Kesimpulan tersebut, barangkali, terlalu tergesa-gesa atau terlalu berani. Akan tetapi, fakta di lapangan telah menunjukkan bahwa rasa kemanusiaan, penghormatan terhadap sesama manusia dan nilai-nilai kemanusiaan, sungguh-sungguh telah tipis untuk tidak mengatakan sudah tidak ada.
Apakah bisa dikatakan bahwa siapa pun perancang, pelaku, atau otak serangan bom truk itu sebagai menghormati kemanusiaan dan manusia lain? Tidak. Serangan bom truk tidak jauh dari istana presiden dan di wilayah kedutaan besar negara-negara sahabat Afganistan itu telah menewaskan sekurang-kurangnya 90 orang! Selain hampir 100 orang tewas, sebanyak 400 orang lainnya terluka.
Jumlah 90 orang tidak sedikit. Mereka adalah manusia, sama seperti perancang, pelaku, dan otak peledakan bom itu. Dan, yang sungguh memprihatinkan, menyedihkan, membuat hati ini menyesak, dan akan tidak bisa menerima serta memahami, peledakan bom tersebut dilakukan justru di bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, di bulan yang semestinya orang berlomba-lomba melakukan kebaikan, melakukan tindakan luhur bagi sesama.
Selain menunjukkan tiadanya rasa kemanusiaan, serangan tersebut juga memperlihatkan sifat kekejaman, ketidakberadaban orang atau kelompok di Afganistan terhadap rakyat Afganistan yang sudah demikian lama mendambakan perdamaian; yang sudah demikian lama memimpikan kehidupan yang aman dan damai. Afganistan adalah sebuah cerita kesedihan, nestapa, penderitaan yang demikian panjang. Negeri itu terpecah belah karena peperangan yang dikuasai oleh nafsu kekuasaan.
Bukan kali ini, memang, Kabul menjadi sasaran peledakan bom ataupun tindakan penyerangan bersenjata yang menewaskan banyak orang. Sepanjang tahun 2017 ini saja sudah tiga kali—termasuk serangan hari Rabu, 31 Mei lalu—terjadi serangan mematikan di Kabul. Pada 10 Januari lalu, misalnya, terjadi serangan bom bunuh diri yang dilakukan oleh Taliban dan menewaskan tak kurang dari 36 orang. Lalu, 8 Maret silam, NIIS beraksi secara membabi buta melepaskan tembakan dan menewaskan tak kurang dari 30 orang.
Semua itu menambah panjang penderitaan rakyat Afganistan, khususnya Kabul. Keamanan negeri itu, memang, semakin memburuk setelah misi NATO mengakhiri tugas mereka tahun 2014.
Melihat apa yang terjadi di Kabul, kiranya dunia tidak bisa tinggal diam untuk membantu rakyat negeri itu memulihkan keamanan dan perdamaian. Jika tidak, masa depan negeri itu akan semakin suram. Pemerintah Kabul rasanya tak mampu menghadapi kondisi sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar