Menariknya justru karena model pembelajaran alternatif yang digagas untuk anak-anak di daerah terpencil masih terkesan serba tanggung.
Betul, pertimbangannya adalah rendahnya pelayanan pendidikan di daerah terpencil yang sering dipicu oleh kurang tersedianya tenaga guru. Padahal, di sisi lain, usaha penyediaan guru amat kompleks serta butuh waktu yang tak sekejap.
Karena itu, Iwan mengusulkan terobosan gagasan pembelajaran baru yang memungkinkan tiap anak di daerah terpencil belajar bermakna segera.
Artinya, bukan semata-mata karena kurangnya tenaga dan minat untuk mengajar dari para guru, tetapi lantaran proses pendidikan untuk para tenaga pengajar itu tampak belum dipersiapkan secara matang dan berkualitas.
Salah satu contohnya dapat diamati pada Program Pendidikan Profesi Guru Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (PPG SM-3T). Program satu tahun yang diselenggarakan oleh Kemristek dan Dikti selama hampir 5 tahun ini telah menghasilkan beragam lulusan yang diakui dan dipandang profesional. Dengan kata lain, kompetensi mereka untuk melakukan swaajar tak perlu diragukan lagi.
Masih teknis
Pada kenyataannya kompetensi yang diajarkan dalam PPG SM-3T baru sebatas bersifat teknis bahkan mekanis belaka. Dengan kata lain, pembelajaran untuk menjadi guru swaajar tidak lebih dari sekadar memenuhi tuntutan administratif.
Singkatnya, PPG SM-3T terperangkap dalam iklim pengajaran yang berbentuk "surplus laporan, defisif perubahan" (Sunardi, 2016). Itulah mengapa urusan "otorianisme manajerial" menjadi dilema yang tak terhindarkan daripada menggagas perubahan yang diperlukan.
Sebagai gambaran, dalam PPG SM-3T kehidupan di asrama adalah prasyarat pembelajaran yang dinilai amat penting dan mendesak mengingat di sanalah nilai-nilai dan semangat swaajar dibentuk.
Mengacu pada pengamatan Ben Anderson (1988), bahwa kehidupan di asrama seperti pesantren, misalnya menjadi saat dan tempat yang tepat untuk menempa empat nilai, yakni: kesederhanaan, semangat kerja sama, solidaritas, dan keikhlasan (pengabdian tanpa memperhitungkan untung rugi pribadi).
Dengan keempat nilai itulah, cara hidup yang altruis atau tanpa pamrih dapat hadir dengan ditopang oleh cara hidup yang nasionalis, independen atau mandiri, demokratis, dan revolusioner.
Sayangnya, meski tersedia buku Panduan Asrama PPG 2017, tetapi penempaan empat nilai di atas hanya berhenti pada tataran "konstantasi" lebih daripada "kontestasi".
Masuk akal jika kehidupan di asrama masih terkesan lebih sebagai ritual ketimbang cara hidup yang dihayati apalagi dimaknai. Padahal, sebagaimana dilaporkan "Kompas Kampus" (17/3/2017), kehidupan di asrama justru dapat "membangun kedewasaan".
Bahkan ada yang berpandangan bahwa kehidupan di asrama setara dengan "memiliki keluarga baru", "menjaga keharmonisan", dan "berkembang bersama".
Sistem asrama
Penting untuk dicatat bahwa di masa lalu kehidupan di asrama telah menghasilkan tokoh-tokoh intelektual ternama di Indonesia. Satu di antaranya adalah mendiang Ahmad Wahib yang dikenal sebagai pemikir dan pembaru Islam pada tahun 1960-an (Mujiburrahman, 2006).
Bukunya yang kontroversial berjudulPergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib (1981). Asrama yang menjadi kediamannya semasa menjalani studi di Yogyakarta bernama Realino.
Di asrama itulah yang ditutup pada awal 1990-an, Wahib mengalami pembelajaran yang bersifat lintas ilmu, budaya, dan agama serta membentuknya menjadi tokoh muda Muslim yang kritis dan tak kenal takut.
Dari sosok bersejarah seperti itu, dapat diketahui bagaimana asrama telah menjadi tulang punggung dalam pembentukan insan-insan muda Indonesia yang berjiwa pembaru. Pembaruan yang merupakan buah dari proses swaajar sepatutnya juga dihasilkan para guru muda profesional yang telah lulus dari PPG SM-3T dengan basis pendidikan dalam kehidupan di asrama. Jika tidak, swaajar yang serba tanggung justru dapat menjadi duri yang mampu melukai masa depan anak-anak didik di kemudian hari.
Bukan kebetulan bahwa swaajar yang utuh dan menyeluruh telah menjadi perhatian dari para tokoh pendidikan Indonesia di masa lampau. Ki Hajar Dewantara adalah satu dari tokoh swaajar yang mendirikan Taman Siswa pada 1920-an.
Taman Siswa
Sebagai sebuah institusi tandingan (counter-institution) pada era kolonial Belanda, Taman Siswa dijalankan dengan sistem pondok asrama. Di sanalah, baik guru maupun murid, dituntut untuk "mendidik diri sendiri" sebagaimana dituliskan oleh Ki Soedyono Djojopraitno yang bernama samaran Gadjah Mada di majalah Pusara milik Taman Siswa (Tsuchiya, 1986).
Dengan tuntutan itu, Taman Siswa telah bersiap diri untuk menghadapi segala kebijakan kolonial, terutama yang terkait dengan Ordonansi Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordonantie) pada 1930-an.
Swaajar yang sejak semula menjadi ciri khas dari pendidikan nasional mencerminkan suatu perjuangan untuk bebas dari dominasi kepentingan pihak mana pun. Perjuangan itu merupakan sebuah kunci untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang selalu manunggal dengan mengutamakan masa depan anak didik.
Karena itu, swaajar memang perlu dipersiapkan secara matang dan terencana. Sebab, hal itu bukan sekadar mengutamakan hal-hal duniawi atau bergaya zakelijkheid (kelugasan) dan "materialisme" belaka, melainkan adalah bagian dari mempersiapkan "rakyat" sebagai pemegang kunci kedaulatan dan/atau demokrasi.
Melalui PPG SM-3T, swaajar selayaknya dapat digagas sebagai suatu paradigma (model pola) untuk membangun suatu komunitas tempat gagasan "demokrasi dan kepemimpinan" (demokratie danleiderschap), sebagaimana dikonsepkan Ki Hadjar Dewantara, tumbuh dan berkembang secara ideal.
Komunitas yang dibayangkan mampu menjamin dan memungkinkan semangat "sama rata dan sama rasa", seperti dislogankan Mas Marco, muncul sebagai konsep kerakyatan yang adil dan beradab. Konsep kerakyatan yang menjadi "jiwa-zaman" pada era pergerakan nasional masa lalu agaknya merupakan lambang legitimasi yang tak terelakkan.
Menarik bahwa swaajar yang dapat menjadi legitimasi pendidikan kerakyatan di daerah terpencil justru dimulai melalui PPG SM-3T yang berbasis pada kehidupan di asrama.
Mengisi "diary"
Di Yogyakarta, salah satu universitas swasta penyelenggara PPG SM-3T menerapkan pola kehidupan di asrama dengan membiasakan atau mentradisikan penulisan buku catatan harian (diary) sebagai media komunikasi personal.
Di buku itu beragam pengalaman dapat dituliskan, termasuk keterlambatan pencairan "uang saku" dari pengelola PPG SM-3T.
Meski sudah ada media yang lebih canggih dan cepat, seperti Whatsapp, tiap guratan kata di buku itu melambangkan kedaulatan yang khas dan tak tergantikan. Inilah boleh jadi bahan bakar swaajar yang dapat mengatasi, bahkan melampaui, keserbatanggungan dari PPG SM-3T selama ini.
A WINDARTO, PENELITI DI LEMBAGA STUDI REALINO, SANATA DHARMA, YOGYAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Juli 2017, di halaman 7 dengan judul "Swaajar Serba Tanggung".

Tidak ada komentar:
Posting Komentar