Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 03 Mei 2017

Kejahatan Orang Baik (JAKOB SUMARDJO)

Menurut sejarawan Inggris, Arnold Joseph Toynbee, tujuan semua agama lebih kurang sama, yaitu menekan egoisme manusia serendah- rendahnya, baik bagi Tuhan maupun bagi sesama manusia.

Manusia diwajibkan mencintai sesama manusia dan dilarang membenci sesama manusia. Manusia diwajibkan menolong sesama manusia, bukan menganiaya sesama manusia. Manusia diwajibkan memberi kepada sesamanya dan dilarang mencuri dari sesamanya. Manusia diwajibkan berkata atau bersaksi atas kebenaran dan bukan berkata dusta. Manusia diwajibkan mempertahankan hidup orang lain dan bukan membunuhnya.

Orang baik vs orang jahat

 Dualitas yang saling berbalikan itu jelas bertolak dari egoisme atau keakuan manusia. Mereka yang berhasil menekan kepentingan dirinya dan mengalihkan dirinya melayani kepentingan orang lain adalah orang-orang baik. Sebaliknya, mereka yang memanjakan keinginan dirinya sendiri sembari mengorbankan, menindas, dan melenyapkan kepentingan orang-orang lain adalah orang jahat.

Kebaikan dan kejahatan itu soal perbuatan, bukan kata-kata dan pikiran. Orang boleh tahu banyak tentang perbuatan baik, tetapi kalau dia menggusur pagar tetangga, menggoblok-goblokkan pembantunya setiap pagi, memotong uang proyek kantor, dia orang jahat. Sebab, perbuatannya berlawanan dengan apa yang dia ketahui, bahkan diajarkan pada orang lain. Orang ini munafik.

 Celakalah mereka yang tahu banyak tentang kebaikan, tetapi semua perbuatannya berbalikan dengan apa yang diketahuinya. Lebih baik bodoh yang hanya tahu satu prinsip dasar kebaikan: tolonglah sesamamu manusia, siapa pun dia, tetapi setiap saat melakukan apa yang diyakininya, dialah orang baik.

Kebaikan tidak memandang perbedaan apa pun, tua atau muda, pandai atau bodoh, kaya atau miskin, pejabat atau pedagang kaki lima, karena kebaikan itu ketulusan, tanpa pamrih. Sebaliknya, kejahatan memiliki hierarkinya sendiri: semakin pandai kejahatannya semakin canggih, semakin kuat kejahatan semakin mengerikan.

Karena kebaikan itu tanpa pamrih, maka setiap perbuatan baiknya selesai begitu saja, bahkan ia tak ingat atau tak sadar telah berbuat baik. Namun, kejahatan tidak pernah puas karena keinginan diri itu tak terbatas. Orang jahat juga tidak ingat kejahatannya karena kejahatan adalah kebaikan baginya.

Di sinilah pertemuan abadi kebaikan dan kejahatan dalam ego manusia. Kebaikan yang menekan ego manusia sekecil-kecilnya, bahkan melenyapkannya, dan kejahatan yang justru memperbesar egoisme dengan melenyapkan ego orang lain.  Seperti dikatakan Toynbee, semua agama mengajarkan untuk menekan ego dan berkorban demi kemanfaatan orang lain. Ada kecenderungan rohaniah dalam hal ini. Dan, sekarang kita hidup dalam pikiran modern yang menjunjung tinggithe pursuit of happyness, mengejar keinginan diri, dan kebebasan individu yang tak dapat diganggu gugat.

Dua cara berpikir spiritual (kerohanian) dan cara berpikir material (keduniawian, manusiawi) menunjukkan keterbalikan nilai. Mengorbankan kepentingan orang lain itu baik asal demi kemajuan kesejahteraan bersama, yaitu kepentingan duniawi. Dari cara berpikir spiritual tindakan semacam itu kejahatan. Pikiran modern membenarkan.

Sebaliknya, omongannya tidak benar, tindakannya benar. Bagi cara berpikir spiritual dapat dibenarkan. Ini mirip orang bodoh yang perbuatannya menolong orang lain. Ya, dia memang tidak tahu kalau omongannya itu salah, tapi kebenaran tak terletak pada pikirannya yang salah, justru pada perbuatannya yang benar-benar menolong banyak orang.

Kearifan yang dilupakan

Mengapa harus bertengkar bersitegang urat leher untuk menyatakan kebenaran? Mengapa kita paling gemar menyalahkan orang lain dan membenarkan diri sendiri? Mengapa selalu ingin menumpas kebenaran yang berbalikan dengan milik sendiri?

Situasi semakin semrawut lagi karena mereka yang mengaku spiritual justru berpikir material dan yang material justru mirip spiritual. Sekarang kita menjadi bangsa yang kurang percaya diri, selalu memuja apa yang datang dari luar. Rendah diri bangsa ini justru menjadi kebanggaan. Kita ini bangsa ketinggalan dan hanya dapat maju setara dengan bangsa lain kalau meniru mereka.

Bangsa ini hidup di gugusan kepulauan daerah khatulistiwa. Tak ada bangsa seperti ditakdirkan untuk hidup di kepulauan ini. Dengan demikian, cara berpikir kita untuk dapat bertahan hidup di kepulauan ini adalah khas Indonesia. Kita tidak dapat meniru cara hidup bangsa-bangsa di padang luas sabana, di padang pasir, atau bangsa yang hidup dalam empat musim.

Nenek moyang kita telah mengajarkan bagaimana hidup damai di ribuan pulau ini, dalam banyak suku dan bahasa, dalam banyak masuknya bangsa-bangsa asing. Prinsip hidup itu adalah Pancasila atau sineger tengah kalau di Sunda. Seperti ditunjukkan dalam wayang, kebenaran itu banyak. Tidak ada yang salah dan bangsa ini tak pernah mempertengkarkan kebenaran.

Satu-satunya cara agar dapat hidup bersama secara damai adalah yang di Sunda disebut aing inya eta inya aing('aku adalah dia sebagai aku'). Inilah juga disebut si bangbalikan atau di Jawa disebut jagad walikan. Aku tiada lain dari kamu. Yang di atas turun ke bawah, yang di bawah naik ke atas. Yang di luar masuk ke dalam, yang di dalam menuju luar. Yang spiritual memasuki pikiran material, yang material memasuki cara berpikir spiritual. Si kaya merasakan kemiskinan, yang miskin merasakan kekayaan. Itulahtepo slirosurti, yang sudah dilupakan bangsa ini. 

Kebaikan dan kejahatan juga dapat berbeda-beda. Namun, karena kebaikan dan kejahatan itu masalah perbuatan yang obyektif dapat disaksikan seluruh dunia, maka perbuatan baik dan perbuatan jahat juga dapat obyektif. Kita tak peduli ada sukunya, apa keturunan rasnya, apa agamanya, apa kebudayaannya, apa partainya, asal perbuatannya dinilai baik oleh seluruh suku, seluruh ras, seluruh agama, seluruh partai, seluruh golongan, maka perbuatan itu benar-benar baik.

Apa guna disebut baik dalam suatu partai kalau orang-orang agama, orang budaya, berbagai golongan, tidak mengiyakan bahwa perbuatan tersebut memang baik? Kamu benar-benar baik atau benar-benar jahat kalau di luar lingkunganmu sendiri disebut baik atau jahat. Jangan bangga menjadi pahlawan di lingkungan kebenaranmu sendiri, banggalah kalau lingkungan kebenaran yang berseberangan dengan kamu juga mengakui sebagai pahlawan.

Dengan demikian jelas apa yang dimaksud "orang baik" dalam tulisan ini. Orang baik yang demikian itu tak usah ditunjuk- teriakkan kejahatannya kalau memang ia berbuat jahat. Orang baik sejati sudah menyadari kejahatan atau kesalahannya sebelum diungkit orang lain, sekecil apa pun kejahatannya.

JAKOB SUMARDJO

Budayawan

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Kejahatan Orang Baik".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger