Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 27 Juli 2017

ARTIKEL OPINI: Utang: Tabu Vs Solusi (ANTON HENDRANATA)

Mendengar kata "utang", maka akan muncul konotasi negatif dalam pikiran kita. Pepatah "besar pasak daripada tiang" seyogianya dapat dihindari Indonesia, apalagi kita pernah merasakan pahit getirnya krisis ekonomi dan moneter 1997/1998, yang salah satu penyebabnya lonjakan utang dan lemahnya pencatatan utang luar negeri swasta. Namun, utang seharusnya tak menjadi tabu dan biang masalah jika dikelola dan dimanfaatkan dengan bijak.

Indonesia sudah rapi dalam pencatatan utang luar negeri (ULN). Bahkan, Bank Indonesia (BI) sudah sangat hati-hati, dengan mensyaratkan harus melakukan lindung nilai (hedging) ULN swasta.

Isu soal utang luar negeri banyak disoroti akhir-akhir ini karena ULN pemerintah melonjak tajam. Pada era pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, ULN pemerintah meningkat signifikan menjadi 164,4 miliar dollar AS pada Mei 2017, dari 124 miliar dollar AS pada 2014. Artinya, dalam kurun 2,5 tahun, utang pemerintah melonjak 40,6 miliar dollar AS (123 persen). Angka ini jauh melebihi kenaikan utang pada era Susilo Bambang Yudhoyono periode II (2009-2014), yaitu 32,9 miliar dollar AS (36 persen).

Oleh karena itu, sangat wajar muncul sederet pertanyaan. Mengapa ULN pemerintah meningkat pesat? Apakah utang ini hanya untuk membiayai konsumsi karena pertumbuhan ekonomi stagnan pada kisaran 5 persen? Bagaimana risiko jangka panjangnya? Pasti ada alasan rasional di balik tingginya utang pemerintah sekarang. Berutang tak harus selalu dikonotasikan negatif, apalagi tujuannya untuk ekspansi ekonomi dan sebagai salah satu ramuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sedang lambat.

Sesungguhnya, dilihat dari total ULN (pemerintah, BI, swasta), kita tak perlu sangat reaktif, tetapi tetap awas. Komposisi ULN pemerintah dan swasta cukup berimbang, 49,3 dan 49,5 persen, sedangkan BI hanya 1,2 persen pada Mei 2017. Dilihat dari total ULN, peningkatannya masih tergolong dalam tahap wajar, yakni naik 40,3 miliar dollar AS atau 33 persen ketimbang era SBY periode II. Memang, ULN pemerintah naik signifikan, tetapi ULN swasta terkontrol dengan baik oleh BI, yaitu hanya naik 2 persen. ULN BI justru turun 78 persen (meski kontribusi utangnya sangat kecil). Sebagai perbandingan, kenaikan total ULN pada periode pemerintahan SBY-Boediono dibandingkan dengan periode I tercatat 120,5 miliar dollar AS atau melonjak 70 persen!

Kewaspadaan pemerintah terhadap ULN sangat jelas terlihat dari postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemerintah selalu berusaha menurunkan defisit keseimbangan primer (primary balance) secara disiplin dan konsisten. Keseimbangan primer menggambarkan kemampuan pemerintah membayar pokok dan bunga utang melalui pendapatan negara. Jika nilai keseimbangan primer negatif, pemerintah harus menerbitkan utang baru untuk membayar pokok dan bunga utang.

Pemerintah sadar betul, "gali lubang tutup lubang" tidaklah baik bagi keuangan negara. Artinya, untuk membayar utang dan bunganya harus dari pendapatan negara. Hal itu sangat jelas terlihat dalam tiga tahun terakhir ini. Defisit keseimbangan primer cenderung menurun dari 1,24 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2015 menjadi 1 persen tahun 2016 dan ditargetkan 0,79 persen tahun 2017.

Harus diakui, pada masa pemerintahan JKW-JK, tantangan perekonomian domestik makin berat, diwarnai dengan tingginya ketidakpastian perekonomian global. Tren pertumbuhan ekonomi dunia cenderung mengalami penurunan dan stagnan setelah krisis ekonomi global 2008. Pertumbuhan penduduk dunia cenderung terhambat dan menurun. Produktivitas tenaga kerja juga menurun. Proteksionisme perdagangan internasional makin ketat dan cenderung mengarah ke deglobalisasi.

Ketidakpastian kebijakan ekonomi dan politik setiap negara kian sulit diantisipasi. Sebagian besar prediksi cenderung meleset. Prediksi atau ekspektasi variabel makroekonomi sering direvisi ke bawah karena kesalahan asumsi dan ekspektasi.

Akibatnya, tren pertumbuhan ekonomi Indonesia juga cenderung menurun dan stagnan. Sesudah krisis ekonomi global 2008, perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh di atas 5,5 persen, dengan rata-rata pertumbuhan 6,1 persen selama periode 2010-2013. Namun sayangnya, pertumbuhan ekonomi ini menurun ke arah 5 persen selama tiga tahun terakhir (2014-2016).

Kondisi semakin tak mudah ketika konsumsi rumah tangga sebagai motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia berjalan di tempat atau stagnan. Dalam enam tahun terakhir (2011-2016), kontribusi pertumbuhan konsumsi rumah tangga di kisaran 2,8 persen. Sementara sumber pertumbuhan lain, seperti pengeluaran pemerintah dan perdagangan internasional (ekspor neto, atau ekspor dikurangi impor), sulit diharapkan sebagai motor pertumbuhan pada masa depan.

Satu-satunya harapan yang bisa mengubah wajah perekonomian Indonesia adalah investasi. Selama lebih dari lima dekade (sejak 1960), sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia didominasi konsumsi rumah tangga, baru diikuti investasi. Tampaknya Indonesia perlu berubah haluan untuk menggerakkan perekonomiannya. Investasi menjadi sumber alternatif memicu ekonomi domestik, baru diikuti kenaikan konsumsi secara signifikan.

Pengalaman perekonomian Indonesia ketika tumbuh sekitar 6 persen pada 2011-2012, peranan investasi dalam pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, sekitar 2,7-2,9 persen. Namun, sayangnya, empat tahun terakhir (2013-2016) saat pertumbuhan ekonomi menurun, kontribusi investasi anjlok ke 1,5 persen. Untuk mendorong investasi yang melempem, solusinya adalah memperbaiki infrastruktur secara masif dan konsisten. Jangan mimpi investasi akan naik signifikan ketika fasilitas infrastruktur Indonesia kurang memadai atau seadanya dibandingkan dengan negara-negara di kawasan regional.

Dilihat dari angka investasi asing langsung (FDI), sangat jelas Indonesia masih kalah bersaing dengan negara-negara Asia lain. Rata-rata FDI ke Indonesia hanya 26,6 miliar dollar AS periode 2011-2016, lebih rendah ketimbang Vietnam (29,6 miliar dollar AS), Malaysia (33,6 miliar dollar AS), India (34,0 miliar dollar AS).

Pemerintahan JKW-JK sangat peka dan menyadari bahwa pembangunan infrastruktur harus diperbaiki dengan segera dan tidak dapat ditunda lagi. Hal ini terlihat dari begitu banyaknya proyek-proyek infrastruktur yang sudah berhasil berjalan dan ditargetkan oleh pemerintah.

Infrastruktur melonjak 336 persen

Dalam tiga tahun terakhir (2015-2017), pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur naik signifikan Rp 305 triliun dibandingkan dengan periode pemerintahan sebelumnya. Diperkirakan sampai 2019 (akhir kepemimpinan Jokowi), pengeluaran pemerintah di bidang infrastruktur bisa Rp 1.871 triliun, melonjak dari Rp 656 triliun pada pemerintahan sebelumnya periode 2009-2014. Hal ini berarti pengeluaran infrastruktur naik sangat fantastis, sekitar Rp 1.215 triliun (336 persen) pada era pemerintahan JKW-JK.

Butuh biaya super besar untuk mendukung pembangunan infrastruktur di seluruh Indonesia. Idealnya, pembiayaan pembangunan infrastruktur dari kekuatan domestik, bukan dari ULN pemerintah atau swasta. Sayangnya, kekuatan dan kapasitas perekonomian domestik saat ini masih terbatas. Pada saat ini, modal dari perbankan nasional sulit diharapkan. Alasannya, pertama, likuiditas perbankan makin ketat. Rata-rata rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (LDR) meningkat tajam dari 84,9 persen periode 2010-2014 menjadi 89,2 persen periode 2015-2017. Kedua, perbankan harus melakukan konsolidasi karena terganggu kredit macet (NPL) yang naik ke 3,1 persen pada periode 2015-2017 dari 2,2 persen. Ketiga, transmisi moneter cenderung lambat. Dampak pengganda kredit terhadap pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 1,6 kali pada periode 2015-2017 atau setengahnya dibandingkan dengan periode 2010-2014, yaitu 3,3 kali.

Sementara dari pasar modal, kapitalisasi pasar cenderung stagnan dan hanya meningkat sedikit peranannya dalam perekonomian, yaitu 44,2 persen terhadap PDB pada periode 2015-2016 dari 43,7 persen periode 2010-2014. Pendalaman pasar saham Indonesia relatif sangat rendah di Asia. Rasio kapitalisasi pasar saham Indonesia terhadap PDB 45 persen. Singapura tertinggi (sekitar 156 persen), diikuti Malaysia 119 persen, Jepang 103 persen, Thailand 101 persen, Australia 93 persen, Korsel 86 persen, Filipina 77 persen, India 69 persen, dan China 58 persen.

Tambahan ULN pemerintah memang sangat diperlukan untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang jauh tertinggal. Pemerintah tak punya kemewahan pilihan dalam membiayai pembangunan infrastruktur. Akan lebih naif kalau pemerintah berdiam denganstatus quo, pasrah dengan keadaan dan membiarkan infrastruktur seadanya. Risiko terpaksa harus diambil pemerintah, tetapi kita tak perlu khawatir berlebihan dan menjadi tak konstruktif. Yang penting risikonya terukur dan dapat dimitigasi dengan baik, tak seperti sebelum krisis ekonomi dan moneter 1997/1998. Rasio ULN Indonesia terhadap PDB tercatat 34,8 persen pada Mei 2017, masih dalam ambang batas aman dan masih jauh di bawah batas waspada 51 persen. Rasio utang Indonesia ini jauh lebih baik dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia (69 persen) dan Singapura (435 persen).

Dilihat dari rasio cadangan devisa terhadap total ULN, secara relatif masih aman, yaitu 37 persen pada Mei 2017, hanya sedikit lebih rendah ketimbang periode akhir kepemimpinan SBY-Boediono tahun 2014, yaitu 38 persen.

Pada saat ini, kita boleh-boleh saja mengandalkan ULN pemerintah untuk pembiayaan pembangunan. Namun, tak boleh alpa, untuk tetap mencari solusi pembiayaan yang mengandalkan kekuatan domestik. Ada beberapa kemungkinan pembiayaan yang bisa dieksplorasi: (1) real estate investment trust, (2) kemudahan pembiayaan untuk pengusaha ritel, misalnya minimum Rp 25-30 juta, (3) sindikasi dan partisipasi risiko untuk pembiayaan bersifat inklusif sehingga tidak hanya pemodal besar yang berperan, dan (4) penerbitan obligasi dengan underlying-nya infrastruktur dan properti.

Semoga pembangunan infrastruktur yang dicanangkan pemerintahan JKW-JK segera terlihat hasil positifnya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia kian kuat dan berkesinambungan sehingga mampu menyerap kenaikan tenaga kerja setiap tahun. Jurnalis ternama AS, Mignon McLaughlin, mengatakan, "Orang yang paling tak bahagia ialah mereka yang paling takut pada perubahan." Indonesia harus berubah untuk menuju masa kejayaannya.

ANTON HENDRANATA

Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia Tbk

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Utang: Tabu Vs Solusi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger