Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 20 September 2017

Agama dan Kebangsaan (ASEP SALAHUDIN)

Tentu saja agama dan kebangsaan tidak perlu diperlawankan. Agama tanpa kebangsaan sama naifnya dengan kebangsaan yang tidak diacukan pada spirit keagamaan.

Kebangsaan itu adalah payung agama yang bikin agama "terlindungi" dan berpijak di bumi. Kebangsaan itu adalah akar yang membuat setiap agama dan umat beragama dapat menjalankan dan menghayati agamanya sesuai kepercayaan masing-masing dengan tenang dan nyaman.

Ideologi yang mampu menjembatani dua kutub itu tidak lain adalah Pancasila. Dalam Pancasila, agama ditarik satu helaan napas dengan kebangsaan. Setiap silanya melambangkan satu upaya penuh bagaimana warga bangsa punya kemampuan menyelami nilai-nilai agama dan merasuk dalam pengalaman kebangsaan secara utuh. Ketuhanan yang dipadupadankan dengan persatuan Indonesia lewat metode kemanusiaan yang beradab (sila kedua) dan musyawarah mufakat (sila keempat) dan trajektorinya adalah sila kelima: terdistribusikannya rasa keadilan merata kepada khalayak.

Kebangsaan justru  menjadi "perkakas Tuhan", hal mana kehidupan menjadi menemukan rohnya yang asasi. Dalam "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme" (Di Bawah Bendera Revolusi), Bung Karno menulis,  "Nasionalisme di dalam kelebaran dan keluasannya mengasih tempat cinta pada lain bangsa, sebagai lebar dan luasnya udara, yang mengasih tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup . nasionalisme yang membuat kita menjadi 'perkakasnya Tuhan' dan membuat kita menjadi 'hidup dalam roh' .".

Defisit imajinasi

Kalau hari ini masih juga ada kelompok yang mempertentangkan agama dengan kebangsaan, mazhab seperti ini bukan hanya tidak paham makna ontologis agama dan hakikat kebangsaan, malah tidak menutup kemungkinan kelompok seperti ini mengalami rabun sejarah. Buta terhadap masa silam leluhurnya. Harus ditegaskan bahwa Pancasila itu "digali" dari agama dan kekayaan kultur masyarakat. Pancasila dihadirkan untuk menjawab persoalan kebangsaan yang multikultural.

Justru di sanalah letaknya kenyataan agung bagaimana para pendiri bangsa selepas terlepas dari kaum penjajah mereka tidak begitu lama bersepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Gagasan itu relatif diamini semua kelompok yang datang dari berbagai kutub dan semua membawa pikirannya masing-masing.

Dalam sidang-sidang Konstituante, perdebatan itu berlangsung tajam. Namun, ketika sudah sampai pada titik kesepakatan, mereka haram untuk mengkhianatinya.

Itulah ekspresi berpolitik dengan jiwa  lapang, mendahulukan kepentingan bersama, menjadikan  akal sehat sebagai daulat utama. Berpolitik yang mampu melucuti sikap eksklusif, partisan, diskriminatif, dan mau menang sendiri. Bagi mereka  menyelamatkan bangsa harus lebih didahulukan ketimbang meloloskan kepentingan kelompok, agama, etnik, apalagi kepentingan partainya. Ya, politik yang melambangkan pribadi-pribadi yang  akrab dengan bacaan, terbiasa dengan diskusi dan olah nalar. Tentu tidak ada keputusan yang memuaskan semua kalangan. Namun, ketika keputusan tersebut sudah diambil, maka semua tunduk, mematuhi, dan melaksanakannya.

Dalam sebuah ilustrasi yang dinyatakan Bung Karno tahun 1945:  "Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun adalah orang Islam-maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna-tetapi kalau Saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tak lain tidak bukan hati Islam. Dan, hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau pun permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan rakyat."

Mereka telah berhasil menjadikan sidang di majelis Konstituante itu sebagai ruang publik tempat di mana  argumentasi deliberatif disampaikan dengan berpegang teguh pada kepentingan bersama lewat bahasa yang disepakati dan dapat dipahami semuanya. Maka, tidak heran kalau produknya UUD 1945 dan Pancasila masih terpakai sampai hari ini, tidak lekang oleh waktu dan tidak juga ketinggalan zaman. Tema-tema universalnya terwadahi dan hal-hal partikular-teknisnya diberi kesempatan untuk kelak ketika memungkinkan diamandemen.

Kebangsaan multikultural

Kalau dalam bangsa (nation) melekat penghargaan tinggi terhadap multikulturalisme sebagai fakta sosial dan hukum alam dan semuanya diposisikan pada kedudukan setara, maka dalam agama hal yang sama telah diguratkan. Pilihan yang berbeda bukan alasan untuk saling menistakan, melainkan kesempatan untuk  berlomba melakukan tindakan kebaikan.

 Multikulturalisme  hanya bisa diselesaikan tidak lewat cara diseragamkan, apalagi melalui kekerasan, tetapi lewat upaya laten saling belajar, mengenali, dan memahami dengan penuh empati (taaruf)Taaruf, seperti sering ditating Tuhan, adalah proses membuka diri demi terlaksananya proses dialog terbuka. Atau, meminjam  istilah Levinas, taarufadalah satu rute  eksistensial tentang perjumpaan  banyak wajah. Wajah bukan sekadar bagian dari tubuh fisikal, melainkan mencerminkan tentang ikhtiar saling menatap dengan tulus, tersenyum secara ikhlas dan menyapa penuh keakraban. Pertemuan dengan lyan itu berkesan atau tidak, pintu masuknya bisa dilihat dari tampilan wajahnya. Maka, dalam bahasa kita wajah sering kali disebut muka. Muka sebagai halaman terdepan yang mampu mendefinisikan konsep kita baik sebagai umat maupun bagian dari bangsa. Mukalah yang bisa menanamkan kesan pertama sekaligus dapat menyimpulkan apakah persahabatan itu dapat diteruskan atau tidak. Keikhlasan atau kemunafikan salah satunya dapat dideteksi dari raut muka. 

Maka, dalam konsep Islam, wajah itu harus dibasuh lima kali sehari ketika wudu. Makna simboliknya, kata seorang sufi, Ibnu Arabi, karena wajah bisa memancarkan keagungan Tuhan. Wajah sebagai epifani Sang Ilahi.

Itulah barangkali yang dibilang filsuf religius neo-socratisme, Gabriel Marcel, betapa hubungan kemanusiaan itu harus dijangkarkan di atas garis kudus ketuhanan, Toi Absolu. Tuhan sebagai landasan metafisis dari persekutuan manusia. Itu juga yang dimaksudkan mengapa Tuhan sering kali mengidentifikasi diri-Nya dengan "wajah" dan kita bisa menemukan wajah-Nya di setiap penjuru agama, keyakinan dan mazhab yang beragam. Faainama tuwallu fa tsamma wajah Allah, "Ke mana pun kalian menghadap akan kalian temui wajah Tuhan".

Hari ini, diakui  atau tidak, baik wajah agama ataupun bangsa, sedang mengalami tantangan berat terutama dengan munculnya kebangkitan kaum puritan.  Mereka lebih berminat menampilkan wajah  beragama yang tidak simpatik bahkan juga tidak ramah terhadap capaian manusia pergerakan. Beragama dengan wajah marah, bukan ramah. Tragis!

ASEP SALAHUDIN

WAKIL REKTOR BIDANG AKADEMIK IAILM PESANTREN SURYALAYA, TASIKMALAYA; KETUA LAKPESDAM  PWNU JAWA BARAT

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Agama dan Kebangsaan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger