harapan cara melihat persoalan kependidikan tidak Jawa sentris, apalagi Jakarta sentris. Perlu didekonstruksi cara berpikir, suatu kebijakan dan keputusan harus ditempatkan sebagai sesuatu yang terbuka.
Cura personalis atau pendampingan pribadi berlaku pula dalam hal kebijakan yang memperhatikan faktor lokal. Humanisasi tidak hanya ujaran utopis, tetapi jadi pegangan pengambil keputusan di bidang pendidikan menyangkut kemajemukan sebagai fakta historis Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar