Bisa dimaklumi kalau Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly kecewa dan marah besar atas tragedi di Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Kota Pekanbaru, yang dikenal sebagai Rutan Sialang Bungkuk. Di saat Kementerian Hukum dan HAM sedang mereformasi birokrasi terjadi berbagai indikasi penyelewengan.
Dari pungutan liar pada beberapa bentuk layanan, jumlah tahanan yang melebihi kapasitas, dan kekurangan jumlah petugas, membuat tahanan melarikan diri massal. Dengan kapasitas maksimal 350 orang ternyata jumlah tahanan mencapai 1.870. Sementara jumlah petugas jaga hanya 8 orang. Inilah masalah utama yang memicu berbagai masalah lain.
Belum lagi pengakuan beberapa anggota masyarakat bahwa telah terjadi pungutan liar pada tahanan dalam beberapa bentuk layanan, seperti untuk penerimaan tamu/kunjungan, pindah blok, dan kesempatan menelepon. Menurut saya, kita harus berhati-hati mengenai hal itu karena pelakunya adalah oknum. Karena itu, yang harus digarisbawahi adalah apa yang terjadi di Rutan Sialang Bungkuk belum tentu terjadi di lapas dan rutan lain.
Tentang jumlah tahanan yang melebihi kapasitas dan kurangnya jumlah petugas, menurut saya, itu masalah klasik. Kondisi di Rutan Sialang Bungkuk: kapasitas 350 orang dihuni 1.870, tentu sangat tidak realistis.
Oleh karena itu, terkait dengan tragedi yang telah terjadi, tidak hanya pemerintah daerah yang harus bertanggung jawab, tetapi juga pemerintah pusat. Meski demikian, mohon kiranya kesalahan tidak sepenuhnya dibebankan kepada pegawai di lapangan.
UNTUNG SUMEDI, SH
Dusun 004, Desa Gebang, Kabupaten Cirebon
Beli Rumah
Saya membeli rumah pertama dan membayar bea perolehan hak atas tanah atau bangunan (BPHTB) Rp 36 juta ke Bank DKI pada 21 Oktober 2016.
Beberapa hari kemudian keluar Peraturan Gubernur Nomor 193 Tahun 2016 tentang pembebasan BPHTB Pertama dan Waris. Keputusan berlaku sejak diundangkan, 21 Oktober 2016.
Saya meminta bantuan notaris mengurus pengajuan pembebasan dan pengembalian pajak yang telah dibayarkan. Namun, Unit Pelayanan Pajak Daerah (UPPD) Pasar Rebo mengatakan tidak bisa memproses. Alasannya, implementasi pergub berlaku mulai 22 Oktober 2016, bukan 21 Oktober 2016.
Pada 9 Desember 2016 saya mendatangi kantor UPPD Pasar Rebo untuk klarifikasi dengan membawa berkas lengkap sesuai daftar dalam pergub. Namun, sampai Desember 2016 saya masih belum juga mendapatkan kabar dari UPPD Pasar Rebo.
Ketika saya menelepon UPPD (021-8710233), katanya ada yang perlu dilengkapi. Setelah melengkapi berkas, terbitlah SK Pembebasan 100 persen atas BPHTB Nomor 1985/2016 pada 19 Desember 2016, ditandatangani Kepala UPPD Pasar Rebo H Maitono Adi Tunggal.
Namun, setelah SK terbit, saya masih diminta membuat surat permohonan restitusi, padahal surat sudah saya lengkapi saat pemberian berkas pertama kali. Akhirnya saya buat lagi surat itu dan menyerahkannya pada 22 Desember 2016. Seminggu kemudian saya diminta datang untuk proses validasi SSPDBPHTB.
Pada 7 Februari 2017 terbit SK PDLB 01170210110020002. Dalam SK tercantum jatuh tempo pengembalian BPHTB saya adalah 7 April 2017. Namun, sampai 7 April tidak ada kabar.
Saya kembali mendatangi UPPD Pasar Rebo. Dijawab masih ada kekurangan berkas, yaitu membuat perhitungan pajak terutang wajib pajak dan beberapa berkas lain, termasuk kartu keluarga. Padahal, semua berkas itu sudah saya serahkan saat pertama kali ke UPPD Pasar Rebo.
Lelah bolak-balik, saya datang ke UPPD Pasar Rebo dan minta diberi rincian yang sebenarnya agar bisa saya lengkapi. Pada 10 April 2017 saya ke UPPD Pasar Rebo melengkapi berkas. Saya heran, mengapa selalu muncul berkas persyaratan baru setiap saya ke UPPD Pasar Rebo.
Karena belum juga ada kabar, saya ke UPPD Pasar Rebo lagi pada 8 Mei 2017. Mereka beralasan butuh konfirmasi dari Badan Pertanahan Nasional untuk proses selanjutnya.
Saja juga ke BPN Jakarta Timur. Tidak sampai 2 jam, saya sudah mengetahui bahwa kepemilikan sertifikat adalah atas nama saya dan benar ini rumah pertama.
Selama kurang lebih 7 bulan saya mengurus keperluan ini dalam kondisi serba tidak jelas, dengan proses panjang, bertele-tele, dan terkesan dibuat-buat.
Mohon penjelasan pihak-pihak yang terkait.
ANTONIUS WIWIT M
Kp Asem, Cijantung, Pasar Rebo, Jakarta Timur
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2017, di halaman 7 dengan judul "Tragedi Rumah Tahanan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar