Mengapa pemerintah tak menambah utang saja? Pertanyaan ini terkait dengan dua alasan. Pertama, rasio utang terhadap perekonomian masih relatif rendah. Kedua, kenaikan peringkat utang oleh Standard & Poor's baru-baru ini akan menurunkan biaya penerbitan utang pemerintah.
Soal pemotongan dana alokasi umum (DAU), meskipun landasan hukumnya kuat, tetap saja berisiko memperlambat perekonomian (daerah). Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50 Tahun 2017, transfer ke daerah mempertimbangkan tiga hal, yaitu celah fiskal, kinerja DAU tiga tahun terakhir, serta penerimaan dalam negeri. Pemotongan DAU kali ini dilakukan karena pendapatan dalam negeri bersih diperkirakan di bawah target.
Bagaimana legitimasi politiknya? Sebagian berpendapat, kehadiran (kembali) Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sejak pertengahan tahun lalu identik dengan pemotongan anggaran. Pada waktu itu, belum genap satu minggu menjadi Menteri Keuangan, Sri Mulyani memangkas Rp 133,8 triliun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016.
Sebesar Rp 68,8 triliun di antaranya adalah dana transfer ke daerah. Apakah kebijakan ini salah? Faktanya, hampir semua lembaga multilateral dan analis keuangan justru memuji kebijakan itu sebagai kebijakan profesional yang membuat fiskal kita menjadi lebih kredibel. Hasilnya, awal tahun ini, Standard & Poor's menaikkan peringkat utang Indonesia menjadi layak investasi.
Meski tak disukai, kebijakan pemotongan anggaran tak terbantahkan. Pemerintah pun tahu benar bahwa fiskal berfungsi menggerakkan siklus ekonomi. Pengetatan fiskal yang terlalu keras akan mengakibatkan efek negatif bagi pembangunan (di daerah). Karena itu, pemotongan DAU akan dilakukan secara proporsional dengan disertai kebijakan lain, seperti menambah utang dan melonggarkan besaran defisit fiskal.
Rasio utang kita terhadap perekonomian masih tergolong aman, yaitu 27 persen. Angka yang menjadi rujukan batas aman adalah 30 persen, yang sekarang ini tak satu pun negara mematuhinya, bahkan negara-negara berkembang tetangga kita. Rasio utang China, Korea, Malaysia, dan Thailand sudah berada pada kisaran 200 persen terhadap produk domestik bruto pada 2015. Dari sisi rasio utang, kita termasuk salah satu yang terendah.
Meski rasionya aman, secara nominal hal ini patut menjadi perhatian. Pada akhir Maret 2017, total utang pemerintah pusat sudah mencapai Rp 3.649 triliun, hampir 80 persen atau sebesar Rp 2.912 triliun berbentuk Surat Berharga Negara. Jika penerbitan utang terus dilakukan, implikasinya bisa bersifat politis, yaitu secara nominal utang terus merangkak naik menuju Rp 4.000 triliun.
Kebijakan komprehensif
Untuk mengurangi tekanan kebutuhan utang, pemerintah juga bisa merelaksasi besaran defisit fiskal. Kebijakan itu sudah dalam perencanaan. Defisit fiskal direncanakan naik dari 2,4 persen menjadi 2,6 persen atau maksimal 2,75 persen. Jika besaran rasio utang hanya diatur lewat konsensus, defisit fiskal terikat undang-undang.
Tentu saja pemerintah tak ingin mengambil kebijakan yang melanggar undang-undang karena implikasi politiknya akan sangat besar. Dalam hal ini, perlu navigasi kebijakan fiskal yang penuh kehati-hatian.
Kebijakan harus dipandang sebagai komposisi (portofolio) yang diracik secara komprehensif, mulai dengan menambah utang dan memangkas anggaran hingga melonggarkan defisit fiskal. Pengetatan anggaran tetap tak terelakkan sehingga pemerintah daerah pun tak punya pilihan.
Justru situasi ini bisa menjadi momentum untuk memaksa pemerintah daerah lebih efektif dan efisien mengelola anggaran. Tak banyak pemimpin daerah yang memahami fungsinya sebagai pengelola anggaran, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran.
Sebagian besar masih bermental birokrat, yang memahami tugas dan fungsinya hanya sebatas menyusun anggaran, menunggu alokasi dari pusat, dan menghabiskannya. Padahal, semestinya dengan semangat desentralisasi, pemerintah daerah juga wajib mengembangkan potensi dan aset daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.
Semangat kewirausahaan yang berorientasi kemajuan sosial harus dibangun di antara aparatur pemerintah daerah. Pengetatan anggaran secara proporsional diperlukan untuk melecut kinerja pemerintah daerah.
Tak ada pilihan mudah yang tidak menimbulkan efek samping (trade-off). Justru masalahnya adalah jika di dalam pemerintahan sendiri muncul anggapan bahwa Menteri Keuangan tak sejalan dengan visi pembangunan Presiden. Seberapa pun valid orientasi politisnya, implementasi harus dikalkulasi secara teknokratis.
A PRASETYANTOKO
EKONOM DI UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Juli 2017, di halaman 15 dengan judul "Dilema Kebijakan Fiskal"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar