Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 05 September 2017

ARTIKEL OPINI: ”Rumah Aman” (EDWIN PARTOGI)

Rumah sekap, demikian terminologi rumah aman yang digunakan Miko atau Niko Panji Tirtayasa, saksi perkara korupsi hakim konstitusi Akil Mochtar, dalam keterangan di Panitia Khusus Hak Angket DPR, 11 Agustus lalu.

Miko pernah menjadi terlindung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tepatkah istilah rumah sekap?Keterangan Miko berlanjut dengan polemik yang muncul antara pansus hak angket dan KPK tentang keabsahan KPK memiliki rumah aman (RA) atau safe house. Tulisan ini coba menguraikan hal ihwal RA agar dipahami keberadaannya. Tentu yang bisa dijelaskan penulis sebatas RA Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Sebelum keterangan Miko dibuat, tahun lalu dalam kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin oleh terduga Jessica Wongso, pihak penyidik menempatkan asisten rumah tangga Jessica dalam RA kepolisian.Di lain perkara, pada Mei 2015, safe house SOS, Jakarta Timur, ramai didatangi Komisi Perlindungan Anak Indonesia, petinggi Polri, dan menteri yang mengikutsertakan jurnalis, menemui anak-anak korban penelantaran oleh orangtua.Dari sekilas uraian di atas, ternyata selain LPSK dan KPK, kepolisian dan Kemensos juga memiliki RA. Lalu, bagaimana regulasi RA sebenarnya?

Regulasi rumah aman

Apabila merujuk regulasi yang ada,keberadaan RA dapat kita lihat pada Pasal 23 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang kemudian dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No4/2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Regulasi lain yang mengatur RA adalah Pasal 12A Huruf f UU No/2014 tentang Perubahan terhadap UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

RA yang dimiliki Kemensos berdasarkan UU dan PP di atas pada awalnya dikhususkan untuk korban KDRT. Namun, dalam perkembangannya dimanfaatkan pula oleh korban perdagangan orang dan kasus-kasus lain.Sementara RA yang dikelola LPSK berdasarkan UU No 31/2014 dikhususkan pada perlindungan saksi dan korban dari beragam kasus tindak pidana. Di antaranya kasus korupsi, pencucian uang, terorisme, pelanggaran HAM berat, perdagangan orang, kekerasan seksual anak, narkotika dan psikotropika, serta tindak pidana lain yang mengakibatkan saksi dan/atau korban dihadapkan pada situasi sangat membahayakan.

Ada perbedaan antara RA yang dikelola Kemensos dan LPSK. RA yang dimiliki Kemensos di Jakarta Timur merupakan bangunan permanen yang dikhususkan untuk korban KDRT, sekalipun dalam perkembangannya menerima korban kasus lain. RA ini dalam beberapa kasus telah terpublikasi di media massa sehingga sifat kerahasiaannya berkurang.

Hal ini berbeda dengan RA LPSK yang dijaga kerahasiaannya. Sekalipun LPSK memiliki RA yang permanen, untuk kepentingan perlindungan, sebuah rumah tidak selalu berada pada suatu titik statis, tetapi lokasi mana pun yang tidak dikenal secara umum. Di LPSK, tidak semua orang, termasuk pimpinan, tahu di RA mana terlindung ditempatkan. Pengetahuan tentang RA dibatasi hanya kepada pimpinan LPSK terkait dan petugas perlindungan terlindung tersebut.

Mengapa RA dirahasiakan? Penempatan seorang terlindung dalam RA adalah bentuk perlindungan yang maksimal. Keputusan menempatkan di RA biasanya mempertimbangkan kekerasan yang sudah dialami saksi/korban/pelapor (terlindung) atas tindak pidana yang ia hadapi. Apabila kekerasan itu sudah terjadi, kami berikan perlindungan darurat. Atau adanya ancaman jiwa terhadap terlindung atau potensi ancaman yang tinggi terlindung berhadapan dengan pihak-pihak yang biasa menggunakan kekerasan. Dalam rangka menjamin keselamatan saksi, pelapor atau korban, menempatkan di RA dianggap sebagai salah satu solusi terbaik.

Penempatan di RA dimaksudkan untuk mencegah terlindung dari tindak kekerasan atau ancaman kekerasan serta risiko yang dapat memengaruhi keterangan terlindung dalam proses hukum atau mengancam keselamatan jiwa terlindung. Perlindungan ini juga dapat meliputi pihak keluarga terlindung.Karena itu, kerahasiaan rumah menjadi faktor penting.

Dalam UU No 31/2014 dijelaskan, RA adalah tempat kediaman sementara atau tempat kediaman baru yang dirahasiakan sesuai standar LPSK. RA dalam standar LPSK berbeda dengan tempat tinggal pada umumnya. RA harus memenuhi syarat kerahasiaan, keamanan, dan kenyamanan.Kerahasiaan dijaga dari aktivitas dan interaksi publik sekitarnya. RA dimaksudkan untuk perlindungan fisik dan psikis dengan mempertimbangkan jarak jangkau ke kepolisian terdekat, fasilitas medis, dan fasilitas publik yang diperlukan bagi aktivitas perlindungan.

RA harus memenuhi syarat keamanan, aman dari bahaya kebakaran, kebanjiran, terhindar dari ancaman fisik dan psikis, serta memenuhi standar ventilasi, kesehatan, dan sanitasi.Bangunan RA memiliki fungsi menerima tamu guna wawancara, ruang tidur, dapur, ruang makan, kamar mandi, peturasan, serta ruang ibadah yang dilengkapi peralatan dan perabotan yang memadai bagi terlindung dan petugasnya.

Penggunaan RA juga dilengkapi fasilitas khusus berupa cover story (identitas bayangan) yang disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Sarana dan prasarana RA terdiri dari fasilitas pengamanan yang wajib memenuhi syarat: kelengkapan CCTV, handy talky, senjata api, dan peralatan lain sesuai kebutuhan. Memiliki pintu masuk-keluar akses 24 jam. Memiliki penerangan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tabung pemadam api. RA juga dilengkapi fasilitas transportasi yang memenuhi syarat: kendaraan roda empat dengan spesifikasi memiliki standar pengaman pada kaca film, kelengkapan alat P3K, memiliki ketersediaan logistik dasar, memiliki kaca dengan kekuatan di atas standar pabrikan, dan memiliki fasilitas keamanan lain sesuai kebutuhan. Juga kendaraan roda dua dengan spesifikasi standar keamanan yang lengkap dan dapat digunakan di berbagai lokasi dan situasi.

Sebelum dilaksanakan pengamanan di RA, harus dilakukan pemeriksaan kesehatan terlindung terlebih dahulu untuk mengetahui kondisi medis dan psikisnya oleh paramedis. Selama berada di RA, terlindung diharuskan menitipkan alat komunikasi atau barang-barang yang dapat mengganggu atau menimbulkan risiko terhadap keselamatan terlindung.Di RA, disusun jadwal harian bersama antara petugas dan terlindung. Terlindung di RA wajib mengikuti seluruh kegiatan yang diprogramkan dan berperilaku sesuai norma kesopanan dan kesusilaan.Petugas RA memenuhi kualifikasi berintegritas, komit menjaga rahasia, kemampuan negosiasi, bela diri, menggunakan senjata api, dan terampil mengemudi.

Selama di RA, LPSK mempersiapkan program keseharian terlindungyang disesuaikan dengan hasil analisis kondisi fisik dan psikis terlindung. Apabila terdapat agenda pemeriksaan dalam proses peradilan, lokasi pemeriksaan disesuaikan dengan kondisi keamanan faktual (pemeriksaan bisa dilakukan di LPSK, kantor aparat penegak hukum terkait, video conference, atau tempat lain yang dianggap aman). Pada waktu-waktu tertentu, terlindung tetap bisa bertemu keluarga atas seizin dan sepengetahuan LPSK.

Perlindungan saksi KPK dan LPSK

Jauh sebelum ada UU Perlindungan Saksi dan Korban tahun 2006, KPK dalam menjalankan tugasnya juga memiliki kewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi dan pelapor. Hal ini diatur dalam Pasal 15 UU No 30/2002. Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan, perlindungan melingkupi pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan kepolisian atau penggantian identitas pelapor atau melakukan evakuasi, termasuk perlindungan hukum.Pada 2010, LPSK dan KPK menandatangani kerja sama pelaksanaan perlindungan saksi dan korban.Dalam kerja sama ini, KPK bisa menyerahkan saksinya untuk dilakukan perlindungan oleh LPSK. Perlindungan juga dapat dilakukan bersama antara KPK dan LPSK.

Bentuk perlindungan yang bisa diberikan kepada saksi/pelapor di antaranya perlindungan fisik berupa pengawasan dan pengawalan, perlindungan di RA, relokasi serta identitas baru, dan lainnya.Perjanjian kerja sama ini berakhir 2015 dan belum diperbarui hingga kini. Mungkin KPK perlu waktu untuk menelaah perpanjangan kerja sama ini.

Pada 2011, LPSK bersama KPK, Menteri Hukum dan HAM, Kapolri, serta Jaksa Agung membuat peraturan bersama tentang Perlindungan Saksi, Korban, Pelapor, dan Saksi Pelaku.Dalam Pasal 7 peraturan bersama itu dinyatakan, perlindungan fisik dan psikis bagi pelapor atau saksi pelapor, diajukan pelapor atau saksi pelapor kepada LPSK, atau kepada aparat penegak hukum sesuai tahap penanganannya (penyidik, penuntut umum, atau hakim) untuk diteruskan kepada LPSK atau dilaksanakan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Pada kasus Miko, Pansus Hak Angket DPR mempersoalkan perlindungan yang diberikan KPK kepada saksinya di RA. Penempatan di RA dinilai ilegal. Dalam konteks perlindungan saksi dan korban, perlindungan oleh penyidik/polisi kerap dipersoalkan pihak lain karena perlindungan yang dilakukan penyidik dinilai sarat kepentingan.

Ada tiga model yang mengemuka dalam pelaksanaan program perlindungan saksi di dunia. Di negara seperti Australia, Selandia Baru, dan Inggris Raya, program perlindungan saksi merupakan tugas pokok kepolisian. Adapun di Belanda, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat, program perlindungan saksi merupakan organisasi terpisah dari kepolisian. Model ketiga, contohnya Italia, program perlindungan saksi diimplementasikan oleh badan multidisipliner yang terdiri dari perwakilan tingkat tinggi lembaga-lembaga penegak hukum, penuntutan, peradilan, dan pemerintah.

Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) memberikan perhatian keberadaan perlindungan saksi yang menyatu dengan tugas kepolisian/penyidik.Menurut UNODC (2008), dari ketiga model lembaga pemberi perlindungan di atas, perlindungan yang berada di kepolisian/penyidik selalu rentan isu negatif.

Pemisahan perlindungan dari penyidikan menjadi nilai lebih guna memastikan obyektivitas dan meminimalkan risiko bahwa penerimaan ke dalam program dapat menjadi insentif saksi untuk memberikan kesaksian palsu yang dianggap diinginkan atau dibutuhkan penyidik atau penuntutan. Keberadaan program perlindungan dengan polisi/penyidik dapat menimbulkan hubungan yang tak nyaman.

Menurut UNODC, kunci keberhasilan program perlindungan saksi adalah adanya pemisahan dari penyidikan, kerahasiaan prosedur dan pelaksanaannya, serta kemandirian lembaga perlindungan dari kepolisian/penyidik.Pemisahan antara tugas perlindungan dan kepolisian/penyidik ini antara lain untuk menjaga netralitas dari kesaksian terlindung. Untuk menilai secara obyektif dan independen pemberian perlindungan sekaligus menguji sifat penting keterangan dari saksi/terlindung dan mencegah adanya keuntungan-keuntunganyang diperoleh saksi/terlindung melebihi pendapatan sahnya.

Perlindungan saksi oleh penyidik dengan penempatan di RA kerap dilabeli pihak lawan sebagai "membeli kesaksian".Saksi dicurigai telah "disuap" penyidik dengan fasilitas untuk memberatkan pelaku.Hal ini juga mengemuka dalam diskusi antara LPSK dengan US Marshall dan Biro Investigasi Federal AS (FBI) pada 2014 di Washington, AS.

Berdasarkan regulasi, KPK memiliki kewenangan memberikan perlindungan kepada saksi dan pelapor. Kewenangan diberikan sebelum lahirnya UU Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, jika KPK menyerahkan perlindungan saksi, pelapor, dan justice collaborator-nya (saksi pelaku yang bekerja sama) kepada LPSK, tentu dapat mengurangi beban dan isu negatif KPK. Hal ini penting dilakukan untuk memastikan bahwa program perlindungan tak dipertanyakan sebagai bujuk rayu kepada saksi untuk mengikuti kemauan penyidik. Di sisi lain, KPK kian fokus pada upaya pemberantasan korupsi tanpa dibebani isu yang kontraproduktif.

EDWIN PARTOGI, WAKIL KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN PERIODE 2013-2018

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 September 2017, di halaman 6 dengan judul ""Rumah Aman"".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger