Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 25 Juli 2017

Kemiskinan Anak (ISWADI)

Badan Pusat Statistik mengumumkan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2017 sebanyak 27,77 juta orang (10,64 persen), bertambah dibandingkan dengan kondisi September 2016 yang sebesar 27,76 juta orang (10,70 persen). Dari hampir 28 juta jiwa penduduk miskin pada Maret 2016 itu, sebanyak 40,22 persen (11,26 juta jiwa) adalah anak-anak.

Penurunan persentase penduduk miskin pada 2017 ini kurang berkualitas. Selain jumlah absolut penduduk miskin bertambah, Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan juga meningkat. Indeks Kedalaman Kemiskinan meningkat dari 1,74 menjadi 1,83, menggambarkan kondisi pengeluaran per kapita penduduk yang tergolong miskin semakin jauh di bawah garis kemiskinan. Demikian pula dengan Indeks Keparahan Kemiskinan yang juga meningkat dari 0,44 menjadi 0,48. Artinya kesenjangan di antara penduduk miskin semakin lebar.

Jika dianalogikan dengan pola pergerakan jumlah dan persentase total penduduk miskin, secara kasar jumlah dan persentase anak miskin pada 2017 tak terlalu jauh berbeda dengan kondisi pada Maret 2016. Artinya persentase anak miskin pada kondisi pada Maret 2017 tidak akan jauh dari sekitar 40 persen total penduduk miskin.

Multidimensi

Kemiskinan anak merupakan masalah multidimensional karena banyak faktor penyebab anak menjadi miskin. Kondisi rumah tangga tempat seorang anak tinggal merupakan penentu utama kemiskinan anak, baik dilihat dari pendekatan moneter maupun nonmoneter. Karakteristik yang berpengaruh pada kemiskinan anak antara lain adalah jenis kelamin dan pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, serta jumlah anggota rumah tangga. Penelitian menunjukkan anak miskin lebih banyak ditemukan dalam rumah tangga yang dikepalai perempuan, jumlah anggota rumah tangga lebih dari tujuh orang, dan kepala rumah tangga yang berpendidikan rendah.

Deklarasi Geneva tentang Hak-hak Anak pada 1924 menyatakan bahwa anak harus diberi sarana yang diperlukan untuk perkembangannya. Selain itu, anak juga harus dilindungi, diasuh, dan diperlakukan sesuai kebutuhannya. Deklarasi Hak-hak Anak pada November 1959 menyebutkan prinsip-prinsip terkait hak-hak anak yang harus dipenuhi.

Prinsip-prinsip itu antara lain anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, jaminan sosial, dan pendidikan, serta anak harus dilindungi dari segala bentuk eksploitasi dan diskriminasi. Deklarasi Hak-hak Anak ini menjadi dasar Konvensi Hak-hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 20 November 1989.

Anak miskin secara moneter adalah anak berusia 0-17 tahun yang tinggal di rumah tangga miskin, yaitu rumah tangga dengan rata-rata pengeluaran per kapita per bulan berada di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan anak moneter dihitung dengan menggunakan metode yang sama dengan penghitungan kemiskinan penduduk secara umum. Jika nilai rata-rata pengeluaran per kapita per bulan suatu rumah tangga berada di bawah garis kemiskinan, seluruh anggota rumah tangga merupakan penduduk miskin. Jika di dalam rumah tangga itu terdapat anak usia 0-17 tahun, anak itu dikategorikan anak miskin.

Unicef mengembangkan multiple overlapping deprivation analysis (MODA) yang merupakan suatu ukuran komprehensif tingkat terampasnya (deprivasi) hak-hak dasar anak atau tak terpenuhinya hak-hak dasar anak secara multidimensi. MODA mengadopsi definisi holistik kesejahteraan anak, memberikan penekanan pada pemenuhan akses terhadap berbagai kebutuhan barang dan jasa yang sangat penting bagi kelangsungan hidup dan perkembangan anak.

Dalam konsep yang dibangun Unicef, anak yang terdeprivasi adalah anak-anak yang hidup dalam kemiskinan sehingga terampas hak-haknya secara material, spiritual, dan emosional dalam memenuhi kebutuhan untuk bertahan hidup dan berkembang, tidak dapat mencapai potensi diri atau berpartisipasi secara penuh dan setara dalam lingkup sosial.

MODA membedakan konsep deprivasi hak-hak dasar anak untuk anak umur 0-4 tahun dan anak umur 5-17 tahun. Untuk anak usia 0-4 tahun, hak dasar seorang  anak terampas jika anak itu tak mendapat ASI hingga umur 23 bulan, tidak mendapat gizi seimbang, tidak mendapat imunisasi DPT, dan kelahirannya tidak dibantu oleh tenaga kesehatan terlatih.

Selain itu, anak dalam kelompok umur 0-4 tahun juga dianggap terampas hak-hak dasarnya jika tidak memiliki akses terhadap sumber air yang berkualitas, jauh dari sumber air, tidak mempunyai akses terhadap sanitasi yang berkualitas, tinggal di ruang tempat tinggal yang terlalu sempit, serta atap dan lantai rumah yang tidak layak, serta anak mendapat perlakuan kekerasan dalam rumah tangga.

Sementara itu, untuk anak umur 5-17 tahun, hak dasar anak terampas jika anak tidak mengikuti program wajib belajar, tidak memiliki akses terhadap fasilitas pencarian informasi, tidak memiliki akses terhadap air yang berkualitas, tinggal di tempat tinggal dengan ruang yang terlalu sempit, materi lantai dan atap yang tidak layak, serta mendapat kekerasan dalam rumah tangga.

Indikator hak dasar terampas

Di Indonesia, BPS bekerja sama dengan Unicef melakukan penyesuaian indikator dalam mengidentifikasi anak yang terampas hak-hak dasarnya. Penyesuaian ini lumrah dilakukan mengikuti kondisi sosial masyarakat dan ketersediaan data di sebuah negara. BPS dan Unicef berhasil membangun indikator yang menggambarkan tak terpenuhinya hak anak.

Seorang anak dianggap tidak terpenuhi hak dasarnya jika luas lantai tempat tinggal per kapita kurang dari 7,3 meter persegi, tak memiliki sanitasi layak, tidak memiliki akses sumber air minum layak, rumah tangga memasak dengan menggunakan bahan bakar alami (kayu bakar, arang, dan sebagainya), tak diberikan ASI eksklusif atau makanan tambahan, konsumsi kalori kurang dari nilai minimum dietary energy requirement (MDER), proporsi lemak pada makanan yang dikonsumsi lebih dari 35 persen, tak bersekolah sesuai umur, tak memiliki akta kelahiran, menjadi pekerja anak, dan pernah atau sedang berstatus kawin.

Hasil lebih rinci mengenai indikator-indikator kemiskinan anak dan deprivasi hak-hak dasar anak-yang pada 2015 berjumlah 83,99 juta jiwa-akan segera dirilis pada akhir Juli 2017.

Sebagai gambaran awal, pada 2015, sebanyak 7,79 persen anak yang lahir masih ditolong oleh dukun beranak atau paraji. Kasus seperti ini belum tentu diakibatkan oleh tidak adanya akses terhadap tenaga kesehatan terlatih atau fasilitas kesehatan. Untuk beberapa daerah, kelahiran tak ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih dan tidak di fasilitas kesehatan didorong oleh kepercayaan dan adat istiadat. Hal ini menunjukkan edukasi dan sosialisasi proses melahirkan yang aman masih menjadi pekerjaan rumahkementerian dan lembaga yang bertanggung jawab. Selain itu, merangkul praktisi penolong kelahiran tradisional beserta generasinya dan menjadikan mereka tenaga kesehatan yang terlatih mungkin dapat menjadi sebuah alternatif. 

Sebanyak 95,04 persen bayi bawah dua tahun pernah diberi ASI. Namun, rata-rata lama memperoleh ASI saja 4,03 bulan dan rata-rata pemberian ASI dengan makanan pendamping selama 6,23 bulan. Jika digabungkan-lagi-lagi secara kasar saja-rata-rata pemberian ASI kepada bayi bawah dua tahun masih jauh dari 23 bulan. Isu ini seharusnya menjadi perhatian khusus karena perkembangan anak pada usia itu sangat berpengaruh pada daya tahan fisik saat dewasa serta perkembangan otak seorang anak.

Sebanyak 1,53 persen anak perempuan usia 10-17 tahun berstatus kawin dan 0,11 persen berstatus cerai. Padahal, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan, orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak. UU ini menyiratkan usia perkawinan yang dianjurkan adalah minimal 18 tahun. Lagi-lagi PR penanggung jawab terkait untuk melakukan edukasi yang lebih gencar kepada orangtua yang merupakan filter utama pencegahan perkawinan anak.

Penting pula untuk segera ditindaklanjuti, pada 2015, sebanyak 5,99 persen dari 36,8 juta orang penduduk usia 10-17 tahun di Indonesia tercatat sebagai pekerja anak. Lebih memprihatinkan, sebanyak 204.530 orang masih berumur 10-12 tahun dan 356.490 berumur 13-14 tahun.

Dengan memperhatikan komposisi usia penduduk miskin yang hampir setengahnya anak-anak, pemerintah dan semua pihak yang terkait selayaknya memberikan prioritas lebih kepada rumah tangga miskin yang memiliki anggota rumah tangga usia anak dalam program pengurangan kemiskinan.

Lebih lanjut, kebijakan untuk memberantas kemiskinan anak hendaknya diformulasikan lebih komprehensif, sistematis, dan inklusif. Kebijakan terkait pengurangan kemiskinan anak jangan hanya difokuskan pada pemenuhan kebutuhan dasar, tetapi juga harus bersandingan dengan pemenuhan berbagai aspek, terutama pemenuhan hak-hak dasar anak nonmoneter.

Terakhir, analisis BPS dan Unicef baru menyentuh anak-anak dalam rumah tangga. Riset lebih lanjut tentang isu kemiskinan anak yang tinggal di luar rumah tangga, seperti anak jalanan dan anak yang tinggal di panti asuhan, sangat dibutuhkan. Semoga peringatan Hari Anak Nasional 2017 mendorong pemerintah dan semua pihak untuk lebih memperhatikan kondisi anak miskin dan mulai menyiapkan kebijakan yang lebih tepat sasaran.

ISWADI

Kepala Subdirektorat Analisis Statistik, Badan Pusat Statistik

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Kemiskinan Anak".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger