Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 05 September 2017

ARTIKEL OPINI: Urgensi Pemindahan Ibu Kota RI (JONI HERMANA)

Akhir-akhir ini ruang publik diramaikan oleh wacana tentang pemindahan ibu kota dari Jakarta ke daerah lain di Indonesia.

Jika diamati dari beberapa media cetak dan media sosial yang ada, hampir semua kalangan tertarik memperbincangkannya. Bukan hanya dari elite politik di pusat dan daerah, melainkan juga akademisi, praktisi profesional, peneliti dan pemerhati, sampai ke komunitas warung kopi. Dengan kata lain, topik pemindahan ibu kota ini telah menimbulkan wow-effectyang luar biasa untuk direspons semua pihak.

Menarik untuk dicermati adalah mengapa pemerintah kembali mewacanakan pemindahan ibu kota? Sejauh manakah urgensinya? Bukankah ini ide dan tema lama?

Tentu bukan perkara mudah untuk dijawab. Sebab, secara normatif, pemindahan ibu kota memang bukan isu jangka menengah, apalagi jangka pendek, mengingat implikasinya akan berimbas pada kondisi makro Indonesia dari beragam aspek kehidupan. Bukan hanya aspek fisik- geografi, ekonomi, sosial budaya, melainkan juga geopolitik, yang pada gilirannya akan merembet pada sistem kelembagaan di negeri ini. Tulisan ini bermaksud memberikan tambahan kajian dan argumentasi untuk mendukung pemindahan ibu kota demi masa depan yang lebih baik, aman, nyaman, dan strategis.

Motif pemindahan

Ketika kita bicara platform pembangunan jangka panjang, maka referensi pokoknya adalah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Hal yang menarik, ternyata rencana pemindahan ibu kota belum pernah terumuskan, baik dalam dokumen RPJPN 2005-2025 (PP No 17/2007) maupun RTRWN (PP No 13/2017). Lalu, bisakah ide dan gagasan ini direalisasikan?

Wacana publik pemindahan ibu kota ini menjadi lebih menarik ketika muncul pertanyaan susulan: apa sebenarnya yang akan dipindah, apakah ibu kota negara atau pusat pemerintahan? Sampai saat ini belum ada informasi konkret tentang hal tersebut. Diskursus di ranah publik terus menggelinding secara dinamis sehingga menjadi menarik ketika publik tidak lagi sekadar bertanya, tetapi juga mempertanyakan pewacanaan pemindahan ibu kota.

Dalam konteks ini, pandangan-pandangan skeptis kemudian mengemuka terkait bentuk dan karakter kota yang akan jadi ibu kota baru. Salah satunya mempertanyakan apakah gagasan iniakan berada dalam skema duplikatif-eksploitatif seperti mencari Jakarta baru, atau berencana men-Jakarta-kan suatu kota lain di luar Jakarta melalui mekanisme kloning, atau mengimplementasikan skema promotif dengan menciptakan ibu kota baru yang memenuhi syarat dan kriteria dalam konstelasi norma- norma pembangunan yang berkelanjutan.

Banyak kalangan kemudian menghubung-hubungkan isu pemindahan ibu kota ini dengan kondisi KotaJakarta yang semakin menurun kualitas lingkungan hidupnya. Yang ditandai dengan ketidaklayakan huni yang didukung parameter-parameter psikologis, seperti ketidaknyamanan dan ketidakamanan.

Asumsi pertama yang dikembangkan, pemindahan ibu kota diyakini bakal meningkatkan kapasitas kota atau paling tidak akan mampu menahan laju penurunan kualitas lingkungan hidup Kota Jakarta. Pertanyaan yang muncul, seberapa signifikan pemindahan ibu kota dapat berimplikasi pada peningkatan kualitas lingkungan hidup Jakarta?

Masih terkait kondisi Jakarta, sempat terdengar kabar bahwa secara geopolitik Jakarta memang sangat rentan terhadap berbagai ancaman terkait masalah ketertiban dan terorisme. Situasi spasial Kota Jakarta berpotensi mengalami kegagalan layanan publik ketika terjadi gelombang demo yang dilakukan secara masif dan terus-menerus. Ancaman terorisme juga faktualnya sangat mudah menyerang Jakarta. Ketika ancaman tersebut benar-benar terjadi, hampir seluruh aktivitas publik mengalami kelumpuhan.

Sementara itu, di sisi lain, pemindahan ibu kota juga sering diasosiasikan dengan ketimpangan regional, baik antara wilayah barat Indonesia dan wilayah timur Indonesia, ataupun ketimpangan antara Jawa dan non-Jawa, yang masih jadi persoalan laten bangsa sampai di usianya yang ke-72 tahun ini.

Asumsi kedua, pemindahan ibu kota bakal menyeimbangkan kembali posisi bandul pembangunan menjadi lebih ke tengah secara gradual dan pasti. Itu pun dengan catatan pemindahan ibu kota tersebutmampu memobilisasi potensi-potensi ekonomi di lokasi tujuan pemindahan dengan tujuan untuk mendorong terciptanyaspread effect(Myrdal, 1957) atau trickle-down effect(Hirschman, 1958), serta menahan lajubackwash effect ataupolarization effect.

Tampaknya argumentasi-argumentasi yang paling rasional yang ditafsirkan dari pewacanaan publik terfokus pada dua isu di atas, yaitu terkait kondisi Kota Jakarta yang mengalami overkapasitas dan kondisi ketimpangan regional yang masih saja hadir di republik ini.

Kerangka konsep dan kriteria lokasi

Jika pemindahan ibu kota tersebut dilandasi pola pikir mengatasi ketimpangan regional, sebenarnya negara ini perlu introspeksi mengapa setiap model dan konsep pembangunan, serta berbagai toolsyang diaplikasikan selama 72 tahun usia republik ini selalu gagal atau minimal tidak signifikan hasilnya.

Menurut hemat saya, salah satu penyebab kegagalan mengatasi ketimpangan diduga karena selama ini negara mengadopsi paradigma pembangunan yang berbasis darat. Padahal, secara geografis, wilayah Nusantara didominasi laut dan lautan dengan proporsi 63 persen dari seluruh luas wilayah Republik Indonesia.

Filosofi "nenek moyangku seorang pelaut" yang selama ini tersimpan dalam memori bangsa sudah saatnya ke dalam pola pikir pembangunan. Namun, hal itu bukan bermaksud untuk menandingi, melainkan menjadi penyanding terhadap konsep pembangunan berbasis darat yang selama ini telah diimplementasikan selama puluhan tahun. Ejawantah filosofi di atas adalah konsep pembangunan berbasis kepulauan yang mampu memanfaatkan potensi dominasi luas laut dan lautan guna mobilisasi sumber daya pembangunan melalui aplikasi sistem transportasi dan logistik berbasis kelautan, serta pengelolaan sumber daya nasional dengan kultur maritim.

Konsep pembangunan berbasis kepulauan inilah yang diusulkan sebagai platform dasar dalam konteks pemindahan ibu kota.

Artinya, wilayah-wilayah potensial tujuan pemindahan didesain memiliki karakter pokok sebagai kriteria utama: a) memiliki akses kuat pada sumber daya laut dan lautan sebagai bagian dari potensi maritim bangsa; b) memiliki peran penting dan strategis dengan ciri konektivitas tinggi terhadap wilayah pulau dan kepulauan dalam satu tatanan spasial yang sistematis dan terintegrasi; c) memiliki kelengkapan sarana prasarana kemaritiman yang memadai dan terkoneksi serta terintegrasi dengansistem sarana prasarana berbasis darat di wilayah pulau dan kepulauan; dan d) memiliki potensi ekonomi tinggi dan mampu melipatgandakan ekonomi wilayah dalam suatu tatanan spasial yang terstruktur, efisien, dan efektif.

Selain itu, terdapat beberapa kriteria teknis sebagai penunjang kriteria pokok sebelumnya dalam menentukan lokasi pemindahan ibu kota. Pertama, berada di wilayah pesisir, bukan di wilayah pedalaman. Kedua, berada dalam satu pulau terpisah untuk alasan faktor keamanan dan pertahanan. Ketiga, tidak berada dalam wilayah berpotensi bencana alam. Keempat, memiliki akses memadai terhadapbackbone jaringan telekomunikasi. Kelima, berada pada wilayah dengan kondisi perairan yang mendukung kegiatan pemerintahan secara hidrooseanografis.

Sebagai catatan akhir, perbincangan topik pemindahan ibu kota akan lebih tepat apabila isunya didorong ke dalam konstelasi konsep pembangunan berbasis kepulauan. Menentukan lokasi tujuan pemindahan ibu kota hendaknya tidak dilakukan secara spekulatif dan arbitrer untuk menghindari keputusan yang absurd, tetapi melalui pola pikir sistematis dan kajian komprehensif yang diawali dengan perumusan kriteria. Langkah berikutnya dari rumusan kriteria tersebut diarahkan pada upaya mengadopsi konsep pembangunan berbasis kepulauan sehingga terbangun desain utuh dan ideal pembangunan ibu kota negara tercinta, Indonesia.

JONI HERMANA, REKTOR INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Urgensi Pemindahan Ibu Kota RI".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger