Beberapa waktu lalu saya ke Yogyakarta menggunakan transportasi kereta. Turun di Stasiun Tugu, saya segera mencari taksi karena ingin mengefektifkan waktu yang ada. Ternyata semua sopir taksi yang menawarkan taksinya di pintu keluar stasiun tidak menggunakan argometer. Mereka mematok harga Rp 75.000 untuk sampai Sewon, Bantul.
Saya mencoba menawar, tetapi tidak ada satu pun yang bersedia. Akhirnya saya memesan taksi lewat telepon. Taksi didapat, berikut informasi jenis mobil, warna, dan nomor taksi. Sopir taksi yang saya pesan meminta saya keluar stasiun. Ia menunggu di pinggir jalan karena merasa tidak enak dengan taksi lain yang mangkal di stasiun.
Dengan terpaksa, saya harus berjalan. Tidak terlalu jauh memang, tetapi jadi merepotkan karena harus membawa satu tas besar dan satu tas harian. Cukup membuat ngos-ngosan sampai akhirnya keluar kompleks stasiun.
Dengan sistem argometer saya membayar Rp 50.000 sampai Sewon. Bukan masalah selisih tarif yang saya prihatinkan, tetapi upaya tidak menggunakan argometer yang menurut saya perlu ditertibkan. Bukankah argometer dipasang sebagai alat pengukur tarif taksi? Kalau tak dipakai, untuk apa alat itu dipasang?
SOCA R KUSUMA
Jalan Hayam Wuruk, Sawunggaling, Wonokromo, Surabaya
Hari Nasional
Saya ingin menambahkan informasi untuk artikel berjudul "Menang dan Bahagia dalam Media" yang ditulis Ashadi Siregar (Kompas, 21/4). Disebutkan bahwa sebagai salah satu pahlawan nasional, hanya Kartini—lahir 21 April 1879—yang hari lahirnya dijadikan hari nasional.
Sebenarnya masih ada Ki Hadjar Dewantara yang lahir pada 2 Mei 1889. Ia aktivis pergerakan dan pelopor pendidikan nasional di masa penjajahan Belanda dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa. Ia juga menjadi Menteri Pendidikan Nasional RI pertama. Hari lahirnya, 2 Mei, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Sekaligus saya menanggapi juga artikel Daoed Joesoef berjudul "Ibu Kita Kartini" (Kompas, 20 April 2017) yang mengisahkan tentang dikawinkannya Kartini dengan Bupati Rembang.
"Dapat dibayangkan betapa sakit hatinya ketika kemudian suaminya mengambil 'selir' tiga orang dan hidup bersama di bawah satu atap…." Pengertian kalimat ini adalah suami Kartini mengambil tiga selir setelah dia menikahi dirinya. Hal ini tidak benar.
Djojoadiningrat, Bupati Rembang, menikahi Kartini pada 8 November 1903. Dia belum lama kehilangan garwa padmi, tetapi masih mempunyai tiga garwa ampil atau selir dengan tujuh anak. Sebagian besar anak-anak itu diasuh Kartini sampai ia meninggal pada 17 September 1904, empat hari setelah melahirkan.
HARSUTEJO
Jalan Akalipa, Kemang Pratama, Bekasi 17114
Telepon Bermasalah
Nomor telepon saya, 021-458529xx dan 61938xx, telah lebih dari tiga bulan tidak berfungsi. Nada tersambung, tetapi tidak dapat digunakan.
Masalah sudah dilaporkan ke kantor Telkom lebih dari dua bulan lalu, melalui 147 ataupun datang ke Plaza Telkom. Namun, tidak ada kejelasan penyelesaian. Hanya dapat jawaban standar: sedang dalam perbaikan.
Tidak adilnya, jika terjadi keterlambatan pembayaran, telepon pelanggan langsung dibloklir. Sementara kalau telepon rusak, kami harus terus membayar biaya bulanan. Seharusnya biaya bulanan ditiadakan sebagai konsekuensi PT Telkom Tbk.
TINDRA YUDONO
Perum Gading Arcadia, Kelapa Gading, Jakarta Utara
Tarif Tol Naik
Kami pelanggan jalan tol yang hampir setiap hari melewati tol Gerbang Kebon Jeruk ke arah Tomang. Selasa (11/4), kami kaget ketika petugas meminta biaya tol Rp 7.000, padahal sebelumnya hanya Rp 2.500. Ini berarti naik Rp 4.500 atau 180 persen.
Kami tanyakan sejak kapan berlaku. Petugas menjawab sejak Minggu, 9 April 2017. Memang ada papan pengumuman dengan SK Menteri PU Nomor 214.1/KPTS/M2017 tanggal 3 April 2017.
Baru kali ini ada kenaikan tarif tol demikian tinggi sampai 180 persen tanpa sosialisasi memadai. Ada apa? Apakah negara sedang kolaps, atau pemerintah tidak peduli lagi kepada rakyat?
Di mana fungsi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)? Apa aksi nyata BPKN dalam melindungi rakyat, termasuk dalam menghadapi pengusaha oportunis yang mencari keuntungan setinggi-tingginya?
RUSNADI
Jalan Sasak II Kelapa Dua, Kebon Jeruk, Jakarta Barat
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Mei 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar