Dalam seratus hari, Trump telah membuat ketegangan di dunia memuncak, perpecahan di dalam negeri AS semakin dalam, dan yang ironis, menjadi simbol kebangkitan populisme dunia.
Nyaris tak ada hari tanpa kabar yang mengejutkan dari Gedung Putih. Di tataran internasional, setelah berharap Uni Eropa bubar, menganggap NATO tak berguna, menyudutkan Kanselir Angela Merkel, dan mendukung tokoh ekstrem kanan Marine Le Pen, Trump mengambil langkah unilateral untuk mengebom Suriah dan Afganistan. Ia juga mengancam tindakan serupa pada Korea Utara.
Di dalam negeri, kontroversi berlanjut dari hari ke hari. Tujuannya bukan untuk membuat AS berjaya kembali, tapi bagaimana agar semua prestasi yang dicapai pemerintahan sebelumnya dilucuti. Pertarungan yang paling memalukan adalah upaya untuk mengganti layanan kesehatan Obamacare dengan RUU Kesehatan yang baru. Selain karena tidak matang, RUU juga gagal diajukan karena memperoleh perlawanan sengit dari kubu Republik sendiri.
Trump juga memerintahkan larangan masuk bagi warga negara dari enam negara yang berpenduduk Muslim, yang kemudian dilawan bersama-sama oleh para hakim dari banyak negara bagian. Sampai saat ini ia masih mencari celah untuk menerapkan keinginannya.
Ketika dua orang dekat Trump, Michael Flynn dan Stephen Bannon, dipaksa angkat kaki dari Gedung Putih, kita baru menyadari betapa ia dikelilingi oleh orang-orang yang bisa menjerumuskan. Flynn terbukti berbohong dan melakukan komunikasi rahasia dengan Rusia dan Turki. Sementara Bannon adalah pimpinan Breitbart News yang beraliran ekstrem kanan dan sukses mengatur arus informasi semasa kampanye.
Toh, ini tidak membuat Trump menjadi lebih bijak dan berhati-hati. Ia malah menyerahkan kepercayaan kepada anak dan menantunya, Ivanka Trump dan Jared Kushner. Apakah ia tidak menyadari adanya konflik kepentingan? Pastinya ya, tetapi Trump tidak peduli. Seperti juga ketika Ivanka memanfaatkan pertemuannya dengan PM Jepang dan PM China untuk memperlebar jaringan bisnis pribadinya di kedua negara itu.
Ada yang tak berjalan dengan semestinya dalam pemerintahan Trump ketika prinsip-prinsip demokrasi, termasukchecks and balances, diabaikan. Hampir semua media massa AS mengungkapkan kekhawatiran itu. Namun, Trump tak mau mendengar. Ia bahkan menyebut sejumlah media utama sebagai "musuh publik".
Setelah 100 hari pemerintahan Trump, rakyat AS perlu bertanya kepada dirinya, apakah pemerintahan seperti ini yang mereka idamkan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Trump Setelah Seratus Hari".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar