Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 05 Agustus 2017

TAJUK RENCANA: Bijak Memilih Kata (Kompas)

Belum genap tiga tahun Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla memerintah negeri ini, aroma persaingan jelang tahun politik 2018/2019 mulai terasa.

Setelah Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu yang ditandaiwalk out empat fraksi disahkan, manuver partai politik untuk persaingan politik 2019 mulai gencar. Sebelum pemilu serentak 2019, bangsa ini akan menggelar pemilihan kepala daerah serentak di 171 daerah pada 27 Juni 2018. Dari 171 daerah yang menggelar pilkada, ada 17 provinsi—di antaranya Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur—yang akan menentukan konstelasi politik nasional pada Pemilu 2019.

Elite politik mulai bermanuver. Pertemuan antar-elite politik terjadi untuk penjajakan atau sekadar membangun komunikasi. Manuver dukung-mendukung politik mulai juga terdengar kendati tahapan pemilu belum dimulai. Dari pernyataan elite politik, kita menangkap saling sindir, saling menegasikan, dan saling tuding mulai terjadi. Bahasa kasar dan vulgar juga mendominasi media sosial.

Terasa ada peningkatan tensi politik, minimal tecermin dalam twitwar di media sosial antara elite politik dan para pengikutnya. Bantah-membantah, dukung-mendukung, saling kritik terjadi dalam wacana di media sosial, ataupun dalam panggung nyata. Pidato "kampanye" kadang diwarnai kekerasan verbal. Kekerasan verbal bisa memprovokasi massa. Persaingan untuk meraih kekuasaan seperti dilakukan dengan menghalalkan segala cara dan terlepas dari kepribadian bangsa Indonesia.

Situasi seperti inilah yang sedang kita hadapi. Inilah perang "kebenaran". Ada perasaan psikologi publik yang tidak menentu, seakan ada kepastian, tetapi juga ada ketidakpastian. Ada optimisme, ada juga pesimisme. Diskursus di media sosial ikut berkontribusi menciptakan perasaan publik yang membuat gamang.

Di era teknologi komunikasi sekarang ini, jejak digital tidak bisa dihapus. Pernyataan lama seseorang terhadap sebuah isu akan dengan mudah dicari dan diperbandingkan dengan situasi kekinian. Konsistensi sikap akan dilihat dari pelacakan rekaman jejak digital. Kualitas elite akan dinilai dari apa yang dikatakannya. Dalam latar belakang itulah, elite politik, yang mempunyai massa pengikut, agar bijak dalam berkata-kata. Kekerasan verbal yang bisa memprovokasi massa sebaiknya dihindari agar kohesivitas anak bangsa tidak terganggu.

Situasi sekarang ini seperti sudah terlalu cepat bergerak ke politik. Politik menjadi utama. Ini bisa mengakibatkan pembenahan ekonomi terpinggirkan. Anomali ekonomi Indonesia, di mana indikator makro dan sektor riil menunjukkan gejala berbeda, seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan elite politik untuk mengatasinya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Bijak Memilih Kata".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger