Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 19 Agustus 2017

Pendidikan di Alam Kemerdekaan (MOHAMMAD ABDUHZEN)

Sebuah komunitas menyelenggarakan pendidikan bukan hanya untuk mewariskan nilai-nilai lama yang ada dan dianut oleh anggotanya. Lebih dari itu, pendidikan diselenggarakan sebagai bagian utama dari upaya perekayasaan manusia (human engineering) demi keberlangsungan dan kemajuan komunitas itu.

Maka, selain harus kontekstual dengan realitas alamiah dan budaya, pendidikan juga harus didasarkan pada kenyataan kekinian dan perhitungan atas kecenderungan masa depan yang melingkupinya. Hanya dengan demikian upaya pendidikan akan fungsional.

Pendidikan Indonesia di alam kemerdekaan ini seyogianya secara substansial berbeda dengan pendidikan Hindia Belanda pada masa kolonial. Pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonial, terkait politik etis, lebih ditujukan pada penyiapan tenaga kerja untuk menopang keberlangsungan kolonialisme dengan segala kepentingannya. Pada masa yang sama, pendidikan yang diselenggarakan pribumi (Belanda menyebutnya "sekolah liar"/wildeschoolen) diarahkan untuk memompakan semangat perjuangan melepaskan diri dari penjajahan. Arah dan tujuan pendidikan pada masa kemerdekaan adalah mengisi kemerdekaan berdasarkan aspirasi dan kepentingan bangsa sendiri  agar maju mencapai tujuan kenegaraan dan cita-cita kebangsaan.

Pada awal kemerdekaan,  Indonesia berniat membangun sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi bangsa, bukan sekadar mencontoh model dan praktik pendidikan di negara maju. Namun, karena desakan situasi politik yang bertubi ditambah realitas pendidikan yang begitu senjang, tidak ada diskusi mendalam untuk mengkaji kesesuaian serta mengubah substansi dan model pendidikan sehubungan dengan perubahan situasi politik yang terjadi. Sementara itu, pertumbuhan sekolah dan perguruan tinggi meningkat drastis, tetapi kualitasnya kian merosot. Secara substansial, pendidikan berkembang dikotomis antara pendidikan "umum" dan pendidikan agama.  Pendidikan umum yang menjadi basis sistem pendidikan nasional, baik isi maupun strukturnya, terus berjalan menurut warisan Belanda dengan tambal sulam di sana sini.

Ketika "modernisasi" pendidikan pada masa Orde Baru dijalankan, berbagai bantuan, baik nasihat maupun materi, mengalir dari negara-negara maju dan badan-badan internasional. Ahli-ahli luar negeri datang dan pergi silih berganti. Orang Indonesia sendiri disekolahkan lebih tinggi ke luar negeri  dan sepulangnya membawa konsep "baru" yang sering kali dipaksakan meskipun kadang tak cocok dengan kondisi dan daya dukung pendidikan kita. Pengaruh kebijakan ini, tanpa banyak disadari, menurut Profesor Beeby (1981), menjadikan pendidikan nasional kita sepenuhnya bercorak Barat.

Belakangan ini, dalam upaya memajukan pendidikan nasional, alih-alih mensenyawakan ide-ide yang diimpor itu dengan aspirasi, tujuan, dan realitas keindonesiaan kita, pemerintah malah mengarahkan operasi pendidikan nasional pada peningkatan daya saing dan obsesi masuk kelas dunia/internasional. Gagasan tentang daya saing dan masuk peringkat dunia seolah telah menjadi tujuan pendidikan nasional,   menggeser ide "mencerdaskan kehidupan bangsa".  Alhasil, pendidikan kita semakin senjang dan disfungsional bagi kebutuhan bangsa dan cita-cita Indonesia merdeka.

Nilai kemerdekaan

Pendidikan di alam kemerdekaan seharusnya diletakkan pada fondasi mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai episentrum pembangunan dalam segala dimensinya. Pertama-tama pendidikan harus menanamkan nilai-nilai kemerdekaan itu sendiri ke dalam jiwa anak-anak negeri. Seperti pesan lagu kebangsaan "bangunlah jiwanya. Indonesia raya. merdeka. merdeka.

"Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita," kata Bung Karno.

Mendidik jiwa merdeka adalah menumbuh dan mengekalkan suasana kemandirian di dalam batin sehingga para murid kelak mampu bersikap dan bertindak rasional  atas kehendaknya sendiri dan bertanggung jawab atas tindakannya. Membangun jiwa merdeka sangat penting, selain karena kemerdekaan merupakan harkat kemanusiaan, juga karena sebagian besar alam pikiran masyarakat kita terbelenggu nilai-nilai lama yang feodal dan diperparah kolonialisme yang menghancurkan harga dan kepercayaan diri.

Karena pendidikan tidak mengutamakan nilai kemerdekaan, mentalitas feodal dan bilur-bilur keterjajahan masih sangat kentara dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.  Perilaku birokrasi pemerintahan dan relasi dalam perpolitikan kita, misalnya, sangat korup dan mencekam. Partai politik kita dewasa ini sangat bergantung pada seorang tokoh (pemilik modal) yang dalam banyak kesempatan berperilaku seperti tuan tanah dahulu kala. Dari situasi feodalistis dan represif seperti itu kecil kemungkinan terjadinya pendidikan politik yang sehat dan  mencerahkan. Maka, naif kiranya bangsa ini berharap terwujudnya kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian dalam budaya seperti cita-cita Trisakti-nya Bung Karno. 

Kedua, pendidikan nilai kemerdekaan juga harus menggugah rasa memiliki dan rasa tanggung jawab terhadap Tanah Air. Sebagai pemilik sah, generasi muda harus disadarkan bahwa mereka paling berhak memelihara dan memanfaatkan negeri kaya ini untuk kemakmuran bersama.  Pendidikan rasa kepemilikan dan rasa tanggung jawab sangat kurang sehingga sepanjang 72 tahun usia kemerdekaannya, bangsa ini lebih banyak nelangsa menyaksikan bumi, air, dan kekayaan alam serta cabang-cabang produksi yang penting dikavling-kavling, dikangkangi oleh dan hanya untuk kemakmuran segelintir orang.

Ketiga, bahwa untuk mengelola miliknya, pendidikan dituntut membangun kesadaran "kerja". Bekerja dan kinerja  harus menjadi tata nilai yang dianut masyarakat secara luas diyakini sebagai satu keniscayaan kewargaan untuk  kejayaan dan kemuliaan bangsa. Salah satu kelemahan mental bangsa ini, menurut Koentjaraningrat (2015), ialah tidak memiliki budaya kerja dan tidak berorientasi pada hasil karya (achievement oriented) serta bermentalitas menerabas. Latar pendidikan kita perlu diubah sedemikian rupa agar lebih pragmatik dan aplikatif dengan didasarkan pada nilai-nilai kemerdekaan dan keindonesiaan.

Nilai keindonesiaan

Dengan mengutip pendapat Ernest Renan dan Otto Bauer,  Bung Karno dalam pidatonya 1 Juni 1945 menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia akan terwujud karena adanya kehendak bersatu dan memiliki kesatuan perangai yang terbentuk oleh perasaan senasib.  Keinginan bersatu itu antara lain tampak dari pembicaraan dalam Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, yang melahirkan Sumpah Pemuda. Persatuan kebangsaan Indonesia bukan sesuatu yang terberikan, melainkan diperjuangkan bersama karena kuatnya rasa satu keindonesiaan di atas realitas kemajemukan sebagai basis nilainya.

Pendidikan nilai keindonesiaan pertama-tama harus mengajarkan keberagaman sebagai realitas tak terhindarkan dan sebagai anugerah Ilahi yang tentunya terbaik bagi bangsa ini. Maka, sikap  "toleransi" adalah sebuah keniscayaan dalam merespons dan mensyukurinya. Penyeragaman, baik pada flora-fauna maupun pada etnis dan kebudayaan, sejatinya  bertentangan dengan prinsip kehidupan dan takdir Sang Pencipta. Pembelajaran tentang kebinekaan hendaknya tidak berhenti  sebatas pengetahuan, tetapi berlanjut pada sikap dan perilaku yang memperkuat rasa persatuan.

Selanjutnya, pendidikan nilai keindonesiaan adalah sangat perlu mengajarkan nalar agama secara benar dan baik.  Beragama adalah bagian dari identitas keindonesiaan kita sehingga berpengaruh besar pada berbagai kiprah bangsa. Lebih dari 99 persen-di mana 87,18 persen di antaranya penganut Islam (BPS, 2010)-dari warga negara Indonesia beriman dan taat pada agamanya. Sebagai gambaran keberimanan itu, studi Saiful Mujani (2007: 92) menemukan bahwa 97,2 persen Muslim Indonesia percaya sepenuhnya kepada Tuhan. Sementara itu, berdasarkan data Litbang dan Diklat Kementerian Agama (2007) 92 persen Muslim Indonesia menjalankan shalat lima waktu, 97,3 persen berpuasa pada bulan Ramadhan, dan 77 persen berzakat/berinfak.

Pendidikan agama di alam kemerdekaan ini memerlukan reorientasi dan penataan kembali agar selain menghasilkan kesalehan dalam berbagai dimensinya, juga dapat mengembangkan energi keberagamaan menjadi  kekuatan konstruktif dan produktif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan keagamaan, menurut tesis Max Weber, sangat mungkin  dapat memperkuat kehidupan ekonomi, seperti pada etika Protestan yang melahirkan etos kerja atau shintoisme melahirkan bushido dan nasionalisme Jepang.

Nilai keindonesiaan lain yang perlu diajarkan adalah nilai kegotongroyongan. Gotong royong merupakan ciri asli bangsa Indonesia. Menurut Mohammad Hatta (2008), paham demokrasi akan mudah diterima dan berkembang karena masyarakat asli Indonesia memiliki tradisi gotong royong dan musyawarah yang dapat dijadikan basis demokrasi ekonomi dan politik.

Penguatan sifat kegotongroyongan dalam pendidikan kita semakin signifikan terkait perkembangan budaya global   yang individualistik dan serba persaingan. Gotong royong dalam perspektif Bung Karno merupakan inti kepribadian bangsa: "Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan 'gotong royong'. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!

Dirgahayu Republik Indonesia!

MOHAMMAD ABDUHZEN

ADVISOR INSTITUTE FOR EDUCATION REFORM UNIVERSITAS PARAMADINA; KETUA LITBANG PB PGRI 

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Pendidikan di Alam Kemerdekaan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger