Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 24 Juli 2017

ARTIKEL OPINI: Perihal Presidensialisme (IGNAS KLEDEN)

Ibarat kapal yang berlayar atau berlabuh, setiap sistem kenegaraan selalu mempunyai otoritas yang diperlakukan sebagai "jangkar" negara itu agar kapal negara tidak terbawa gelombang dan arus ke mana-mana, tetapi dapat berada di tempat yang dikehendaki.

Dalam sistem monarki konstitusional, kapten kapal pemerintahan adalah perdana menteri (PM), tetapi jangkar kapal raja atau ratu. PM adalah kepala pemerintahan, sedangkan raja atau ratu adalah kepala negara. PM memimpin pelayaran ke tujuan yang ditetapkan, menentukan jalur pelayaran, mengatur tugas dan tanggung jawab awak kapal. Namun, ketika topan menerpa, kapalharus diamankan di tempat yang terlindung dan jangkar harus diturunkan agar kapal tak terancam karam dan terhunjam ke laut dalam. Menurut analogi ini, dalam monarki konstitusional raja atau ratu tidak punya fungsi eksekutif, tetapi punya fungsi moral dan simbolik yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan dan integrasi politik.

Indonesia menganut sistem presidensial dan bukan sistem parlementer, yang berarti presiden mempunyai tugas ganda, yaitu menjadi kepala pemerintahansekaligus kepala negara. Sebagai kepala pemerintahan, dia menjadi eksekutif tertinggi yang bertanggung jawab terhadap maju mundurnya pemerintahan yang diselenggarakan bersama kabinet yang dipimpinnya. Namun, sebagai kepala negara dia jadi jaminan atau"jangkar" bagi keseimbangan dan integrasi politik negaranya.

Dalam pemerintahan, keseimbangan politik ditentukan oleh prinsip Trias Politika atau tiga serangkai dalam politik berupa pembagian tugas dan wewenang antara eksekutif sebagai pelaksana pemerintahan, legislatif sebagai pembuat UU dan kontrol terhadap pemerintahan, serta yudikatif sebagai pihak yang harus memutuskan penyelesaian konflik yang ada di dalam pembagian tugas itu, dan menentukan sanksi bagi pelanggaran undang-undang. Meski demikian, dalam sistem kenegaraan, keseimbangan politik ditentukan pertama-tama oleh keseimbangan di antara berbagai institusi politik. Keseimbangan politik kata lain untuk perimbangan kekuasaan, sedangkan balance of power is primarily the balance between political institutions,perimbangan kekuasaan pertama-tama berarti perimbangan di antara institusi-institusi politik.

Berkaca pada Thailand: perlunya keseimbangan politik

Keseimbangan politik sebagai keseimbangan di antara lembaga-lembaga politik ini menjadi demikian penting untuk suatu negara sehingga Inggris bersedia membiayai kehidupan ratu dan keluarganya, Thailand bersedia membiayai kehidupan raja dan keluarganya. Sebab, di saat-saat genting ketika terjadi badai politik di antara lembaga-lembaga politik yang ada, raja atau ratu akan memainkan peranan sebagai jangkar bagi kapal yang terombang-ambing ataufaktor integrasi dan otoritas yang menjamin keutuhan negara. Ada semacam kepercayaan bahwa the king can do no wrong (raja tak mungkin berbuat salah) karena dia tidak terlibat dalam pelaksanaan pemerintahan dan bebas dari persaingan kekuatan politik dan karena itu dapat diterima oleh berbagai pihak yang saling bertentangan dan bahkan saling melibas dalam perebutan kekuasaan.

Kita tahu negara tetangga kita, Thailand,kini diakui kemajuan ekonominya dan terkenalkeberhasilan agro-industrinya(dari pepaya bangkok hingga ayam bangkok). Selama bertahun-tahun negeri itu jadi "medan tempur" antara pemerintahan sipil dan militer yang tak segan- segan melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah. Untuk waktu yang lama Thailand diperintah oleh seorang raja yang berkuasa mutlak (absolute monarchy), tetapi sebuah revolusi meletus pada 1932 serta mengakhiri ancien regime dan menggantinya dengan monarki konstitusional, demokrasi parlementer, dan ideologi sosialisme yang didukung oleh kaum terpelajar. Unik bahwa dalam revolusi itu sistem kerajaan tidak dihapus, tetapi hanya diganti sifatnya yang absolut menjadi monarki konstitusional.

Demokrasi yang mengembuskan angin segar dalam politik Thailand sejak 1932 terputus hidupnya pada 1947 ketika pemerintahan sipil di bawah PM Pridi Banomyong dikudeta oleh Jenderal Pibulsonggram, yang dianggap kolaborator Jepang dalam Perang Dunia II. Dia berkuasa selama 10 tahun sebagai penguasa militer dan pada 1957 pemerintahannya dikudeta oleh Jenderal Sarit Thanarat, yang membawa Thailand ke dalam bayang-bayang dominasi dan hegemoni Amerika Serikat. Dalam hiruk pikuk perebutan kekuasaan ini, negara dan masyarakat Thailand memandang kepada raja mereka, Raja Bhumibholbergelar Rama IX, yang duduk di atas takhtanya untuk waktu yang lama sekali, dan menjadi faktor yang menjamin keberlanjutan negara Thailand sampai ia wafat beberapa waktu lalu.

Dapat dipastikan bahwa peranan raja dan pengaruh para rahib Buddhis amat menentukan dalam mencegah perang saudara di negeri itu. Raja Thailand bukan saja jadi pengimbang antara kekuatan sipil dan militer, melainkan juga jadi mediator di antara kekuatan-kekuatan konservatif dan kelompok-kelompok progresif yang menghendaki perubahan dan pembaruan. Para penulis dan cendekiawan serta sastrawan Thailand tak jarang mendapat perlindungan raja meski mereka dianggap musuh oleh rezim yang sedang berkuasa.

Bukan saja raja, anggota keluarga kerajaan dan para bangsawan tinggi pun tidak jarang jadi pelopor pembaruan masyarakatnya. Contoh dalam sejarah Thailand adalah Pangeran Sitthiporn Kridakara, seorang bangsawan tinggi yang menjadi pejabat tinggi di Istana Raja Rama VI dan punya hubungan baik dengan sang raja. Akhirnya dia meletakkan jabatan dan menjadi petani di bagian selatan Thailand. Dia mengampanyekan semboyan: hanya kalau kaum terdidik Thailand menjadi petani, dan hanya kalau petani Thailand menjadi cukup terdidik sehingga tak mudah dieksploitasi, negeri itu mempunyai masa depan yang cerah.

Warisannya diteruskan oleh seorang dokter, dr Prawase Wasi, yang memberikan perhatian terhadap social liberation di negara itu. Dengan mengikuti contoh Pangeran Sitthiporn Kridakara sebagai modelnya, dia mendesak agar para tamatan universitas yang masih menganggur, yang pada masanya berjumlah kira-kira 200.000 orang, hendaklah menjadi petani. Kalau kaum terpelajar hanya mencari kerja pada pemerintah atau perusahaan asing, dikhawatirkan elite perkotaan akan selalu berkolaborasi dengan super power dan perusahaan multinasional, sambil meninggalkan petani dan pertanian dalam keadaan merana. Dia juga mengampanyekan pentingnya obat-obat herbal dalam tradisi negeri itu. Dia berkata, kesehatan umum masyarakat Thailand akan tercapai pada tahun 2000 jika penduduk tidak hanya menggantungkan nasibnya pada ilmu kedokteran Barat dan rumah sakit. Dia mendidikpara lulusan universitas untuk memberikan perhatian pada tanaman-tanaman obat yang harus dilindungi secara ketat dari deforestasi.

Kemajuan agro-industri Thailand tentulah didukung teknologi pertanian dan perhatian negara terhadap pertanian. Namun, sering tidak diketahui ada gerakan sosial yang kuat, yang telah memberikan tempat penting bagi pertanian dalam kemajuan Thailand dan gerakan ini dipelopori oleh para bangsawan tinggi dan kaum terdidik negeri itu dalam perlindungan raja. Contoh ini memperlihatkan bahwa raja sebagai kepala negara dapat berbuat banyak sekali untuk negaranya sekalipun dia tak punya kekuasaan eksekutif.

Perjuangan pemerintah dan rakyat Thailand untuk kesejahteraan mereka diabadikan oleh penyair Angkarn Kalayanapong dalam dua bait sajaknya. Dalam terjemahan saya dari versi bahasa Inggris, bunyi sajak itu adalah demikian:Siapa 'kanberani memperdagangkan langit dan lautan?/ciptaan ajaib itu dunia kita/bagian-bagian badan akan dapat tempat/ pada jam-jam penghabisan antara bumi dan langit. — Kita bukan pemilik awan dan udara/atau langit atau bumi dan unsur-unsurnya /Manusia tak pernah menciptakan bulan atau sang surya/juga tidak satu atom dalam sebutir pasir.

Kepala negara perlu intervensi

Pemerintahan di Indonesia, dalam teori, menganut juga Trias Politika menurut ajaran filsuf politik Perancis, Montesquieu, yang dalil dan bukunya tentang the spirit of law menjadi bacaan wajib dalam studi ilmu hukum dan ilmu politik sampai sekarang. Menurut teori ini, hubungan eksekutif-legislatif didefinisikan sebagai hubungan di antara tugas eksekusi serta implementasi dan tugas pengawasan. Ini berarti pengawas tak boleh terlibat dalam eksekusi agar pengawasan yang ia lakukan tak bersifat partisan. Dalam praktik di Indonesia, terlihat tendensi DPR semakin banyak melakukan ekspansi kekuasaannya ke dalam bidang eksekutif. Banyak penunjukan jabatan eksekutif harus melalui persetujuan DPR atau disahkan oleh DPR yang melakukan fit and proper test.

Sebagai contoh, penunjukan Panglima TNI dan Kapolrioleh Presiden harus disertai persetujuan DPR, sementara jelas sekali tugas Panglima TNI dan Kapolri adalah tugas eksekutif. Demikian pun calon-calon duta besar yang dipilih Presiden harus melewati fit and proper test di DPR, sementara tugas duta besar adalah mewakili Presiden dan pemerintah di negara tempat dia ditempatkan. Demikian pula ketua dan jabatan pimpinan dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU)diusulkan oleh Presiden sebanyak dua kali jumlah kursi yang ada dan DPR akan memilih sesuai jumlah kursi yang tersedia.

Contoh-contoh ini dapat diperbanyak dengan mudah. Namun, inti soalnya ialah tidak jelas lagi di mana batas tugas eksekutif dan legislatif dalam pemerintahan yang resminya diatur dengan sistem presidensial. Kita dapat bertanya sebaliknya, apakah pemilihan ketua DPR dan para wakil ketua di DPR harus dengan persetujuan Presiden? Apakah pemilihan ketua dan anggota komisi di DPR harus dengan persetujuan Presiden?

Dalam pembagian tugas yang tegas, Presiden dapat menunjuk langsung Panglima TNI dan Kapolri tanpa persetujuan DPR, dan hanya kalau Panglima TNI atau Kapolri tidak bekerja dengan benar atau melakukan kesalahan besar, DPR dapat meminta pertanggungjawaban Presiden. Bahwa DPR hendak memperkuat posisinya dengan lebih banyak wewenang dan kekuasaan adalah hal yang bisa dipahami. Namun, pertanyaannya, apakah dengan itu prestasi dan produktivitas DPR juga meningkat dan peranannya sebagai wakil rakyat semakin nyata dan dirasakan?

Persoalan yang sekarang menggantung di udara republik ini adalah ketegangan antara DPR dan KPK akibat pembentukan Pansus KPK. Ketegangan ini kian hari kian meningkat karena masyarakat terpecah juga dalam kelompok pro-Pansus dan pro-KPK. Presiden Jokowi diminta menyelesaikan ketegangan ini. Namun, dengan berpegang pada Trias Politika, Presiden berpendapat ini urusan DPRdan dia tidak mau mengintervensiDPR sekalipun desakan dan harapan masyarakat makin nyaring terdengar.

Dalam soal ini, perlu ditegaskan bahwa Presiden Indonesia adalah kepala pemerintahandan eksekutif tertinggi, sekaligus juga kepala negara. Sebagai kepala pemerintahan dia terikat oleh batas-batas eksekutif. Namun, sebagai kepala negara dia bertugas menjadi faktor integrasi dan penjaga keseimbangan politik negerinya. Apabila terjadi ketakseimbangan dan disharmoni di antara lembaga-lembaga politik, kepala negara harus bertindak dengan memainkan peranan sebagai jangkar negaranya agar kapal negara ini tidak terombang-ambing oleh ulah dan bahkan keisengan lembaga politik tertentu. Ini mudah dipahami karena harus ada orang yang bertanggung jawab terhadap keutuhan negara dan bangsa ini. Dalam kasus Indonesia orang itu adalah Presiden sebagai kepala negara; bukan orang lain!

Mungkin baik dicatat sekali lagi bahwabalance of power is primarily the balance between political institutions: perimbangan kekuasaan pertama-tama berarti perimbangan di antara lembaga-lembaga politik. Dengan demikian, sebagai kepala negara, Presiden kita berwenang membereskan konflik semacam ini agar integrasi politik dan keberlanjutan negara kita terjamin dan tidak dirusak oleh ulah suatu lembaga politik tertentu karena alasan apa pun.Kalau hal ini dilakukan oleh Presiden Jokowi, dapat dipastikan diatidak mendapat dukungan DPR, tetapi dia akan mendapat dukungan rakyatnya, yang semakin lama semakin tidak merasa bahwa ada Dewan yang mewakili kepentingan mereka, juga akan dinilai masih mempunyai rasa peka terhadap keadaan yang mengancam keutuhan bangsa, kesejahteraan rakyat, dan keselamatan negaranya.

IGNAS KLEDEN,

SOSIOLOG; CHAIRMAN KOMUNITAS INDONESIA UNTUK DEMOKRASI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Perihal Presidensialisme".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger