Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 25 September 2017

Baghdad-Arbil: Kompromi atau Perang (IBNU BURDAH)

Aspirasi kemerdekaan Kurdistan dari Irak sulit dihindarkan. Persoalannya hanya terletak pada kapan referendum pemisahan diri dari Irak itu dilakukan. Pemerintah Otonomi Kurdistan menginginkan pelaksanaan referendum itu-sesuai penetapan Presiden Al-Barzani tiga bulan lalu-adalah pada 25 September tahun ini.

Sidang parlemen Irak sudah memutuskan menolak usulan pelaksanaan referendum itu. Sikap ini juga mencerminkan sikap pemerintah pusat Irak dan aspirasi luas rakyat Irak non-Kurdi. Negara-negara kawasan sekitarnya yang khawatir efek domino referendum, seperti Iran, Suriah, dan Turki, menyambut baik keputusan penolakan itu dan mendukung kesatuan negara Irak.

Turki, yang menjadi pihak paling getol, bertekad mendukung pemerintah pusat Irak untuk mempertahankan keutuhan wilayahnya. Liga Arab juga menolak wilayahnya akan kembali "krowak" di ujung utara, setelah ujung selatan juga "krowak" dengan pemisahan Sudan Selatan.

Namun, tantangan pemerintah pusat dan negara-negara kawasan  sama sekali tak menyurutkan tekad Kurdistan untuk merdeka. Parlemen Kurdistan segera merespons keputusan parlemen pusat di Baghdad dengan sidang luar biasa. Seolah menantang keputusan parlemen pusat, parlemen Kurdistan hampir mengambil keputusan secara bulat pada sidang 15 September kemarin. Keputusannya jelas, 65 dari 68 anggota parlemen menyetujui untuk melanjutkan pelaksanaan referendum sebagaimana telah direncanakan (25 September).

Memang ada sedikit friksi dalam faksi-faksi internal Kurdistan, terutama mengenai masalah waktu referendum. Dua kelompok minoritas dalam faksi Kurdistan, Harakah al-Ta'bir dan Jamaah Islamiyyah, tak mau datang pada sidang parlemen tersebut. Namun, dua faksi utama yang menguasai pemerintahan dan parlemen Irak serta faksi lainnya hampir bulat mendukung pelaksanaan referendum itu segera.

Kekerasan

Kurdistan sebagai entitas yang terpisah dari masyarakat Irak sudah menjadi fakta beberapa tahun terakhir. Konstruksi identitas Kurdistan sebagai diri yang terpisah dari Irak terus diteguhkan, terutama setalah tumbangnya Saddam Hussein dan dalam konteks pemerintahan otonomi.

Pilar kekuatan bersenjata yang tangguh juga telah terbentuk sebagai hasil dari pergolakan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Irak. Kekuatan itu semula hanya kelompok paramiliter suku, tetapi sekarang telah menjelma kekuatan militer yang sangat disegani berkat keterlibatan mereka di garda depan melawan NIIS di Irak utara.

 Peshmerga, nama kekuatan militer itu, memang dipersiapkan untuk memperjuangkan dan menjadi penjaga Kurdistan merdeka. Pemerintah Baghdad mesti berpikir berkali-kali untuk membendung aspirasi kemerdekaan itu. Jika jalan politik (damai) melalui referendum dikekang oleh Baghdad, maka siapa yang bisa mencegah jika referendum itu tetap dilaksanakan secara unilateral.

Apakah militer Irak siap untuk menggagalkan referendum itu dengan jalan kekerasan? Risikonya terlalu besar. Militer Irak sudah habis-habisan berperang selama tiga tahun melawan NIIS. Irak masih terluka dan belum disembuhkan. Itu pun ancaman NIIS di Irak belum sepenuhnya hilang. Mereka terlalu letih.

Secara mental, militer reguler Irak juga sudah kalah mental dari Peshmerga Kurdi. Sebab, menurut pengalaman di banyak front dalam perang NIIS,  pasukan Irak sering terdesak, bahkan mundur.  Dan, pasukan Peshmerga justru menjadi aktor penting dalam perang-perang krusial.

Atau apakah para milisi yang pro-Baghdad, terutama Syiah (al-Hasyd al-Sya'biy), yang akan menghentikan referendum itu melalui kekerasan? Itu jelas lebih berisiko membawa Irak kembali ke perang saudara yang lebih mematikan. Pemerintah Baghdad tentu berpikir akan risiko besar tersebut.

Kompromi

Tak ada jalan lain bagi Baghdad dan Kurdistan kecuali berkompromi. Tujuan dari kompromi adalah mencari solusi yang dapat diterima kedua belah pihak dan menghindari jalan kekerasan.

Namun, jalan kompromi pasti memerlukan pengorbanan kedua pihak. Kedua pihak tak boleh memaksakan semua kepentingannya tercapai. Masing-masing memang memperoleh sebagian kepentingannya, tetapi juga harus siap memberikan konsesi.

Idealnya, jalan tengah antara kedua kepentingan Baghdad dan Kurdistan yang diambil. Opsi yang tersedia di atas meja saat ini adalah tawaran kompromi dari Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tawaran itu berupa penundaan pelaksanaan referendum minimal dua tahun kemudian. Dan, selama dua tahun  itu, AS, PBB, dan Inggris akan menjadi mediator dalam menata hubungan antara Baghdad dan Arbil, terutama dalam kompromi luas wilayah Kurdistan ke depan, terlebih khusus terkait wilayah kaya minyak yang direbut Kurdistan dari NIIS, masalah keuangan, hubungan luar negeri, dan lainnya.

Sementara ini formula kompromi itu tampaknya kurang diterima bagi kedua pihak. Yang jelas, belum tampak ada respons positif dari pemimpin Baghdad dan Arbil. Arbil hanya merespons akan mempelajarinya. Keduanya masih ngotot dalam posisi masing-masing. Penulis meyakini formula solusi apa pun jika tanpa ada kompromi kedua pihak akan berakhir pada jalan kekerasan. Ini malah akan merugikan Irak secara keseluruhan.

IBNU BURDAH

PEMERHATI TIMUR TENGAH DAN DUNIA ISLAM; DOSEN UIN

SUNAN KALIJAGA, YOGYAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Baghdad-Arbil: Kompromi atau Perang".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger