Perppu yang ditandatangani Presiden Joko Widodo ini didukung banyak kalangan, seperti Nahdlatul Ulama dan Persatuan Islam. Seperti dijelaskan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, perppu ini hadir karena pemerintah menilai UU No 17/2013 tentang ormas tidak memadai sebagai landasan hukum untuk mencegah kehadiran ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 (Kompas, 13/7/17).
Asbabun nuzul Perppu No 2/2017 terang sekali adalah mencuatnya gejala kemunculan ormas yang menampik Pancasila. Gejala penolakan terhadap Pancasila sesungguhnya bisa dilihat dari dua kemungkinan. Pertama, alasan teologis. Pancasila dianggap bertentangan dengan agama (Islam) sehingga semua aturan perundang-undangan yang menjadi turunannya otomatis juga bertolak belakang dengan wahyu Tuhan (thaghut). Pancasila hanya titik antara untuk pada akhirnya ketika situasi telah memungkinkan harus diganti ideologi yang berlandaskan agama berbasis pada Al Quran dan Hadis.
Atau meminjam terminologi mereka, Indonesia sekarang berada pada fase Makiyah (penanaman nilai-nilai tauhid) dan kelak lewat jihad fi sabilillah harus bergeser pada tahap Madinah, di mana "ideologi Islam" itu diartikulasikan dalam wujud undang-undang dan perda syariah.
Kita tak boleh menutup mata, tak sedikit umat Islam yang berpikiran seperti ini dengan segala tipologinya tentu saja. Karena alasannya teologis, sering kali perdebatannya tak lagi rasional, tetapi emosional dan cenderung tertutup, apologetis, dan ahistoris. Merasa selesai hanya dengan mengutip secara tekstual ayat-ayat Al Quran tanpa perlu diperiksa kembali spirit makna dan latar kesejarahannya, apalagi dikontekstualisasikan dengan dinamika persoalan kemanusiaan sekarang.
Bagi kelompok ini, kitab suci tidak hanya mempercakapkan aspek ritus, tetapi juga menating segala urusan, termasuk ketatanegaraan. Repotnya, pemahaman negara yang ditawarkan lebih pada formulasi negara zaman entah, dengan bahasa politik agama yang tak dipahami nalar sehat, kecuali sekadar mengandalkan hujah keagamaan arkaik, tergesa-gesa, tak rasional.
Maka, misalnya alih-alih menawarkan politik inklusif dengan semangat membangun persekutuan nondiskriminatif, yang diajukan malah politik skolastik, di mana dunia dibelah berdasarkan identitas kuno disparitas keagamaan darul Islam dan darul harbi. Alih-alih menguatkan demokrasi deliberatif membangun ruang publik yang mengandaikan segala hal yang menyangkut urusan khalayak didiskusikan secara terbuka, malah sejak awal sebelum percakapan itu dilangsungkan sudah yakin pada kesimpulan kekeliruan orang lain.
Tragisnya lagi, untuk mengalahkan lawan-lawan politiknya sekaligus mengokohkan kawan-kawannya yang dilakukan adalah teror metafisis dengan menganggap yang berbeda pandangan sebagai ahli neraka! Stigma kafir, munafik, sesat, dianggap sebagai sesuatu yang absah diangkut dalam percaturan ruang publik (takfiri).
Puritanisme kira-kira bekerja dengan alam pikiran seperti itu. Cikal bakal radikalisme dilandaskan pada sumbu pendek seperti itu. Mereka bisa bertahan tidak hanya karena alasan teologis seperti di atas, tetapi juga secara finansial didukung kekuatan wahabisme internasional dan juga kelompok kepentingan yang butuh dukungan politik mereka.
Apatisme
Kelompok kedua yang menolak Pancasila bukan karena alasan teologi, melainkan lebih melihat kenyataan seringnya takdir Pancasila hanya dijadikan alat elite penguasa untuk tujuan partisan, pragmatis, dan nafsu koruptifnya. Sepanjang 35 tahun negara Orde Baru berkuasa, Pancasila dimonopoli penafsirannya hanya untuk melayani kepentingan kekuasaan.
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) menjadi mimbar indoktrinasi Pancasila kepada segenap warga, bukan memberikan pencerahan, apalagi melakukan ijtihad mencari kemungkinan hadirnya kehidupan yang lebih sejahtera, melainkan lebih pada upaya mengoperasikan ketakutan kepada warga apabila melakukan tindakan penafsiran Pancasila yang berbeda dengan penguasa.
Sepanjang kekuasaan berada di tangan Jenderal Besar Soeharto dan aparatusnya, kesaktian Pancasila hanya diletakkan sebatas retorika. Dinarasikan secara sepihak tanpa sedikit pun ada ikhtiar menurunkan nilai-nilai Pancasila itu dalam tindakan, menjadi sebuah praksis. Maka, tidak aneh seandainya kita mengalami kesulitan mencari keteladanan dari pemimpin yang betul-betul dapat dijadikan rujukan sebagai manusia Pancasilais.
Kelompok ini secara ontologis sebenarnya tidak menampik Pancasila, tetapi meminta bukti bagaimana Pancasila itu menjadi bagian penting dari pengalaman masyarakat, terutama para penyelenggara negara yang harus terlebih dulu memberikan contoh.
Bagaimana sila pertama Tuhan Yang Maha Esa tidak berhenti sebatas keyakinan, tetapi nilai-nilai ketuhanan itu kuasa mencegah seseorang dari korupsi; sila kedua, peneguhan keniscayaan memuliakan kemanusiaan dan keadaban; sila ketiga, kesungguhan persatuan menjadi halaman muka keindonesiaan dengan setiap kita masuk dalam napas pengalaman kemajemukan secara terbuka; sila keempat, spirit bernegara yang diacukan pada semangat kerakyatan dengan menjunjung tinggi penyelesaian kebangsaan dengan mendahulukan hikmah dan sikap bijaksana; sila kelima, meminta keseriusan negara hadir mendistribusikan rasa keadilan bagi segenap masyarakat.
Bagi kelompok ini, tidak bisa tidak hanya bisa dijawab lewat sikap kesungguhan para penyelenggara negara dalam melaksanakan Pancasila. Jika masih tidak serius, tidak tertutup kemungkinan apatisme itu pada akhirnya berujung pada pencarian ideologi lain di luar Pancasila, termasuk jatuh pada pesona godaan politik berbasis agama.
Sudah final
Kita beruntung memiliki Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan terbesar di Indonesia yang lahir jauh sebelum Indonesia merdeka, yang sikap politiknya jelas menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang final. La raiba fih. Kedua ormas ini tidak terpikat fantasi politik islamisme yang menjanjikan hidup agamis dengan langkah tidak jelas dan cara ugal-ugalan.
Musim semi Arab yang telah merontokkan negara-negara di kawasan Timur Tengah salah satu pemicunya karena hilangnya jangkar Islam kultural, senyapnya gema keberagamaan moderat, raibnya "Pancasila" yang menjadi payung bersama. Semua tampil memanggungkan islamisme yang penuh coba-coba dan sekalinya diujicobakan seperti dilakukan Ikhwanul Muslimin di Mesir, yang terjadi malah cara bernegara amatiran.
Kedua ormas itu sudah sampai maqam marifat dalam berpolitik. Sebab, untuk menyatukan keragaman, dengan apalagi, kecuali Pancasila. Tanpa Pancasila, sudah dari dulu Indonesia yang majemuk itu berantakan tak karuan. Pancasila sebagai titik temu (kalimatun sawa) rumah besar keindonesiaan sekaligus "agama sipil" (Jean-Jacques Rosseau, Talcott Parsons, Edward Shils, dan Robert Bellah) tempat di mana masyarakat mengolah adonan kearifannya. Di bawah naungan Pancasila, semua warga memiliki kedudukan sama. Dengan Pancasila juga, kita mampu berkelit dari sekapan negara agama dan menghindar dari sandera negara sekuler.
ASEP SALAHUDIN
Wakil Rektor Bidang Akademik IAILM Tasikmalaya; Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar