Janji Xi itu disampaikan saat mengunjungi Hongkong, Kamis lalu, dalam rangkaian peringatan ke-20 kembalinya Hongkong ke pangkuan China dari Inggris. Peringatan akan dilaksanakan pada hari Sabtu, 1 Juli 2017.
Inggris berkuasa atas Hongkong sejak tahun 1898 dan tepat pada 30 Juni 1997, Inggris mengembalikan kedaulatan atas Pulau Hongkong, Kowloon, dan kawasan New Territories kepada China. Tanggal itu menandai akhir masa kolonialisme Inggris atas kawasan tersebut.
Pada waktu itu, banyak yang menduga-duga akan masa depan Hongkong setelah berada di bawah kedaulatan China. Mereka yang optimistis menyatakan, Hongkong tidak akan berubah. Sebaliknya, mereka yang pesimistis tentu berpendapat berbeda: Hongkong di bawah China akan berubah, akan mengikuti sistem politik dan ekonomi yang diberlakukan di China daratan.
Mereka yang berpandangan dan berkeyakinan optimistis menganut kata-kata bijak China, "tidak akan membunuh angsa yang bertelur emas." Memang, Hongkong di bawah kolonialisme Inggris, ibarat kata "angsa yang bertelur emas". Hongkong bisa dikatakan menjadi semacam mesin uang; pembangunan pesat dan makmur. Apakah China akan "menyembelih" angsa bertelur emas itu?
Pemimpin China, pada waktu itu menyadari betul apa arti Hongkong, terutama dalam menyongsong zaman baru, dan kebutuhan China dalam membangun negeri, serta impian China untuk menjadi kekuatan ekonomi besar dalam percaturan dunia. Karena itu, Beijing pun pada akhirnya memberlakukan kebijakan "satu negara, dua sistem". Kebijakan ini harus dilakukan karena Hongkong adalah pusat perdagangan bisnis dan keuangan dunia, yang sudah jadi, bahkan berkembang.
Melihat Hongkong, pada waktu itu, tidak ada yang ragu akan posisi serta perannya sebagai pusat perekonomian di Asia. Bahkan, bisa dikatakan, jaringan perdagangan, bisnis, dan keuangan Hongkong sudah menyatu dengan mekanisme perdagangan, bisnis, dan keuangan dunia.
Kini setelah 20 tahun, setelah China benar-benar menjadi kekuatan ekonomi global, peran dan posisi Hongkong tetap penting, bahkan bertambah penting. Karena itu, Xi kembali menegaskan janjinya untuk tetap memberlakukan kebijakan "satu negara, dua sistem". Meskipun masih belum berimbang. Hal itu karena kebebasan politik dan hak-hak politik belum sepenuhnya bisa dinikmati warga Hongkong. Inilah yang mendorong maraknya gerakan prodemokrasi di Hongkong, yang mungkin membuat Beijing gerah, tetapi tidak bisa mengabaikan begitu saja.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Janji Xi pada Hongkong".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar