Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 18 Agustus 2017

Pekik Politik Kemerdekaan (ASEP SALAHUDIN)

Tentu saja kemerdekaan itu bukan sekadar balap karung, panjat pinang, atau seberapa semangat kita menancapkan umbul-umbul  di sepanjang jalan dan mengibarkan Sang Saka di halaman rumah.

Kemerdekaan adalah soal sikap mental mencintai Tanah Air sepenuh hati, yang kemudian diartikulasikan dalam wujud perbuatan baik untuk sesama dan bagi semua. Kemerdekaan sebagai proses "menjadi" , bukan nafsu "memiliki".

Usia  72 tahun seharusnya membuat kita sebagai bangsa semakin dewasa dalam segenap hal. Politiknya menemukan kedaulatan, ekonominya kian berdikari, dan kebudayaannya melambangkan kepribadian jelas. Justru kemerdekaan diperingati setiap tahun tujuan pokoknya dalam rangka melakukan refleksi tentang perjalanan bangsa agar  kemerdekaan tidak berhenti sebatas gempita seremonial, tapi benar-benar menyentuh dimensinya yang substansial.

 Segenap penduduk masih tampak semangat merayakan Agustusan, mulai tingkat RT sampai Istana Negara. Ini modal kultural sekaligus kapital politik bagi para pemangku kebijakan agar lebih bersemangat lagi mengelola pemerintahan secara profesional, akuntabel, dan transparan. Kalau kesadaran-kesadaran ini menghunjam dalam palung jiwa, tidak akan ada cerita lagi elite politik melakukan amal  keji korupsi dan mengemplang anggaran.

Trajektori pemerintahan Jokowi yang mengusung tema "revolusi mental" sudah benar, tinggal bagaimana mengimplementasikannya sehingga persoalan moral itu tidak  berhenti pada wilayah personal, tapi benar-benar terpantulkan dalam kehidupan sosial.  Kalau Bung Karno menyebut  ihwal  revolusi yang belum selesai, atau Tan Malaka mengimajinasikan merdeka 100 persen, maka maknanya adalah revolusi yang berkaitan dengan imperatif  moral itu.

 Dan, harus diakui moralitas inilah yang absen sekian lama dalam aras kehidupan kita. Secara statistik kita adalah masyarakat beragama, bahkan nyaris tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya kaum ateis, malah sejak dalam buku dan pikiran. Tidak cukup di sana Pancasila sebagai ideologi negara dengan terang mencantumkan sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa", tapi sayang nilai-nilai ketuhanan ini tidak pernah dikonversikan dalam wujud moralitas.

Maka, sering kali keberagamaan  menampilkan wajah paradoks. Keagamaan penuh ambiguitas.  Agama mengharamkan kekerasan, tapi tiba-tiba atas kesalahan yang belum pasti, seseorang dibakar, tragisnya lagi dilakukan selepas keluar dari  sebuah rumah ibadah. Dengan mudah juga stigma kafir dan sesat dilemparkan kepada mereka yang tak sama haluan keyakinan. Fatwa diobral murah demi menuntaskan hasrat kekuasaan, tak peduli efeknya hubungan antarmasyarakat jadi saling curiga, dendam kesumat meruyak, dan kebencian jadi bahasa keseharian.

Manusia pergerakan

 Kemerdekaan sebenarnya momen paling tepat untuk belajar pada manusia pergerakan dan leluhur kita pada umumnya. Bagaimana mereka dengan ikhlas tidak saja mengorbankan pikiran, harta, bahkan juga nyawanya. Pilihannya hanya dua: "merdeka atau mati". Kemerdekaan sebagai mimpi bersama dan kematian ketika  menghampiri maka hal ini pun disikapi sebagai bentuk kesyahidan, kematian sebagai martir untuk sesuatu yang agung.

 Di titik ini, sejarah meriwayatkan   Tan Malaka yang separuh hidupnya dihabiskan di luar negeri sebagai target utama kolonial; Bung Karno yang keluar masuk penjara tapi tidak pernah letih, apalagi kapok menyuarakan keinginan terdalam massanya; Hatta yang telaten berpikir mencari jalan keluar dari sekapan kolonial tanpa kompromi sambil membina hubungan dengan masyarakatnya; Syahrir yang meninggalkan bangku kuliah di Belanda dan kemudian melemparkan dirinya secara total dalam pergolakan bangsanya yang belum tahu kapan akan berakhir.

 Boven Digoel, Ende, Cape Town Afrika, Sukamiskin, Cipinang, dan seterusnya adalah tempat-tempat yang pada awalnya sangat menakutkan, tetapi sekaligus menyimpan hikmah tersembunyi sebagai bentuk pembaptisan kepahlawanan mereka. Rakyat seolah mendapatkan rujukan tentang profil manusia Indonesia yang telah merelakan tubuh dan jiwa untuk bangsanya.

 Juga jangan diremehkan peran besar kaum penyair. Dengan ketajaman penanya mereka merekam detak napas sekaligus cita-cita terdalam lingkungan sosialnya. Bahkan, kesadaran kaum belia dalam peristiwa Sumpah Pemuda (1928) juga dirumuskan dalam langgam puisi. Sebuah sumpah yang menjadi karpet merah tahun 1945, ketika Soekarno dan Hatta atas nama seluruh rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.

Sumpah Pemuda melambangkan  pikiran yang tajam, mendalam, visioner, dan luhur. Sumpah yang sama sekali tidak dijangkarkan di atas sentimen etnik, agama, atau hal yang berjangka pendek. Perbedaan agama dan suku mampu dilucuti untuk memburu sesuatu yang sesungguhnya masih mengendap dalam bayangan: Indonesia.

 Indonesia sebagai istilah etnografis tentu sudah dipahami walaupun masih lamat terdengar. Indonesia secara geografis terbentang sepanjang Khatulistiwa nyata dikuasai Hindia Belanda dan hasil kekayaannya diangkut ke negerinya, dan target utama selanjutnya adalah  Indonesia politis. Indonesia politis inilah yang harus direbut dan hanya dimungkinkan melalui pintu gerbang kemerdekaan.

 Chairil Anwar adalah salah satu penyair terkuat yang telah merasuk  dalam api mimpi kemerdekaan. Maka, tidak saja merasa punya kewajiban, dalam "Karawang-Bekasi", "Menjaga Bung Karno/menjaga Bung Hatta/menjaga Bung Syahrir", juga jiwanya terbang terus mencari kemungkinan demi kemungkinan kemenangan bangsanya sekaligus terjaga di tapal batas impian dan pernyataan.

Kemunduran

Sudah  72 tahun usia kemerdekaan.  Untuk ukuran manusia, usia ini mencerminkan sosok yang telah makan asam garam. Masa kanak-kanak yang telah selesai,  muda yang dilewati, fase tua yang sedang dijalani nyaris sedang menunggu Tuhan menarik ajalnya dan untuk sebagian orang sering kembali seperti anak-anak lagi lengkap dengan sifat pikun dan lupanya.  Metafor ini pada titik tertentu nyaris beririsan dengan tubuh keindonesiaan.

 Hari ini kita saksikan tidak sedikit manusia Indonesia, walaupun dari umur biologis masih muda, tampak sering kali dihinggapi penyakit lupa dan atau pura-pura lupa. Ada juga yang masih senang berpolitik secara kekanak-kanakan, membakar politik identitas  sampai gosong tak keruan.

Tidak sedikit orang yang semestinya istirahat menikmati masa tuanya demi memberikan kesempatan kepada anak cucunya malah masih terus bernafsu memburu dan mengoleksi kekuasaan.  Sisanya, cerita tentang defisit  rasa syukur dan surplus sifat tamak  dengan memperlakukan negara ini seolah  perusahaan nenek moyangnya.

 Merayakan kemerdekaan adalah upaya mengaktifkan kembali ingatan tentang tujuan berdirinya bangsa dan negara ini. Dirgahayu Indonesia.

 ASEP SALAHUDIN

WAKIL REKTOR BIDANG AKADEMIK IAILM  SURYALAYA TASIKMALAYA; KETUA LAKPESDAM  PWNU JAWA BARAT

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Pekik Politik Kemerdekaan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger