Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 30 Juni 2017

Pancasila dan Subversi Identitas (BONI HARGENS)

Melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017, pemerintah telah membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Unit ini adalah modus baru membumikan Pancasila (Kompas, 8/6/2017), yang tugasnya merumuskan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pancasila dan melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan. Singkatnya, UKP-PIP bertugas untuk merumuskan garis-garis haluan pembinaan ideologi Pancasila. 

Sebagai roh, falsafah, sekaligus Weltanschauung, cara kita melihat dan memaknai dunia, Pancasila semestinya menjiwai dan menghidupi kita sebagai Indonesia. Pancasila-lah yang memampukan kita, dalam istilah Benedict Anderson (1983), untuk terus membayangkan diri sebagai satu keluarga besar Indonesia.

Implikasinya, segala ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG) terhadap eksistensi Pancasila serentak merupakan ATHG terhadap eksistensi ontologis kita sebagai Indonesia. 

Turbulensi belakangan, terutama sejak paruh akhir 2016, bukanlah perkara sepele, seperti dipahami sebagian "politisi (masa) bodoh" yang berpura-pura menyederhanakan semuanya dalam bingkai pilkada atau sekadar pemanasan ( warming-up)menuju Pemilu Presiden 2019. Kengawuran yang rumit itu adalah preseden dari kebangkitan politik identitarian (identity politics) dalam batasan buruk. 

Orang turun bergelombang ke jalan, mengibarkan bendera kelompok dan berteriak mempertanyakan Pancasila-bahkan berpretensi mendekonstruksi dasar negara. Jelas, itu melampaui urusan kalah-menang dalam pilkada. Di Minahasa, Sulawesi Utara, gerombolan anak muda mengobarkan semangat separatis. Mereka mengaku gerah dengan kelompok radikal yang merusak demokrasi Pancasila.

Ekses buruk semacam ini, di satu sisi, bakal mengeskalasi jika kelompok garis keras tak ditertibkan. Namun, di lain sisi, negara tak mudah bertindak. Kelompok garis keras acap kali memakai simbol agama-meski itu afiliasi sosial yang kabur dan tak jelas batasnya, tetapi berpotensi merusak agama secara fatal. 

Garis keras dan ormas agama

Untuk itu, harus ada kesepakatan sosial untuk tidak memakai label agama dalam mendiskusikan ormas garis keras. Sebab, seperti ditegaskan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal (Pol) Budi Gunawan, mereka bukan gerakan dakwah (keagamaan), melainkan gerakan politik.

Yang melakukan persekusi juga mesti dilarang memakai simbol agama dalam keseluruhan perjuangan dan praktik organisasi mereka yang tidak berjuang dalam radius keindonesiaan. 

Sebagai upaya pelembagaan komitmen dan penyatuan kepingan ingatan kolektif tentang Pancasila sebagai roh bersama, UKP-PIP memikul misi besar  , yaitu bagaimana mendarahdagingkan Pancasila dalam diri anak bangsa. 

Namun, dalam kerjanya, perlu ada analisis yang berimbang dan menyeluruh. Sebab, kebangkitan politik identitas tak selalu bermakna buruk. Secara teoretis, tak sedikit ahli secara positif mendefinisikan "politik identitas" sebagai model pengorganisasian diri di kalangan kaum tertindas (Fanon, 1968; Young, 1990; Gutmann, 1994; Brown, 1995; Alcoff, 1997; Butler, 1999; Laden, 2001; Allen, 2008).

Ia dilihat sebagai perjuangan politik menuntut pengakuan terhadap hak dan keberadaan mereka yang disebut  the disinherited  oleh Frantz Fanon (1925-1961) atau mustadafin oleh Ali Syari'ati (1933-1977). Fenomena ini berkembang luas setelah     hegemoni politik liberal melahirkan ketidakadilan struktural dengan segala keturunannya di segala level. Makanya, Wendy Brown (1995) menegaskan politik identitas lahir sebagai risiko dari demokrasi liberal. Mereka yang menjadi korban dari liberalisme mengalami apa yang dalam bahasa kaum feminis disebut "subversi identitas" (Judith Butler, 1999). 

Semangat fundamental yang diperlihatkan kaum puritan yang radikal belakangan perlu juga dibaca dalam beragam perspektif: (1) negara perlu memahami kebutuhan dan isi hati mereka, (2) barangkali masih banyak di antara kita yang belum ikhlas "menjadi Indonesia" karena alasan multikausal, dan/atau (3) mungkin gerakan radikal sudah menjadi bentuk komunikasi politik kontemporer yang tak cukup direspons secara linear. 

Poin ketiga di atas menegaskan bahwa rekayasa politik selalu ada. Campur tangan iblis dalam kekacauan seperti ini tak pernah absen. Namun, ini diagram Fenn yang kompleks dalam matematika politik karena irisan yang tumpang-tindih antara rendahnya pendidikan, lemahnya ekonomi, indoktrinasi yang keliru, ketidakadilan sosial yang endemik, dan rekayasa politik iblis. Maka, ini catatan keras tentang kematangan proses kita berbangsa. 

Proyek membangsa

Selain itu, proyek membangsa bukanlah proyek bongkar-pasang seperti tukang bengkel membuang onderdil rusak dan memasang yang baru. Membangsa adalah membangun keutuhan sebagai komunitas di atas dasar-dasar yang beragam dan mewujudkan  melting pot  sebagai koeksistensi multikultural yang harmonis.

Konsekuensi lurus dari pemahaman ini adalah bahwa menjadi Indonesia memerlukan kebersediaan yang sadar dan ikhlas. Perjuangan dimulai dari diri sendiri. Maka, benar apa yang dikampanyekan Presiden Jokowi:  Saya Indonesia, Saya Pancasila!  Sebab, Indonesia adalah "kumpulan saya" yang dengan sadar membayangkan dan mengakui diri sebagai kita dalam keutuhan sebagai bangsa. 

Konsekuensi terbaliknya, tiap orang yang menolak keberagaman dus sama dengan menolak Indonesia. Untuk itu, perlu pembinaan dari negara dalam rangka menumbuhkan kesadaran keindonesiaan. Pada level yang ekstrem, ketika pembinaan tak lagi efektif, negara boleh memakai kewenangan koersif. Dengan catatan, aturan hukum ditegakkan supaya tidak ada celah bagi pelanggaran hak asasi dan kebebasan sipil.

BONI HARGENS

Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul "Pancasila dan Subversi Identitas".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger