Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 07 Agustus 2017

OPINI: Berbagi Rezeki, Menabur Kebajikan (AHMAD SYAFII MAARIF)

Tuan dan puan tidak perlu terlalu dirisaukan oleh pertemuan dua mantan jenderal yang lagi ancang-ancang untuk Pemilihan Presiden 2019, sekalipun mereka sama-sama punya beban masa lampau.

Juga jangan panik menonton kelakuan politisi yang tunamartabat dan tunaadab, yang biasa nongol di media. Juga tak perlu gelisah mengikuti tabiat golongan yang mengaku beragama, tetapi kelakuannya sering mengafirkan pihak-pihak yang tidak sepaham, karena mereka mau memonopoli surga sendirian.

Abaikan semua itu, sebab pengalaman empirik di bawah ini adalah sebuah berita baik,sangat menyentuh kalbu mereka yang masih waras dan sekaligus memberi sinar terang kepada masa depan bangsa ini. Masih ada orang baik yang sangat peduli nasib sesama untuk berbagi rezeki dan menabur kebajikan, khususnya di dunia pendidikan.

Jika saya sebut orang baik, di dalamnya belum tentu termasuk diri saya. Namun, pengalaman pribadi selama beberapa tahun ini, sering kali orang-orang baik itu menemui saya, apakah mereka itu kiai, pastor, mantan kombatan, pendeta, biksu, jenderal, pengusaha, intelektual, pekerja sosial, aktivis, pegiat pendidikan, ataupun kawulo alit.

Sebagian dari mereka tak mau menonjolkan diri, tak hirau dengan publikasi, tetapi amal-bakti mereka langsung dirasakan masyarakat banyak di tempat mereka berkiprah. Jika diamati secara cermat, sosok-sosok manusia baik ini pasti dapat dijumpai dalam berbagai subkultur, etnisitas, suku, dan profesi. Tak jarang di antara mereka, orang-orang biasa yang telah berbuat luar bisa untuk kepentingan pendidikan, sosial, dan kemanusiaan. Fakta semacam ini tentu melegakan dan menghibur kita, di tengah moral bangsa yang masih labil.

Demikianlah, pada 21 Juli dan 28-29 Juli 2017, untuk sekian kali, saya mendapat kesempatan bertemu dan berbincang dengan orang-orang baik itu. Pertama, pengalaman di Desa Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur, daerah asal para kombatan yang mengguncang jagat raya dengan Bom Bali-nya pada 12 Oktober 2002.

Tentang kisah ini telah pernah saya tuangkan di media massa. Pengalaman kedua pada 28-29 Juli 2017 di Surabaya bersama pimpinan Yayasan Indonesia Sejahtera Barokah yang menyantuni ribuan anak didik miskin dan para gurunya di kota itu. Mereka belum tersentuh tangan negara. Bagi saya, pengalaman ini sungguh sangat berbekas. Yayasan tersebut berdiri pada 2 Mei 2001, dipimpin seorang pendidik, Yasin Wijaya, alumnus sebuah universitas di Amerika Serikat.

Diawali dengan kedatangan seorang pegiat pendidikan dari Jawa Timur, beberapa bulan lalu, bernama Muhammad Supriyanto, saya diundang untuk hadir di gedung Jatim Expo bersama sekitar 9.000 murid sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah yang termajinalkan selama ini.

Supriyanto bergerak dari kota ke kota hanya dengan sepeda motor, termasuk beberapa kali menemui saya di Yogyakarta. Entah sudah berapa ribu kilometer dia berada di atas sadel motor yang setia itu. Para pengusaha sangat percaya kepada sosok pegiat pendidikan yang satu ini.

Karena anak didik itu diantar orangtuanya yang juga sekitar 9.000 orang, gedung Jatim Expo tak mampu menampungnya. Terpaksa, acara diselenggarakan pagi dan siang pada 29 Juli. Bayangkan, gedung Expo hari itu dipadati 18.000 manusia pada pagi dan siang. Pada hari itu, semua siswa diberi sepatu sesuai jumlah mereka oleh seorang pengusaha perhiasan. Kemudian beberapa sekolah miskin yang tidak mempunyai bangku dan meja tulis juga telah pula disiapkan kebutuhan meja dan bangkunya oleh seorang pengusaha mebel.

Dan jangan lupa, ada 570 guru dari 62 sekolah binaan yayasan yang selama ini berpenghasilan Rp 300.000 hingga Rp 500.000 per bulan, tetapi sekarang disubsidi yayasan sekitar Rp 900.000 per bulan per orang. Belum lagi penyediaan susu dan buah-buahan yang juga digratiskan. Menurut informasi yang saya dapatkan, di Surabaya saja, terdapat 300 sekolah miskin.

Bersama ubah keadaan

Pertemuan pada 29 Juli itu yang ketiga kali diselenggarakan sejak tahun ajaran 2015/2016. Semula hanya untuk enam sekolah, kemudian bertambah menjadi 27 sekolah, tahun ini membengkak menjadi 62 sekolah. Tahun depan tentu bertambah jumlah sekolah miskin yang harus disantuni.

Tidak cuma disantuni dengan materi, tetapi juga diberi pengarahan dan pelatihan disiplin demi meningkatkan mutu pendidikan. Pada 1 Agustus 2017,saya menerima pesan singkat dari Yasin: "Tentu mereka sangat senang mendapatkan sepatu dari kami. Harga diri dan jati diri anak perlu terus dibangun dan diberikan semangat. Supaya mereka bisamemiliki hasrat, cita-cita, bukan menerima kemiskinan sebagai belenggu kehidupan". Saya langsung menjawab: "Dahsyat, jika kebajikan tersebar secara masif, masa depan bangsa ini akan cerah, seperti terang Surabaya, disinari Yayasan Indonesia Sejahtera Barokah. Tabik buat teman-teman".

Kepada pengusaha perhiasan yang memberikan sepatu kepada 9.000 siswa itu, saya tanyakan jumlah pengusaha di kota Surabaya. Dijawab, tak kurang dari 100, tetapi yang punya kepedulian dan kepekaan untuk membantu rakyat miskin, terutama untuk kepentingan pendidikan, masih sangat terbatas jumlahnya.

Dengan uluran segelintir pengusaha saja, sudah puluhan sekolah dapat diberdayakan dan ditingkatkan mutunya. Apalagi jika para pengusaha di sejumlah wilayah Indonesia bersedia berbuat serupa, tentu wajah pendidikan nasional kita akan berubah, dari suasana buram ke suasana cerah. Bayangkan, di Surabaya saja, dengan wali kota yang mendunia, masih banyak sekolah menjerit karena serba kekurangan dan penderitaan. Jangan ditanya lagi situasi persekolahan di Indonesia bagian timur, keadaannya pasti jauh lebih buruk dan muram.

Akhirnya, kita semua berharap agar para pengusaha yang telah menguasai aset besar ekonomi bangsa Indonesia mau mencontoh mitra mereka dari Surabaya. Mengandalkan negara semata sesuai dengan perintah Pembukaan UUD 1945 untuk "mencerdaskan kehidupan bangsa", pengalaman sejarah selama 72 tahun merdeka jauh dari harapan. Kemampuan negara untuk memajukan pendidikan juga terbatas dan bahkan sering benar salah arah.

AHMAD SYAFII MAARIF, MANTAN KETUA UMUM PP MUHAMMADIYAH

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Berbagi Rezeki, Menabur Kebajikan"

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger