Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 18 Agustus 2017

Dalam Perahu yang Sama (ADJIE SURADJI)

Membaca sejarah perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan ibarat melihat ulangan tragedi memilukan.

Sejak abad ke-16, perlawanan bangsa Indonesia terhadap kaum kolonial lahir. Semangat mengusir penjajah-Portugis, Belanda, dan kemudian Jepang-lewat 'gerakan atas tanah' dan 'gerakan bawah tanah' terus digelorakan.

Hasilnya, 17 Agustus 1945, para founding fathers membangun "Jembatan Emas" kemerdekaan, menuju negeri impian.

Sayang, negeri impian yang adil-makmur, aman, sejahtera, dan sentosa belum mewujud hingga 72 tahun kemudian. "Jembatan Emas" justru menggiring bangsa ini masuk pusaran arus konspiratif yang melahirkan pertikaian berlatar perbedaan pemahaman (agama) yang sarat dengan intrik politik.

Gerakan bawah tanah

Sepanjang era Reformasi, dari 2000 sampai Juni 2017 aparat keamanan (polisi) telah menangani tak kurang dari 268 kali kasus teror di Indonesia. Lebih dari 1.000 teroris dapat dilumpuhkan. Sepak terjang teroris yang eksis lebih dari satu setengah dekade ini tak bisa dipisahkan dari gerakan radikal di Indonesia.

Berdasarkan penelitian Dov Levin dan Abraham Zvi Brown, tampilnya gerakan radikal, fundamental, dan separatis dalam suatu negara merepresentasikan gerakan bawah tanah (The Story of an Underground, 2014)Apabila rumusan ini bisa diandalkan, Indonesia telah menjadi negara target dari skenario global gerakan bawah tanah.

Gerakan bawah tanah (the underground movement) adalah suatu jaringan perlawanan rahasia dan terorganisasi dari masyarakat sipil suatu bangsa terhadap bangsa lain yang menjajahnya.

Seiring perkembangan zaman, prinsip, makna, dan tujuan gerakan bawah tanah terdegradasi sehingga definisinya menjadi bias. Gerakan bawah tanah (sekarang) tak lagi menjadi wadah perjuangan patriot bangsa yang merepresentasikan suara kaum murba-rakyat jelata atau golongan marhaen yang tertindas-tetapi menjadi gerakan yang dikendalikan elite politik untuk tujuan ekonomi(Underground, The Story of a People, Joseph Tenenbaum, 2016).

Dengan demikian, tak aneh jika dewasa ini-dengan dalih membiayai pergerakan-banyak kelompok radikal, fundamentalis, dan separatis yang berkonspirasi dengan elite politik, bahkan berkolaborasi dengan organisasi kejahatan: sindikat narkoba, penyelundup, dan pemalsu uang, untuk mencapai tujuannya.

Pola operasinya pun menyimpang dari tujuan gerakan bawah tanah yang sesungguhnya karena seperti dirumuskan Machiavelli: cara apa pun digunakan-intoleransi hingga teror-asal tujuan tercapai.

Majalah politik Der Hausfreund (The House Friend) edisi Agustus tahun 1832 memuat artikel karya Carl-Josef Meyer (1796-1856), pendiri Bibliographisches Institute Hildburghausen, Jerman, berjudul "Lupakan perbedaan. Kita telah duduk dalam perahu yang sama!"

Barangkali, terinspirasi judul provokatif tersebut, dua Jerman-Republik Demokratik Jerman ("Jerman Timur") dan Republik Federal Jerman ("Jerman Barat")-akhirnya bersatu kembali (German Deutsche Wiedervereinigung), 3 Oktober 1990.

Bersatunya dua Jerman mempertontonkan kepada dunia bahwa negara yang pernah terbelah dalam empat zona pendudukan pasca-Perang Dunia II tersebut telah "melupakan perbedaan".

Sayang, melupakan perbedaan ternyata bukan sesuatu yang mudah dilakukan di Indonesia. Bangsa yang telah duduk dalam perahu yang sama, 72 tahun merdeka, belakangan ini justru memiliki kegemaran berkelahi (belligerent) dan mendramatisasi atau memolitisasi perbedaan.

Mungkin situasi inilah yang membuat Presiden Joko Widodo "geregetan". Ketika negara lain sudah mengembangkan teknologi masa depan-hyperloop hingga pemanfaatan ruang angkasa (Asgardia?)-bangsa Indonesia masih berkutat pada hal-hal yang tak produktif: demo, fitnah, hujat-menghujat, hingga menebar hoax.

Kemerdekaan bangsa Indonesia tak diperoleh secara cuma-cuma, tetapi lewat perjuangan panjang, dengan darah, keringat, dan air mata. Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai "Jembatan Emas" hanya kemerdekaan fisik. Untuk mewujudkan kemerdekaan seutuhnya, merdeka secara mental, sosial emosional dan spiritual, perlu kerja keras dan persatuan generasi berikutnya. Sebagai generasi sekarang, semua anak bangsa harus ikut bertanggung jawab mewujudkannya.

Bijak dan tegas

Tampilnya beberapa organisasi kemasyarakatan (ormas) berpaham radikal: anti-Pancasila, dan kelompok "oposisi" yang gemar mendramatisasi dan memolitisasi perbedaan harus disikapi secara bijak tetapi tegas. Mereka bukan musuh bangsa. Mereka adalah anak-anak bangsa yang menjadi korban konspirasi gerakan bawah tanah.

Karena terbentuk dan bekerja secara konspiratif, gerakan bawah tanah selalu meminta korban dalam setiap aksinya. Dalam teori konspirasi, terdapat dua jenis korban. Pertama, korban kejadian. Ini adalah orang atau kelompok yang terkena dampak langsung di tempat kejadian (terluka atau meninggal).

Kedua, korban pelaku, berupa orang atau kelompok yang beraksi seolah-olah itu aksi spontan tanpa ada yang menunggangi. Padahal, mereka sesungguhnya telah menjadi korban hasutan, provokasi, dan doktrin. Mereka sama sekali tak menyadari bahwa mereka telah menjadi korban konspirasi elite politik untuk tujuan ekonomi.

Sudah waktunya kita bersama membangun negara di bawah Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, bukan sibuk dengan pola pikir masing-masing. Indonesia membutuhkan persatuan yang kuat untuk membangun bangsa, bukan menumbuh-suburkan gerakan radikal yang menjadi embrio terorisme, atau politisasi perbedaan sumber kegaduhan, yang justru melemahkan negara.

Melupakan perbedaan bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Namun, secara teori tak ada penyakit yang tak bisa disembuhkan. Ibarat obat, sepahit apa pun harus diminum jika itu menyembuhkan.

Perbedaan adalah rahmat. Jangan sia-siakan kemerdekaan. Kita telah duduk dalam perahu yang sama. Kita rawat perbedaan dalam perahu yang sama.

ADJIE SURADJI

Alumnus Fakultas Sains Universitas Karachi, Pakistan

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Dalam Perahu yang Sama".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger