Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 18 Agustus 2017

Tantangan Menuju Generasi Emas (HASBULLAH THABRANY)

Jargon visioner "Generasi Emas Menuju Indonesia Hebat" bisa jadi hanya dokumen sejarah. Kita pernah bertekad "lepas landas". Tercapai? Belum!

Menyongsong 100 tahun Indonesia merdeka dan bonus demografi, tekad mewujudkan generasi emas tahun 2045 perlu kerja keras. Generasi emas bukan generasi yang memiliki banyak emas, melainkan generasi yang kompetitif. Sejauh mana dan seberapa banyak anak bangsa yang paham, berkomitmen, dan konsisten mewujudkan generasi emas? Kita semua perlu memahami bahwa bangsa lain juga memacu generasi kompetitif. Kecepatan dan percepatan dalam lomba mewujudkan generasi kompetitif menjadi kunci keberhasilan.

Sebagian besar rakyat, bahkan pemimpin dan guru, masih terbelenggu kemilau negara kaya minyak dan melimpahnya sumber daya alam (SDA). Banyak yang tidak menyadari bahwa yang lebih menikmati SDA kita boleh jadi orang Singapura, China, Jepang, Amerika, atau Eropa. Sebagai contoh, Wikipedia mengungkap bahwa perusahaan minyak Arab Saudi, Aramco, membukukan pendapatan tahun 2015 sebesar 478 miliar dollar AS, tetapi tiga perusahaan minyak raksasa milik China membukukan 1.251 miliar dollar AS. Pertamina cuma membukukan 70 miliar dollar AS. Pada masa lalu, SDA dinikmati penduduk di sekitarnya. Kini, penduduk di sekitar bisa jadi penonton.

Masih banyak pihak yang menuntut kesejahteraan dengan merujuk pada kekayaan SDA. Kita punya banyak potensi, baik yang segera habis, seperti minyak, maupun yang terbarukan, seperti sawit, pangan laut, dan sinar matahari. Dulu kita pengekspor minyak, kini kita pengimpor. Celakanya, pada masa lalu kita subsidi impor bahan bakar minyak dengan nilai sekarang lebih dari Rp 4.000 triliun dalam 10 tahun. Hal itu merupakan suatu contoh jebakan SDA. Ketika SDA merosot, kita harus impor, rakyat tetap menuntut harga BBM murah. Pemerintah yang bertumpu pada kebijakan populis mengikuti jebakan SDA yang merupakan pikiran pendek (short sighted) yang tidak strategis.

Jebakan SDA jadi kendala besar dalam menggapai generasi emas. Mengandalkan SDA berlimpah membuat kita terlena. Di banyak negara maju, sumber daya manusia (SDM) yang inovatiflah yang membuat mereka kompetitif dan hidup sejahtera. Negara terkaya, yaitu Singapura, Korea, Norwegia, Swiss, dan Luksemburg, tidak memiliki SDA berlimpah. Mereka makmur karena SDM yang kompetitif. Singapura merupakan yang terkaya di Asia karena kepiawaian SDM-nya memanfaatkan SDA di negara lain antara lain dari Indonesia.

Posisi SDM Indonesia

Kita harus mengakui, setelah 72 tahun merdeka, SDM Indonesia masih jauh dari kualitas "emas". Ada orang Indonesia yang punya kemampuan kompetitif, tetapi jumlahnya tak memadai. Berdasarkan data Forum Ekonomi Dunia, peringkat kompetitif Indonesia turun dari urutan ke-37 pada 2015 menjadi ke-41 pada 2016. Sementara Singapura di urutan ke-2 dan Malaysia di urutan ke-25 pada 2016.

Data IQ-research 2002-2006 menunjukkan rata-rata IQ orang Indonesia hanya 87, sama dengan rata-rata IQ rakyat Irak dan Myanmar yang masih dalam suasana perang. Sementara IQ tertinggi urutan I-III dipegang Hongkong, Singapura, Korea Selatan, Jepang, dan China dengan IQ rata-rata 108-105. Malaysia, yang sama-sama Melayu, menempati urutan ke-15 dengan rata-rata IQ 92 dan Vietnam berada pada urutan ke-13 dengan rata-rata IQ 94.

Tingkat rata-rata IQ merupakan indikator utama generasi emas. Jika peringkat IQ Indonesia jauh tertinggal, bagaimana peringkat fisik? Dalam Asian Games 2014 di Seoul, perolehan medali Indonesia per 1 juta penduduk berada pada urutan ke-40 dan Singapura pada peringkat pertama. Padahal, dari jumlah penduduk, Indonesia berada pada nomor tiga. Jadi, secara fisik dan kecerdasan Indonesia masih "generasi loyang".

Rendahnya rata-rata IQ orang Indonesia berhubungan dengan asupan gizi dan tingkat kesehatan bayi dan anak. Rendahnya status gizi dan kesehatan rakyat Indonesia sudah banyak diungkap. Kita telanjur punya banyak manusia yang jadi "beban", bukan sumber daya. Namun, sedikit yang menyadari dan bergerak membenahi kecukupan gizi dan kesehatan generasi mendatang.

Meski Bappenas telah meluncurkan program 1.000 hari pertama dalam kehidupan, gerakan investasi SDM sejak dini di sejumlah daerah belum memadai. Padahal, sekitar 80 persen otak manusia, yang jadi sumber tingginya IQ dan daya saing, dibentuk pada masa kehamilan dan mendekati 100 persen pada usia tiga tahun. AS sejak lama memiliki programfood stamp, kupon makanan bergizi bagi ibu hamil dan anak keluarga kurang mampu. Mereka tidak ingin generasi masa depan tidak memiliki otak bagus dan kurang kompetitif. Kita sudah memulai dengan Program Keluarga Harapan, tetapi apakah "dosis"-nya cukup untuk membangun generasi emas?

Investasi pada otak merupakan investasi "perangkat keras". Masih diperlukan investasi "perangkat lunak" berupa pendidikan yang tepat dan berkualitas. Sudah?

Tantangan

Kini kita sedang bekerja keras memacu generasi emas dengan "perangkat lunak". Namun, bisa jadi kapasitas dan potensi "perangkat keras" tidak siap. Hasilnya "hang". Kita berkomitmen mendanai perangkat kasar (kesehatan) 5 persen APBN dan perangkat lunak 20 persen APBN. Tidak banyak yang memahami bahwa investasi "perangkat keras" melalui kesehatan Indonesia adalah yang terburuk di negara yang setara ekonominya. Jika investasi SDM yang merupakan modal tahan lama (durable capital) tidak mengalami percepatan, besar kemungkinan generasi emas hanya jadi impian.  

Investasi pada otak anak bangsa membutuhkan waktu satu generasi. Durasi investasi yang harus ajek dan cukup memerlukan komitmen pemenang pemilu yang sifatnya jangka pendek lima tahunan. Masih diperlukan upaya keras dan kompak oleh semua partai politik untuk menemukan program-program ajek dan cukup yang tidak berubah-ubah akibat penggantian kepemimpinan. Pemahaman dan komitmen  yang cukup dari pimpinan nasional dan pemerintah daerah menentukan tercapai tidaknya generasi emas. Sudahkah?

Semua elemen masyarakat harus paham dan berkomitmen menuju cita-cita generasi emas. Jika tidak, bangsa ini akan jadi korban kompetisi masa depan, satu generasi dari sekarang. Semoga persaingan politik ke depan berpegang pada tujuan generasi emas dalam NKRI.

HASBULLAH THABRANY

TENAGA AHLI DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL; GURU BESAR UNIVERSITAS INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Tantangan Menuju Generasi Emas".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger